Kematian Janin di Dalam Kandungan Memperoleh Perhatian Serius DPRD Purworejo

Kematian Janin di Dalam Kandungan Memperoleh Perhatian Serius DPRD Purworejo

KORANBERNAS.ID, PURWOREJO -- Kematian janin delapan bulan di dalam kandungan ibunya memperoleh perhatian serius DPRD Kabupaten Purworejo Jawa Tengah (Jateng).

Dewan berencana memanggil jajaran direksi RSUD dr Tjitrowardojo untuk meminta keterangan terkait kasus penanganan medis ibu hamil (bumil) yang berujung meninggalnya janin.

“Kami sangat menyayangkan, sebab ini menyangkut nyawa manusia, jangan dibuat main-main apalagi oleh fasilitas kesehatan milik pemerintah," kata Muhammad Abdullah, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Purworejo, Selasa (25/1/2022).

Dia menegaskan semua sudah mengetahui kesehatan merupakan urusan wajib dan pelayanan dasar yang harus dilakukan pemerintah. Komisi IV yang membidangi urusan kesehatan serius menyikapi permasalahan ini.

"Kami akan segera panggil jajaran direksi RSUD dr Tjitrowardojo untuk klarifikasi dan keterangan terkait kasus tersebut. Kami ingin dengar keterangan apa sesungguhnya yang terjadi," tegasnya.

Mewakili keluarga korban, Ketua BPD Desa Mlaran Kecamatan Gebang, Masrukhin, menyatakan beberapa waktu lalu melalui pemerintah desa, pihak Puskesmas Gebang (Bidan Desa) meminta tanda tangan surat pernyataan islah atau damai.

Pihak keluarga sudah memaafkan. "Mau bagaimana pun janin sudah meninggal dunia alias tidak bisa diselamatkan, sementara ibunya saat ini masih membutuhkan perawatan intensif. Keluarga sudah memaafkan, tapi tidak perlu harus menandatangani surat pernyataan itu," ucapnya.

Terkait pernyataan pihak rumah sakit bahwa syarat tanda tangan atau surat pernyataan itu sebagai langkah edukasi agar tidak terjadi kasus pulang paksa, wajar warga mengartikannya sebagai langkah arogan atau pembenaran dari pihak rumah sakit.

"Jika hal tersebut benar, penjelasan terkait pelayanan standar untuk pasien saat pandemi yang harus dirawat di ruang isolasi juga sulit dicerna, saat kondisi panik, pasien butuh penanganan cepat," ucapnya.

Menurutnya, RSUD dr Tjitrowardojo boleh fokus ke masalah miskomunikasi surat pernyataan untuk dirawat ruang isolasi (standar penanganan pasien Covid-19 bukan meng-Covid-kan, red).

Tetapi kata-kata arogan itu jelas keluar dari petugas medis saat memberikan pelayanan kepada pasien dan keluarganya. "Sebagai pasien yang sudah kehilangan buah hatinya, itu menjadi pukulan berat," ujarnya.

Jika pihak keluarga pasien mempersoalkan, ada tanda tanya juga ketika janin itu dinyatakan sudah meninggal, saat kesempatan kedua dibawa ke rumah sakit. Sebab janin itu akhirnya dilahirkan dengan proses persalinan normal tanpa bedah cesar.

Padahal sebelumnya pihak rumah sakit memberikan informasi prosesnya secara cesar. Itu menjadi pemicu penyesalan kenapa kali pertama masuk harus ribet soal tanda tangan pernyataan isolasi.

"Sebetulnya kami tidak tahu secara medis soal persalinan itu. Tapi kalau tega seolah-olah menyalahkan pihak keluarga kami tidak terima, keluarga dan masyarakat akan lebih sakit, bisa jadi akan menggelar aksi lebih besar, jika pihak RSUD dr Tjitrowardojo terus merasa benar," katanya. (*)