Jaminan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045

Oleh: Boy Anugerah

Eksistensi kebijakan jaminan sosial nasional memiliki hubungan relasional yang erat dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah. Pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh kapasitas produksi unit-unit usaha nasional, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta dalam memproduksi barang dan jasa. Produksi barang dan jasa, terlebih lagi barang dan jasa yang memiliki nilai tambah dan daya saing tinggi, hanya dapat diproduksi oleh unit-unit usaha yang memiliki kapasitas sumber daya manusia yang baik.

Jaminan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
Boy Anugerah (Istimewa).

PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen secara nasional, yang merupakan bagian integral dari komitmen Indonesia untuk menuju Indonesia Emas 2045. Target pertumbuhan dengan angka tersebut dapat dikatakan optimis, apabila merujuk pada capaian pemerintahan sebelumnya yang belum mampu menembus angka 7 persen sebagai target nasional, pun apabila merujuk pada proyeksi pertumbuhan ekonomi regional dan global yang hanya berada di kisaran 4-5 persen.

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, Presiden Prabowo Subianto dan segenap jajarannya perlu memaksimalkan seluruh faktor pendukung (supporting factor) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang mana salah satunya adalah sistem jaminan sosial nasional, baik yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan.

Eksistensi kebijakan jaminan sosial nasional memiliki hubungan relasional yang erat dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah. Pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh kapasitas produksi unit-unit usaha nasional, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta dalam memproduksi barang dan jasa. Produksi barang dan jasa, terlebih lagi barang dan jasa yang memiliki nilai tambah dan daya saing tinggi, hanya dapat diproduksi oleh unit-unit usaha yang memiliki kapasitas sumber daya manusia yang baik.

Keunggulan sumber daya manusia dalam berkarya dan berkontribusi terhadap unit kerja tidak hanya ditopang oleh kemampuan dan keahlian yang mereka miliki, tapi juga rasa aman (feeling secure) dan nyaman (feeling comfort) dalam bekerja, yang mana hal tersebut hanya dapat terwujud apabila mereka dijamin kebutuhan dasarnya. Inilah alasan utama mengapa pemerintah menghadirkan kebijakan jaminan sosial nasional, baik dalam bentuk jaminan kesehatan maupun jaminan di bidang ketenagakerjaan. Para pekerja nasional diharapkan dapat all-out dalam berkontribusi sebesar-besarnya bagi unit kerja mereka.

Tantangan

Dalam rangka menjadi supporting factor yang kontributif terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen, dibutuhkan optimalisasi penyelenggaraan kebijakan jaminan sosial nasional oleh pemerintah. Tidak dimungkiri bahwa kondisi Indonesia yang berada di dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap) menjadi salah satu kendala. Penghasilan yang belum mencukupi menjadi penyebab mengapa kepesertaan atau daya cakup (coverage) jaminan sosial nasional tidak optimal. Ketidakcukupan sistem jaminan sosial yang inklusif dan berkelanjutan menjadi salah satu faktor penyebab terciptanya stagnasi pertumbuhan ekonomi.

Data pemerintah menunjukkan, bahwa kurang lebih 60 persen tenaga kerja di Indonesia berada di sektor informal dengan jumlah sekitar 84,13 juta orang. Tantangan signifikan lainnya adalah postur demografi Indonesia. Indonesia yang memasuki periode bonus demografi sepanjang 2020 hingga 2035 berpotensi mengalami bencana demografi, apabila pemerintah tidak mendukung perluasan kesempatan kerja. Banyaknya angkatan kerja usia produktif yang tidak memiliki pekerjaan menjadi hambatan tersendiri dalam perluasan kepesertaan jaminan sosial nasional, baik oleh BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan.

Kebijakan strategis

Dalam rangka meningkatkan kepesertaan jaminan sosial nasional, dibutuhkan strategi yang holistik, integral dan komprehensif oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan selaku kepanjangan tangan pemerintah. Strategi perluasan kepesertaan ini tidak akan berjalan optimal apabila dilakukan secara sektoral, sehingga membutuhkan kolaborasi yang solid dengan para pemangku kepentingan lainnya. Dalam konteks kesehatan misalnya, diperlukan kerja sama yang sinergis dengan seluruh ekosistem kesehatan nasional, demikian pula halnya pada konteks ketenagakerjaan.

Yang tak kalah penting adalah bagaimana membuat sektor swasta nasional menyadari bahwa kepesertaan dalam sistem jaminan sosial nasional bukanlah keharusan, tapi kebutuhan dan mandat untuk berkontribusi mewujudkan target-target nasional, utamanya menuju Indonesia Emas 2045. Sektor swasta diharapkan tidak lagi memiliki persepsi bahwa mandat partisipasi dalam sistem jaminan sosial nasional adalah beban (burden), melainkan komitmen dan kewajiban nasionalis sebagai bagian integral dari ekosistem hidup NKRI.

Pada relasi yang lebih luas, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan perlu berpartisipasi aktif dalam bentuk memberikan saran dan rekomendasi strategis kepada instansi pemerintah lainnya, terkait celah-celah ketidakoptimalan yang dilakukan oleh kementerian atau lembaga negara lainnya, sehingga berdampak pada tidak optimalnya kepesertaan pada jaminan sosial nasional. Di sektor tenaga kerja misalnya, masih banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagekerjaan. Padahal mereka berkontribusi besar dalam menyumbang devisa negara dalam bentuk remitansi. 

Masih di sektor tenaga kerja, instansi atau lembaga negara yang mengampu bidang investasi perlu memastikan bahwa investasi yang masuk ke Indonesia tidak hanya bersifat padat modal (capital intensive), tapi juga padat karya (human intensive). Investasi yang bersifat padat karya secara otomatis membuka kesempatan kerja. Dengan adanya kesempatan kerja, banyak sumber daya manusia yang terserap dan perlu didukung secara penuh dalam hal jaminan sosial nasional agar kinerjanya optimal. Secara umum, kinerja BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan tidak akan optimal apabila kendala-kendala yang dihadapi oleh instansi atau lembaga negara lainnya tidak ditangani dengan baik. Oleh sebab itu, sekali lagi, diperlukan kerja sama yang kolaboratif di antara seluruh pemangku kepentingan.

Komitmen untuk mengoptimalkan kepesertaan dalam jaminan sosial nasional dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi 8 persen sebagai bagian dari visi besar Indonesia Emas 2045 sejatinya membutuhkan pendekatan yang bersifat kolaboratif, baik pada bidang edukasi, sosial budaya, politik, ekonomi, bahkan di level pertahanan dan keamanan. Oleh sebab itu, sinergi dan kolaborasi menjadi kata kunci.

Di bidang edukasi, pranata pendidikan seperti sekolah, pondok pesantren dan perguruan tinggi dapat menanamkan kesadaran sejak dini kepada peserta didik bahwa jaminan sosial nasional merupakan kebutuhan dan investasi jangka panjang bagi bangsa Indonesia. Dengan internalisasi pemahaman sejak dini tersebut, akan tercipta perspektif baru pada kognitif mereka mengenai pentingnya untuk terlindungi jaminan sosial sejak dini.

Di bidang ekonomi, perlu ditanamkan kesadaran kepada pelaku usaha (corporate or employer) bahwa kepesertaan dalam jaminan sosial nasional bagi tenaga kerja merupakan investasi jangka panjang. Perspektif mereka harus dirombak total bahwa jaminan sosial nasional bukanlah pengeluaran (spending) melainkan kebutuhan (need). Logika sederhananya adalah lebih baik pelaku usaha spending untuk jaminan sosial bagi tenaga kerja yang notabene berkorelasi lurus dengan produktivitas mereka, ketimbang spending untuk tenaga kerja yang mengalami gangguan kecelakaan kerja atau kesehatan yang berpotensi menghilangkan produktivitas.

Di bidang sosial budaya, diperlukan kontribusi tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat dan aman yang menjadi fondasi utama untuk mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang berdaya saing pada masa depan. Salah satu hambatan kepesertaan dalam jaminan sosial adalah masih hidupnya perspektif konvensional di masyarakat, sehingga membutuhkan peran tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk membongkar perspektif tersebut.

Di bidang pertahanan dan keamanan, institusi terkait seperti TNI dan Polri perlu melakukan indoktrinasi kepada seluruh prajurit bahwa bangsa yang sehat dan aman merupakan modal dasar terbentuknya sistem pertahanan negara yang tangguh dalam merespons seluruh ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) yang eksis dan potensial ke depan. Kepesertaan pada jaminan sosial tidak hanya berlaku pada aparat TNI dan Polri saja, tapi juga termasuk pada komponen pendukung dan cadangan, maupun tenaga profesional keamanan swasta.

Jika kesadaran tersebut dapat termanifestasi dalam bentuk langkah konkret untuk bernaung dalam sistem jaminan sosial nasional, baik kesehatan maupun ketenagakerjaan, maka mimpi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen dan Indonesia Emas 2045 bukan mustahil untuk dicapai. Sehat dan aman merupakan modal yang paling dasar untuk mewujudkan itu semua. **

Boy Anugerah

Analis Kerja Sama Luar Negeri di Lemhannas RI (2015-2017/Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI/Tenaga Ahli di DPR RI