Industri Kreatif Serap 18 Juta Pekerja

Industri Kreatif Serap 18 Juta Pekerja

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, menyatakan industri kreatif terbukti mampu menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data tahun 2019 setidaknya terdapat 18 juta orang bekerja di sektor tersebut. Jumlah ini sangat besar setara sepertiga penduduk Malaysia, berkali-kali lipat dari jumlah penduduk Singapura bahkan tiga kali lebih besar dari jumlah orang Yahudi di dunia.

“Bisa dibayangkan 18 juta orang itu masing-masing punya kreativitas menghasilkan produk,” ungkapnya saat menjadi narasumber Seminar Merajut Nusantara Bakti Kominfo, Jumat (16/4/2021), yang disiarkan secara virtual dari Hotel Royal Dharmo Yogyakarta.

Pada seminar bertema Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Meningkatkan Daya Saing Industri Kreatif kali ini Sukamta menjelaskan industri kreatif memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar bagi Indonesia hingga mencapai Rp 10 triliun.

Persoalannya, kata dia, industri kreatif di Indonesia tidak ada pembatasan, berbeda dengan negara lain seperti  Inggris. Di sana, cakupan industri kreatif lebih fokus.

“Di Indonesia industri kreatif mulai dari pertanian hingga kuliner. Semua. Pokoknya asal ada inovasi disebut kreatif. Keranjangnya lebar banget,” kata politisi peraih gelar doktor dari Inggris itu.

Dia mencontohkan gudeg dahulu pakai pincuk disantap di pawon, sekarang tersedia gudeg kaleng kemudian disebut industri kreatif. “Cakupannya menjadi besar. Agak kurang fokus,” kata Sukamta.

Di negara lain, lanjut dia, kuliner tidak masuk kategori industri kreatif. “Saya bisa memahami di Inggris ada lebih dari 60 nama makanan tetapi barangnya sama, ikan goreng plus kentang potong kecil-kecil,” ujarnya.

Sedangkan kreasi kuliner Indonesia sangat luar biasa sehingga mampu mendominasi ekonomi kreatif tingkat nasional hingga 41 persen.

Di luar kuliner, anggota Fraksi PKS daerah pemilihan DIY ini menambahkan, DIY menyimpan potensi besar industri kreatif. Dulu sebelum pandemi, Yogyakarta menguasai 85 persen pasar lukisan di Asia. Ini potensi yang luar biasa. “Warga DIY juga dikenal memiliki keterampilan tangan sangat bagus, banyak industri fashion dari New York dan pusat fashion Asia serta Eropa mengambil produk dari DIY,” paparnya.

Sukamta mengingatkan potensi yang sangat besar itu semestinya memperoleh dukungan pemerintah agar mampu meningkatkan kualitas mutu maupun penetrasi pasar.

“Potensi DIY luar biasa, saat pandemi mampu menerobos batas geografis, pemasaran bisa menjangkau ke mana-mana, tinggal bagaimana kita mengorganisir pasar,” paparnya.

Di balik sukses besar itu, menurut Sukamta, sebagian besar UMKM di DIY rupanya belum manfaatkan akses teknologi informasi. Sebagian tidak menggunakan komputer dan internet, kemungkinan karena keterbatasan akses. “Padahal desain kerajinan tangan jika bisa menggunakan teknologi digital memiliki nilai tambah besar sekali,” kata Sukamta.

Memang di negara lain teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi fokus industri kreatif sedangkan di Indonesia barus sebatas sebagai sarana penunjang.

Artinya, masih ada tantangan pengembangan industri kreatif di negeri ini. “Kita berharap pemerintah secara sistematis memberi akses untuk menyambungkan kampus, pasar dan memberi proteksi sehingga pengusaha menjadi kuat bersaing,” kata Sukamta didampingi narasumber lainnya, Suryadin Laoddang serta Gun Gun Siswadi. (*)