Mengitari Gunung Slamet yang Memanjakan, Jalan Berliku Khas Pegunungan  

Mengitari Gunung Slamet yang Memanjakan, Jalan Berliku Khas Pegunungan  
Rombongan jurnalis yang tergabung di FJ2 76Riders beristirahat di daerah Mirit Kebumen, sebelum masuk Yogyakarta. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA—Tak bisa berlama-lama di obyek wisata utama Kawasan Guci, rombongan wartawan yang tergabung dalam Forum Jurnalis Jogja (FJ2) pun lantas memulai perjalanan panjang untuk kembali ke Yogyakarta, Minggu (13/10/2024).

Tak ingat lagi, apakah jalur pulang ini sama dengan jalur ketika kami mulai mendaki ke arah Guci malam sebelumnya. Rasanya memang bukan. Karena rute kepulangan ini, kami sepakati akan melewati jalur selatan Jawa Tengah. Dari arah utara, kami akan turun di Gombong melewati Waduk Sempor, lalu menyeberang jalan arteri dan masuk ke Jalan Daendels.

Yang membuat takjub, sudah tentu pemandangan di sepanjang jalur kepulangan sebelum masuk ke wilayah Purbalingga. Laiknya ruas-ruas jalan di dataran tinggi atau pengunungan dan kaki gunung, jalanan yang dilintasi juga berliku. Kadang naik dan terkadang menurun.

Di kanan dan kiri jalur lintasan, hamparan ladang dengan aneka tanaman masih menghijau di penghujung musim kemarau. Bedanya, yang sisi sebelah kanan rute kepulangan kami, hamparan ladang terlihat makin sempurna dengan latar Gunung Slamet yang sangat gagah.

Mungkin pembaca yang tinggal di wilayah Jogja dan pernah melintas di seputaran Merapi dan Merbabu ada yang bertanya, apa bedanya dengan jalan yang ada di kaki Gunung Merapi dan Merbabu?.

Bagi penulis, yang sangat terasa adalah rute di perjalanan pulang ini terbilang jauh dari kata ekstrem. Tanjakan dan turunannya masih dalam batas wajar. Juga tidak terdapat jurang dalam di sepanjang perjalanan, sehingga asik untuk rute turing. Jalur menanjak dan menurun yang lumayan ekstrem, justru ketika rombongan sudah mulai melintasi wilayah Purbalingga-Banjarnegara menuju Gombong.

“Gak capek sama sekali. Biasanya perjalanan agak jauh, kaki dan tangan berasa kebas dan pegal. Ini tidak terasa,” celoteh Bang Chaidir, salah satu anggota FJ2 76Riders yang sudah tidak muda lagi, dan baru pertama kali turing dengan jarak sejauh ini.

Perjalanan pulang memang terasa lebih menyenangkan. Cuaca juga lebih bersahabat. Meskipun cukup mendung, tapi tidak turun hujan sehingga rombongan leluasa untuk beberapa kali berhenti dan mengabadikan moment kebersamaan.

Singgah di rest area dengan view Gunung Slamet di belakang. (istimewa)

Sepanjang perjalanan pulang, juga tidak ada drama-drama seperti saat berangkat. Baik menyangkut kendaraan, ataupun kesasar dan harus bertanya ke warga. Mbah Gi yang kembali memimpin di paling depan, penuh keyakinan membawa rombongan, hingga kami istirahat di Waduk Sempor, setelah sebelumnya makan siang di Purbalingga.

Mulai Ngegas di Daendels

Sekira pukul 13.00 WIB, rombongan mulai masuk Gombong dan berbelok ke kanan untuk melintas Jalan Daendels. Sejatinya, yang dimaksud Jalan Daendels adalah ruas jalan sejauh 1.000 kilometer yang membentang dari Anyer di Banten hingga panarukan di Jawa Timur.

Jalan ini, berdasarkan sejarahnya, dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, sebagai salah satu upayanya memodernisasi Jawa. Jalan ini dulunya lebih banyak dimanfaatkan untuk lalu lintas angkutan hasil bumi dan pos komunikasi.

Beberapa kali mengalami kerusakan cukup parah, Jalan Daendels saat sekarang sangatlah mulus. Sebagian berupa jalan yang terbuat dari cor beton. Dan sisanya adalah jalan beraspal. Menariknya, melintas jalan ini menuju Jogja atau sebaliknya, jauh dari kepadatan lalu lintas. Memang ada kendaraan besar seperti bus yang melintas, tapi kebanyakan adalah bus wisata. Sebab di sisi kanan atau selatan jalur ini, adalah hamparan pantai Laut Selatan Pulau Jawa. Sisanya adalah kendaraan pribadi serta sepeda motor.

Rombongan kembali beristirahat untuk sholat Azhar, saat memasuki wilayah Kecamatan Mirit. Yang penasaran mengapa nama Mirit disebut, cobalah eksplor di google. Yang pasti, daerah ini, dulunya cukup kesohor hingga wilayah Jawa Timur bagian selatan dan Jawa Barat. Terutama bagi mereka yang sering melintas daerah ini.

Tak lama istirahat, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, entah karena sudah hapal jalan pulang atau karena ingin segera sampai di rumah dan kantor untuk yang jadwal masuk kerja, kami agak ngegas. Sehingga tak sampai satu jam, rombongan mulai masuk wilayah Jogja dan berpisah jalan, untuk bertemu kembali di jadwal turing berikutnya. Terimakasih Djarum 76, Eiger, Indofood, Telkomsel, Gee Batik, Eiger, dan Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Yogyakarta, yang memfasilitasi perjalanan kami kali ini. (*)