Festival Umuk Kampung Kota, Menghidupkan Tradisi, Menjaga Keberlanjutan

Festival Umuk Kampung Kota, Menghidupkan Tradisi, Menjaga Keberlanjutan
Berbagi cerita para peserta seusai melakukan susur kampung. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Kampung kota bukan sekadar kawasan padat penduduk yang sering kali dianggap bagian dari pinggiran perkotaan. Ia adalah jantung kehidupan, tempat tradisi bertahan, dan ruang bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan tantangan zaman. Inilah semangat yang diusung dalam Festival Umuk (Pamer) Kampung, sebuah perayaan yang menyoroti kekuatan kampung dalam membangun solusi bersama di tengah urbanisasi.

Paguyuban Kalijawi, Arkom Indonesia, serta berbagai komunitas seni dan akademisi, menginisiasi festival ini sebagai ajang berbagi praktik baik dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Berlangsung di bantaran Sungai Winongo dan Gajahwong, festival ini membawa pesan penting, yaitu kampung bukan sekadar bagian dari kota, tetapi juga benteng budaya dan penyangga kehidupan urban.

Menurut Ainun Murwani, Ketua Paguyuban Kalijawi, festival ini bukan hanya ruang pameran, tetapi juga momentum untuk menyuarakan aspirasi warga. “Kampung itu punya peran besar dalam kota, tapi sering kali hanya dipandang sebelah mata. Kami ingin menunjukkan bahwa kampung bisa menjadi solusi, bukan masalah,” ujarnya saat ditemui di sela acara pada Sabtu (22/2/2025).

Sejak 2012, Kalijawi telah bergerak bersama warga bantaran sungai untuk menghadapi tantangan seperti kepemilikan lahan, akses sanitasi, perumahan layak, hingga air bersih. Salah satu inisiatif utama mereka adalah program tabungan kolektif Rp 2.000 per hari, yang dalam dua tahun berhasil merenovasi 165 rumah. Tak hanya itu, mereka juga aktif mengadvokasi kebijakan agar penataan kampung dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi.

Susur Kampung, Jejak Awal Festival

Perjalanan menuju festival dimulai dengan Susur Kampung, sebuah kegiatan yang mengajak masyarakat mengenal lebih dekat kehidupan di 14 kampung Kalijawi. Sketsa, video, fotografi, dan pemetaan partisipatif menjadi medium bagi warga, seniman, akademisi, hingga mahasiswa untuk menangkap esensi kampung. Di sepanjang Sungai Winongo dan Gajahwong, peserta akan menyusuri gang-gang kecil, menyapa warga dan menyelami kehidupan sehari-hari yang penuh dinamika. Mereka akan melihat bagaimana kampung beradaptasi dengan tantangan modern tanpa kehilangan identitasnya.

Festival utama akan berlangsung pada Juli 2025 di Plaza Ngasem. Dalam acara puncak ini, berbagai praktik baik akan dipamerkan, termasuk dokumentasi perjalanan Susur Kampung. Dengan mengusung konsep Zero Waste, festival ini juga menekankan pentingnya keberlanjutan lingkungan dalam setiap aspek kehidupan kampung.

Menurut perwakilan Arkom Indonesia, festival ini bukan sekadar ajang perayaan, tetapi juga bagian dari proses advokasi yang lebih luas. “Kami ingin kampung memiliki suara dalam pembangunan kota. Perempuan, anak-anak, dan pemuda harus dilibatkan dalam merancang masa depan mereka sendiri,” kata Yuli Kuswara selaku Arsitek Direktur Arkom Indonesia.

Harapan Baru bagi Warga Rentan

Selain festival, Kalijawi juga sedang merancang konsep perumahan berbasis koperasi bagi warga berpenghasilan rendah di Notoyudan, Yogyakarta. Model ini lahir sebagai jawaban atas sulitnya akses perbankan bagi mereka yang tidak memenuhi syarat kredit konvensional.

Ainun Murwani menegaskan bahwa koperasi dapat menjadi solusi bagi mereka yang ingin memiliki hunian layak. “Banyak warga yang kesulitan mengakses kredit perumahan. Kalau hanya mengandalkan bank, sulit bagi mereka untuk mendapatkan rumah. Maka, koperasi menjadi pilihan yang lebih adil dan bisa diakses semua orang,” jelasnya.

Di Notoyudan, sekitar 61 kepala keluarga masih tinggal di hunian yang tidak layak. Berdasarkan kajian akademisi, lahan seluas 2.300 meter persegi di kawasan tersebut berpotensi menampung hingga 120 unit hunian dengan konsep kampung susun. 

“Masalah terbesar adalah harga tanah yang masih dinegosiasikan. Kami berharap dengan dukungan dari Kementerian Koperasi dan UKM, proyek ini bisa segera berjalan,” tambahnya.

Tidak hanya di Notoyudan, konsep serupa juga akan diterapkan di kawasan Pringgomukti. Selain sebagai tempat tinggal, koperasi ini akan membuka peluang usaha bagi warga, sehingga mereka tidak hanya mendapatkan rumah, tetapi juga kesempatan ekonomi.

Lebih Inklusif

Di tengah arus urbanisasi yang semakin cepat, Arkom Indonesia terus mendorong pendekatan berbasis komunitas dalam perencanaan kota. Yuli menekankan pentingnya partisipasi warga dalam merancang tata kota yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

“Kita harus meninggalkan pendekatan top-down dalam perencanaan kota. Masyarakat bukan objek pembangunan, tetapi subjek yang punya hak menentukan masa depan wilayah mereka,” ujarnya.

Diskusi yang digelar di Yogyakarta menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, perencana kota, dan komunitas lokal. Salah satu isu utama yang dibahas adalah bagaimana mempertahankan keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian budaya.

Arkom Indonesia telah melakukan berbagai proyek revitalisasi kampung yang menunjukkan keberhasilan pendekatan berbasis komunitas. Di Yogyakarta, misalnya, kampung-kampung berhasil ditata ulang tanpa menghilangkan karakter asli mereka.

Menurut Yuli, pemerintah dan sektor swasta perlu lebih terbuka dalam mengadopsi metode perencanaan yang lebih inklusif. “Kolaborasi adalah kunci utama. Jika semua pihak mau bekerja bersama, kita bisa membangun kota yang lebih baik, bukan hanya dari sisi infrastruktur, tetapi juga sosial dan ekonomi,” katanya.

Aset yang Harus Dijaga

Festival Umuk (Pamer) Kampung bukan sekadar perayaan budaya. Ia adalah cerminan dari semangat warga kampung yang ingin mempertahankan identitas mereka di tengah perubahan zaman. Dengan keterlibatan komunitas, akademisi, seniman, dan pemerintah, festival ini membawa pesan penting: kampung bukan sekadar bagian dari kota, tetapi aset yang harus dijaga dan dikembangkan.

Ainun dan Yuli mempunyai harapan yang sama terhadap festival ini agar bisa menjadi langkah awal menuju kebijakan yang lebih berpihak pada warga kampung. “Kita ingin menunjukkan bahwa kampung adalah solusi, bukan masalah. Jika kita bisa melihat kampung sebagai bagian dari solusi, kota yang lebih inklusif dan berkelanjutan bukan lagi sekadar mimpi,” pungkasnya. (*)