KSPSI DIY: RUU Cilaka Hanya Akan Memperluas Kemiskinan

KSPSI DIY: RUU Cilaka Hanya Akan Memperluas Kemiskinan

KORANBERNAS.ID, JOGJA – Sejumlah perwakilan pekerja tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Rabu (11/2/2020), mendatangi DPRD DIY. Mereka menyampaikan aspirasi menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang dianggap hanya akan memperluas kemiskinan di negeri ini.

“RUU ini belum pernah disampaikan ke publik. Ini RUU sapu jagad yang akan menghapus semua pasal. Kami menolak karena lebih menguntungkan pengusaha,” ungkap Kirnadi, Wakil Sekjen KSPSI DIY.

Di hadapan Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana didampingi Ketua Komisi D, Koeswanto, dia menjelaskan apabila RUU tersebut diundangkan maka yang terjadi adalah liberalisasi tenaga kerja dan sektor industri. Negara tidak bisa hadir lagi menentukan upah.

Kelahiran RUU Cilaka ini dilatarbelakangi memburuknya ekonomi global. Agar Indonesia dapat keluar dari jurang resesi ekonomi, pemerintah menimpakan seluruh beban kepada buruh dan rakyat.

Pemerintah beralasan, Indonesia perlu semakin ramah bagi investor. Demi investasi, pemerintah merancang setidaknya tiga payung hukum yaitu RUU Perpajakan, Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) dengan tujuan menghapus hambatan masuknya investasi.

Kirnadi mengatakan, RUU Cilaka bisa berdampak buruk bagi pekerja dan calon pekerja. Mereka diupah murah, tidak memiliki kepastian serta sewaktu-waktu dipecat dengan mudah. Selain itu, juga ada pengurangan gila-gilaan terhadap pesangon.

KSPSI DIY secara tegas menolak RUU tersebut, mengingat pembuatannya tidak sesuai ketentuan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

KSPSI menegaskan, tidak benar UU Ketenakerjaan dianggap mengambat investasi masuk ke Indonesia. Berdasarkan survei World Ekonomi Forum terhadap pelaku bisnis, terdapat 16 faktor penghambat investasi.

Tertinggi adalah korupsi sebesar 13,8 persen, inefesiensi birokrasi 11,1 persen, akses ke pembiayaan 9,2 persen, infrastruktur tidak memadahi 8,8 persen, kebijakan tidak stabil 8,6 persen, instabilitas pemerintah 6,5 persen, tarif pajak 6,4 persen. “Sedangkan masalah Peraturan Ketenagakerjaan hanya di peringkat 13 yang persentase sangat kecil, 4 persen,” ungkapnya. (eru)