Garam Hitam dari Rawa-rawa Papua, Inovasi Ekonomi Hijau dalam Pameran Foto Fambi Mait Teme
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Rutkita Sembiring tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis. Dari seorang pembalak liar yang menebang pohon-pohon berusia ratusan tahun di kawasan ekosistem Leuser, kini ia menjadi salah satu pelestari gajah di Tangkahan, Sumatera Utara.
Transformasi ini menjadi bukti nyata bahwa pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan bukan lagi dua hal yang harus dipertentangkan.
Kisah transformatif Rutkita menjadi salah satu sorotan dalam Pameran Foto “Fambi Mait Teme” (Hutan adalah Ibu dalam bahasa Tehit) yang digelar oleh TelusuRI di Institut Français Indonesia (IFI-LIP) Yogyakarta, 11-20 Oktober 2024. Pameran ini menampilkan hasil dokumentasi perjalanan ekspedisi Arah Singgah yang berlangsung selama 2022-2024.
“Dulu, penghasilan dari pembalakan sangat menggiurkan. Pohon-pohon tua sudah ada, tinggal ditebang, dan banyak yang bersedia membeli,” ungkap Ayos Purwoaji, Kurator Pameran, menirukan pengakuan Rutkita saat berbicara dalam rangkaian pembukaan pameran pada Jumat (11/10/2024).
Namun kini, justru dengan menjadi pelestari, Rutkita tetap bisa mendapatkan penghidupan melalui sektor pariwisata. Ekonomi restoratif seperti yang dipraktikkan Rutkita menjadi tema besar pameran ini.
“Selama ini kita sering terjebak dalam logika zero-sum game, seolah harus memilih antara pembangunan atau kelestarian alam. Padahal ada jalan tengah yang lebih moderat,” jelas Ayos.
Selain kisah Rutkita, pameran ini juga mengangkat cerita inovatif Yunita Ulim, pengrajin garam nipah dari Suku Moi di Sorong, Papua Barat. Dengan memanfaatkan pelepah pohon nipah yang tumbuh di rawa-rawa, Yunita menghasilkan produk garam hitam yang unik tanpa merusak ekosistem.
“Usaha seperti ini tidak akan berjalan jika hutan nipah yang mereka miliki musnah. Ini membuktikan bahwa kelestarian lingkungan dan keuntungan ekonomi bisa berjalan beriringan,” tambah Ayos.
Ekspedisi Arah Singgah sendiri telah menjelajahi delapan wilayah di Indonesia, dari Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua Barat Daya dan Papua. Perjalanan ini menemukan berbagai praktik ekonomi restoratif yang dilakukan masyarakat adat.
“Kami menggali cerita-cerita yang jarang atau bahkan tidak terdengar di media arus utama,” ujar Amai Hendrawan, Program Officer TelusuRI.
Ia mencontohkan bagaimana masyarakat adat mempraktikkan peralihan dengan berpindah yang tidak merusak tanah, serta memanen hasil hutan non-kayu seperti petai, nipah, rotan, dan madu.
Pameran yang terbuka untuk umum dan gratis ini tidak hanya menampilkan karya fotografi. TelusuRI juga menggelar diskusi publik, temu wicara, dan pemutaran video yang melibatkan pembicara serta komunitas lokal Yogyakarta. Salah satunya adalah penampilan musik Sape dari Ikatan Pelajar Mahasiswa Dayak Kutai Barat.
“Harapannya, pengunjung tidak hanya melihat foto-foto, tapi juga bisa berdiskusi dan berjejaring. Ini menjadi ruang refleksi tentang bagaimana kita sebagai manusia bisa membangun hubungan yang harmonis dengan alam,” kata Amai.
Fambi Mait Teme hadir di tengah keresahan akan penyempitan ruang hidup masyarakat dan keanekaragaman hayati akibat masifnya industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit, pembalakan liar, hingga pertambangan. Namun alih-alih hanya mengkritik, pameran ini menawarkan solusi konkret melalui kisah-kisah sukses ekonomi restoratif.
“Melalui pameran ini, kami ingin menunjukkan bahwa melestarikan alam berarti menjaga budaya dan tradisi. Dan yang terpenting, hal ini bisa dilakukan sambil tetap mendapatkan manfaat ekonomi,” tutup Amai.
Pameran yang berlangsung hingga 20 Oktober 2024 ini menjadi bukti bahwa narasi pembangunan tidak harus selalu berakhir dengan kerusakan lingkungan.
Transformasi Rutkita dari pembalak menjadi pelestari, inovasi garam nipah Yunita, hingga berbagai praktik ekonomi restoratif lainnya memberi harapan baru bagi masa depan hutan Indonesia. (*)