Hip Hop, Nafas Baru Teater Berbahasa Jawa di Yogyakarta

Kami melihat hip hop itu punya daya tarik tersendiri. Melodinya asyik, resorting-nya juga menarik.

Hip Hop, Nafas Baru Teater Berbahasa Jawa di Yogyakarta
Diskusi Jingle Lagu Hiphop  Jawa sebagai Media Eksistensi, dan Sosialisasi Pertunjukan Kelompok Sedhut Senut di Studio Kelompok Sedhut Senut. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Siapa sangka hip hop bisa menjadi jembatan untuk melestarikan teater tradisional berbahasa Jawa? Kelompok Teater Berbahasa Jawa Sedhut Senut membuktikannya lewat program inovatif yang menggabungkan beat hip hop dengan lirik Jawa dalam bentuk jingle untuk mempromosikan pertunjukan teater tradisional.

"Kami melihat hip hop itu punya daya tarik tersendiri. Melodinya asyik, resorting-nya juga menarik. Ini bisa jadi cara baru untuk mengajak anak muda mengenal teater berbahasa Jawa," ujar Hadi Sakijo, Ketua Kelompok Teater Berbahasa Jawa Sedhut Senut saat ditemui pada acara Focus Group Discussion (FGD) Jingle Lagu Hiphop Jawa sebagai Media Eksistensi, dan Sosialisasi Pertunjukan di Studio Kelompok Sedhut Senut, Kamis (10/10/2024).

Program tersebut merupakan bagian dari Milangkori Festival yang didukung Dana Indonesiana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Sedhut Senut tidak berjalan sendiri, mereka menggandeng Jogja Hip-hop Foundation (JHF) grup hip hop kenamaan Yogyakarta, untuk mewujudkan ide kreatif ini.

"Kami akan membuat single promosi dengan aransemen dari Balance Perdana Putra (Jahanam dan JHF). Nantinya akan ada pemilihan dua tiga vokalis dari kelompok kami untuk menyanyikannya," tambah Komeng, panggilan akrab Hadi Sakijo.

Menggelar lomba

Tidak berhenti di situ, Sedhut Senut juga menggelar lomba pembuatan jingle untuk pertunjukan sandiwara berbahasa Jawa. Yang menarik, meski terinspirasi dari hip hop, peserta diberi kebebasan menginterpretasikan musik mereka.

"Kriteria utamanya hanya satu: lirik harus berbahasa Jawa. Soal genre, kami bebaskan. Tapi tentu kami berharap ada yang terinspirasi membuat hip hop," jelas Komeng.

Panitia akan memilih 10 nominasi terbaik dengan hadiah per kelompok. Pemenang utama akan mendapatkan hadiah cukup besar dan kesempatan karyanya dipublikasikan di platform musik streaming serta kanal YouTube Sedhut Senut.

Program ini membawa angin segar bagi perkembangan teater berbahasa Jawa di Yogyakarta. Komeng mengungkapkan, sejak Milangkori Festival pertama, sudah ada beberapa kelompok baru yang lahir dan aktif berkegiatan.

Tawaran pentas

"Ada kelompok di daerah Panggang Gunungkidul yang menargetkan enam kali pertunjukan dalam setahun. Ini prestasi luar biasa. Beberapa kelompok juga mulai mendapat tawaran pentas di berbagai tempat," ungkapnya bangga.

Tahun ini, festival akan melibatkan 20 kelompok teater, meningkat dari delapan kelompok tahun sebelumnya. Setiap kelompok akan mendapat dana stimulan untuk mengembangkan karya mereka.

Meski optimis, Komeng mengakui masih ada tantangan besar dalam mengembangkan teater berbahasa Jawa, terutama dalam menarik minat generasi muda.

"Kami ingin kelompok-kelompok ini mandiri, tidak sekadar mengandalkan dana hibah atau dana keistimewaan. Seperti kelompok di Panggang itu, mereka sudah bisa mengelola keuangan dari hasil lomba dan tanggapan pentas," jelasnya.

Dana hibah

Lebih lanjut Komeng menegaskan, pihaknya tidak anti terhadap dana hibah, tapi kelompok teater perlu memikirkan keberlanjutan ketika dana tersebut tidak ada.

"Yang penting bagi kami adalah eksistensi teater berbahasa Jawa tetap terjaga. Kalau dulu hanya ada Ketoprak Sapta Mandala, sekarang sudah banyak festival teater berbahasa Jawa di tingkat kecamatan. Ini pencapaian yang membanggakan," kata dia.

Marzuki Mohamad atau yang lebih dikenal sebagai Kill The DJ, salah seorang punggawa Jogja Hip-hop Foundation (JHF), menegaskan Yogyakarta memang memiliki potensi besar untuk kolaborasi lintas disiplin seni.

"Di Jogja itu banyak sekali peluang untuk berkolaborasi dengan disiplin lain. Hip hop dengan sastra, hip hop dengan seni rupa, itu sangat mungkin terjadi," ungkapnya.

Fleksibilitas

Dia mencontohkan proyek Poetry Battle tahun 2006 yang mempertemukan hip hop dengan karya sastra Indonesia. Pengalamannya berkolaborasi dengan berbagai bentuk seni tradisi membuktikan fleksibilitas hip hop.

"Literasi tradisi Jawa itu sangat besar. Menyanyi dengan hip hop terbukti bisa berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain seperti antara JHF dengan Romo Sindhunata," jelasnya.

Inisiatif Sedhut Senut ini menunjukkan tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan. Hip hop Jawa mungkin terdengar tidak lazim, tapi justru dari hal-hal tidak lazim seperti inilah, seni tradisi bisa terus hidup dan berkembang di tengah zaman yang terus berubah. (*)