Permukiman Gotong Royong Berbasis Keistimewaan untuk Akses Lahan Masyarakat Miskin DIY

Permukiman Gotong Royong Berbasis Keistimewaan untuk Akses Lahan Masyarakat Miskin DIY
Prof Bakti Setiawan, pakar tata ruang dan pemukiman Universitas Gadjah Mada. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Dari waktu ke waktu lonjakan harga tanah di Yogyakarta semakin membumbung. Meski demikian tanah yang mahal tersebut masih saja mendapatkan pasarnya. Bahkan bagi pembeli dari luar DIY, disebut “tuku tanpo ngenyang”. Fenomema ini mengancam warga asli Yogyakarta yang rata-rata berpenghasilan rendah.

Pernyataan Sri Sultan HB X pada April 2023 lalu tentang pemanfaatan tanah Sultan Ground (SG) bagi warga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), merupakan angin segar yang perlu menjadi perhatian. Pernyataan Sultan ini tentu merupakan salah satu jawaban guna memitigasi persoalan ketersediaan dan akses lahan di saat lonjakan spekulasi harga tanah kian tak terkendali.

“Ungkapan Sultan tersebut menandakan cita-cita dan tujuan-tujuan keistimewaan Jogja itu belum sepenuhnya tercapai. Sejak tahun lalu, saat peringatan 10 tahun UUK melalui visi gubernur yang disebut Pancamulia. Beliau ingin memastikan termasuk masalah perumahan ini sudah dielaborasi dalam Undang-undang Keistimewaan bidang pertanahan dan tata ruang yang harus kita dukung,” kata Prof. Ir. Bakti Setiawan, pakar tata kota dan pemukiman UGM saat berdiskusi pada Sabtu (6/5/2023).

“Penting penjabaran terseleksi dan hati-hati agar model terobosan tersebut lebih implementatif, tepat dan relevan sesuai kebutuhan warga kota Jogja. Payung hukum Perdais Nomer 1 tahun 2017 dan Nomer 2 tahun 2017 mempercepat capaian nilai keistimewaan DIY dalam konsolidasi lahan yang bertujuan peningkatan kesejahteraan rakyat,” lanjutnya.

Prof. Bakti mengingatkan keamanan bermukim atau disebut difensible life space membutuhkan daya dukung multipihak yang punya kekuatan terhadap akses lahan. Model pengembangan Permukiman Gotong Royong (PERGOTO) sebagai inisiatif warga kiranya menjadi gerakan lokal yang patut difasilitasi oleh para pemangku.

Menurut REI Yogyakarta, masih ada backlog atau kekurangan rumah di DIY sekitar 250.000 unit. BPS juga mencatat pada 2021 sebanyak 23,47 persen rumah tangga di DIY mendiami rumah bukan milik sendiri, misalnya sewa atau kontrak. Sementara di kota Yogya masih terdapat 114,72 hektare masuk kategori kawasan kumuh ringan, tambah Prof. Bakti.

Sementara Achmad Uzair, sosiolog perkotaan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyambut penyataan Gubernur DIY sebagai langkah membuka akses pemanfaatan lahan secara berkeadilan.

Kementerian PUPR mengindikasikan warga miskin kota meningkat secara jumlah dan luasannya dari yang semula 38.000 hektare pada 2014 menjadi 87.000 hektar pada 2019.

“Ketika warga miskin mampu menemukan petak demi petak tanah untuk permukiman sebenarnya hal ini menegaskan bahwa tanah tersedia di tengah tata ruang kota,” ujarnya.

Dia menambahkan peruntukkan lahan SG untuk permukiman MBR merupakan bentuk perhatian atau afirmasi pemanfaatan lahan yang bukan berarti sekadar blangko kosong terhadap warga miskin untuk menggunakan lahan yang tersedia semaunya sendiri.

“Tapi menempatkan mereka sebagai partisipan aktif, bukan sebagai “penerima pasif” saja,” imbuh Uzair.

Memberikan perhatian pada isu ini lebih tepat dimaknai sebagai pemberian ruang yang lebih besar pada warga miskin untuk menjadi aktor kunci dalam proses penyediaan lahan pemukiman bagi mereka sendiri.

Uzair menyontohkan, keberhasilan penyediaan permukiman layak untuk warga miskin yang dilakukan CODI di Thailand menunjukkan bahwa warga miskin siap berkontribusi dan berperan aktif dalam memecahkan persoalan lahan dan pemukiman layak di perkotaan.

“Hal ini sejalan dengan karakter keguyuban warga DIY yang pernah disinggung Sri Sultan dan sekaligus sebagai modal peneguhan atas konsep Pancamulia DIY,” kata dia.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan berangkat semangat guyub Warga DIY tersebut dioperasionalkan menjadi tindakan kegotong royongan semua pihak dan sekaligus dapat menjadi tawaran bagi pemenuhan permukiman skala nasional. (*)