Festival Seni Cetak Grafis Trilogia 2024 Digelar di ISI Yogyakarta

Tim kuratorial menemukan arsip yang sebelumnya dianggap hilang.

Festival Seni Cetak Grafis Trilogia 2024 Digelar di ISI Yogyakarta
Festival Seni Cetak Grafis Trilogia 2024 di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Festival Seni Cetak Grafis Trilogia 2024 resmi dibuka di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta. Festival ini digelar untuk menyelami perjalanan seni cetak grafis dari masa kolonial hingga era kontemporer.

Dengan tema besar yang dibagi dalam tiga lantai pameran, festival menjadi ruang refleksi mendalam tentang bagaimana seni cetak grafis mempengaruhi dan merepresentasikan kehidupan masyarakat lintas zaman.

Salah seorang kurator pameran, Febrian Adinata Hasibuan, menjelaskan pameran dirancang untuk menghadirkan pengalaman yang tidak hanya estetis, tetapi juga historis dan filosofis.

"Festival ini tidak hanya soal seni, tetapi juga pengarsipan memori kolektif bangsa yang selama ini sering kali terabaikan," ujarnya pembukaan acara, Sabtu (7/12/2024).

Untuk propaganda

"Kami ingin menunjukkan bahwa seni cetak grafis adalah medium yang sangat kuat, baik untuk propaganda, dokumentasi sejarah, maupun ekspresi budaya sehari-hari," tambahnya.

Pameran terbagi tiga lantai, masing-masing menawarkan narasi yang berbeda. Lantai pertama mengupas seni cetak grafis sebagai alat propaganda, berupa arsip dari era kolonial hingga masa revolusi.

Arsip brosur pariwisata kolonial Belanda, misalnya, tidak hanya menggambarkan flora dan fauna tetapi juga bagaimana masyarakat dipisahkan berdasarkan suku oleh sistem kolonial.

"Konsep seperti 'orang Jawa' atau 'orang Sunda' adalah konstruksi kolonial yang masih terasa sampai sekarang. Ini menjadi salah satu kritik mendalam terhadap bagaimana seni grafis digunakan untuk membentuk identitas sosial yang terpecah-pecah," jelas Febrian.

Sosial-politik

Lantai kedua membawa pengunjung pada seni cetak grafis kontemporer, termasuk karya-karya yang menyoroti isu sosial-politik era Orde Baru.

Salah satu karya yang menarik perhatian adalah denah rumah yang merefleksikan dampak Repelita pada ruang keluarga, ruang makan yang mengkritik revolusi hijau, hingga ruang belajar yang menyinggung program Keluarga Berencana dan AIDS.

Lantai ketiga menawarkan pengalaman yang sulit didefinisikan, menghubungkan seni cetak grafis dengan kehidupan sehari-hari.

"Pada titik ini, kami ingin menantang pengunjung untuk bertanya, 'Apakah ini seni cetak grafis?' Karena seni ini begitu melekat dalam keseharian kita, hingga sulit dibedakan dari pengalaman hidup itu sendiri," tambahnya.

Jejak tersembunyi

Salah satu sorotan utama pameran adalah keberhasilan tim kuratorial menemukan arsip yang sebelumnya dianggap hilang. Album poster revolusi karya Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dari tahun 1948, yang sempat dinyatakan lenyap akibat Agresi Militer Belanda II, kini berhasil direproduksi.

"Penemuan arsip ini sangat istimewa. Album tersebut ditemukan dalam koleksi pribadi dan direpro dengan sangat hati-hati karena kondisi kertasnya yang rapuh," ungkapnya.

Arsip itu menjadi saksi bisu perjuangan para seniman era kemerdekaan yang mencetak hingga seribu poster sehari bersama masyarakat. PTPI juga memainkan peran penting dalam pembentukan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), cikal bakal ISI Yogyakarta.

Tidak hanya soal sejarah, festival juga mengangkat tema-tema progresif seperti seksualitas dan keberagaman melalui karya dari Queer Archive Indonesia.

Masa Jepang

Zine-zine bertema queer ditampilkan berdampingan dengan arsip propaganda dari masa Jepang, menciptakan dialog antara seni sebagai alat media dan medium ekspresi subyektif.

"Kami ingin menunjukkan tarik-menarik antara seni grafis sebagai alat propaganda dan seni grafis sebagai medium gagasan. Ini relevan di masa lalu, relevan pula di masa kini," jelas Febrian.

Festival juga menjadi ruang untuk menyoroti keterbatasan pengarsipan seni di Indonesia. Sebanyak 50 persen arsip yang dipamerkan berasal dari koleksi pribadi dan institusi luar negeri.

"Sayangnya, lembaga resmi kita seperti ANRI dan Perpusnas tidak memiliki banyak arsip penting ini. Kondisi ini mencerminkan lemahnya tradisi pengarsipan kita sebagai bangsa," kata dia.

Menghidupkan arsip

Dengan ratusan arsip dan karya yang ditampilkan, Festival Seni Cetak Grafis Trilogia 2024 menawarkan lebih dari sekadar pameran seni. Festival ini adalah ajakan untuk memahami sejarah, memperkuat tradisi pengarsipan dan mengapresiasi seni grafis sebagai bagian dari identitas budaya yang terus hidup.

"Kami berharap pameran ini tidak hanya memberikan pengalaman visual, tetapi juga menjadi bahan refleksi kritis. Seni cetak grafis adalah cermin, baik bagi masa lalu kita maupun masa depan yang ingin kita bangun," tandasnya.

Festival akan berlangsung hingga akhir bulan, dengan serangkaian diskusi, lokakarya dan tur kuratorial untuk memperdalam wawasan pengunjung. (*)