Pandemi, Kampung Emping Ketela Tetap Eksis

Pandemi, Kampung Emping Ketela Tetap Eksis

KORANBERNAS.ID, BANTUL--Pandemi Covid-19 memberi dampak yang luar bisa terhadap sektor usaha termasuk UMKM. Banyak usaha yang rontok bahkan gulung tikar tidak bisa lagi beroperasi. Namun kondisi pandemi tersebut, tidak membuat para pembuat emping ketela di Bantul Karang, Kalurahan Ringinharjo Bantul patah semangat.

Sebanyak 40 perajin tetap giat membuat emping ketela, dan menghabiskan bahan baku puluhan kwintal singkong setiap harinya. Untuk pemasaran, selain dijual ke pasar-pasar tradisional, juga dijajakan keliling para pedagang serta sekarang memanfaatkan pemasaran online.

“Inovasi pemasaran inilah yang membuat usaha emping ketela di Bantul Karang tetap mampu bertahan. Pandemi memang ada dampak terhadap penurunan pemasaran, namun sekarang mulai naik lagi penjualannya,”kata Lurah Ringinharjo, Sulistya Atmaji didampingi Dukuh Sarjito saat menemani koranbernas.id ke lokasi pembuatan emping ketela, Kamis (7/10/2021) sore.

Menurut Lurah Sulistya, selain dengan pemasaran online untuk melebarkan penjualan, perajin emping ini juga berinovasi dengan membuat kemasan (packing) yang menarik. Kalau di awal kemunculan emping ketela di tahun 60-an, kemasannya sangat sederhana. Hanya dibungkus dengan plastik putih dan dibrongos menggunakan api. Tetapi sekarang kemasan sudah bisa disesuaikan dengan pemesan. Ada yang menggunakan plastik tebal, mika kotak, mika bulat dan bentuk lain yang lebih menarik.

“Sehingga kalau dijual dan dipajang di swalayan, produk Bantul Karang yang dikenal dengan sebutan kampung emping ketela ini, juga tidak kalah bersaing. Ini adalah salah satu upaya untuk mendongkrak penjualan,”katanya.

Selain tentu peningkatan kualitas dan pembinaan serta pendampingan baik dari pihak kalurahan ataupun dinas terkait.

Di Bantul Karang, saat ini sudah ada tempat mikro induk yang memiliki tugas membuat website, melakukan promosi dan memasarkan secara online. Nantinya, produk dari perajin emping ketela tadi dikumpulkan, diseleksi atau dipilah agar menjamin kualitasnya kemudian dipasarkan dengan memanfaatkan teknologi informasi tersebut.

Pencetus Ide

Ketika bicara emping ketela, maka warga di Bantul Karang tidak akan lepas dari sosok Mbah Harjo Wiyono (88 tahun). Perempuan yang masih terlihat semangat di usia sepuhnya ini, terlihat berbinar manakala bercerita awal mulanya membuat emping ketela.

“Dulu saya jualan pecel, ya makanan dan jualan werno-werno. Nah karena di sini banyak ketela, saya coba olah menjadi emping. Ternyata rasane niku enak. Mboten marake asam urat (tidak menyebabkan asam urat). Terus kulo sade, laku,” kata Mbah Harjo.

Dari sana lah kemudian Mbah Harjo menekuni pembuatan emping ketela. Itu terjadi saat usianya 30 tahun atau 55 tahun silam. Lambat laun tetangga di sekitarnya juga membuat emping ketela. Bahan bakunya kini diambilkan dari luar Bantul.

Nek sak niki kulo tesih damel bumbu-bumbu (nek sekarang saya masih membuat bumbu-bumbu). Tapi pembuatan usaha emping ketela sudah diteruskan anak saya serta cucu,”katanya.

Ny Sutinah (65 tahun) anak dari Mbah Harjo mengatakan, saat ini di Bantul Karang pembuat emping ketela ada 40 orang. Ia bersama anaknya Prihanta (42 tahun), mampu menghabiskan ketela 375 kilogram dalam sehari. Proses pembuatan dibantu oleh 15 orang karyawan yang juga tetangganya.

“Saya mampu menghabiskan bahan baku 125 kilo. Kalau anak saya 250 kilo. Kami dibantu para tetangga untuk ndeplok empingnya ini,”kata Ny Sutinah. Karena tidak cukup kalau di rumahnya, maka para karyawan ini ndeplok emping dibawa ke rumah masing-masing.

Adapun untuk proses pembuatan dengan pemilihan ketela yang bagus. Lalu dikupas dan cuci. Ketela yang dibersihkan tadi selanjutnya dikukus hingga matang. Setelah matang didinginkan dan dibuang slontrotnya. Barulah digiling menjadi getuk dibumbu dan ditetel menjadi seperti lontong. Kemudian diiris dan ditumbuk tipis-tipis menggunakan alat penumbuk yang beratnya bisa mencapai 3 kilogram.

“Setelah itu kita jemur dan dikemas siap jual. Emping ini dinamakan emping gendeng, karena memang emping tidak bisa kemana-mana hanya dijual di sini saja. Kalau sekarang sudah sampai luar Bantul seperti Jawa Timur, Bekasi, Cirebon bahkan luar Jawa setelah anak saya memasarkannya secara online,”kata Ny Sutinah.

Awalnya, bumbu yang digunakan untuk membuat emping hanya berasa asin dan manis. Namun setelah anaknya ikut terjun mengelola usaha sejak 2 tahun terakhir, sekarang rasa emping ketela dibuat variasi. Ada rasa pedas dengan cabai, rasa buah naga dan aneka rasa lain sesuai pesanan.

Menurut Ny Sutinah, ketela yang digunakan untuk membuat empping didatangkan dari Wonosobo dengan harga Rp 4.000 perkilo. Ketika diolah, setiap empat kilogram ketela bisa menghasilkan satu kilo kilo emping.

“Kalau bagus tiga kilo ketela bisa jadi sekilo emping,”katanya.

Dipilihnya ketela asal Wonosobo karena memiliki umbi yang besar, mempur dan tidak pecah saat ditumbuk. Pernah dirinya mencoba singkong panenan Bantul, tetapi terlalu lembek saat proses tumbuk.

“Mungkin karena perbedaan kondisi tanah untuk menanam singkong,”katanya. Emping yang telah jadi tadi, selanjutnya dijual ke pasaran dengan harga Rp 28.000 per kilogram dan untuk aneka rasa Rp 33.000 perkilo.

“Itu harga dari kami, kalau dijual pedagang tentu harganya beda,”katanya. (*)