Fakta Ilmiah, Kenapa Virus Corona di Jabodetabek Merebak

Fakta Ilmiah, Kenapa Virus Corona di Jabodetabek Merebak

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Novanto Yudistira, seorang ahli Big Data Analisis serta Deep Learning, berhasil mengungkap fakta ilmiah kenapa virus Corona atau Covid-19 merebak di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sehingga daerah ini disebut zona merah.

Doktor Bidang Teknologi Informasi dan Sistem Cerdas lulusan Universitas Hiroshima Jepang itu membagikan hasil risetnya, Minggu (5/4/2020).

Melalui tulisannya versi Bahasa Indonesia, Ketua Laboratorium Sistem Cerdas Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya tersebut memaparkan secara detail peta sebaran virus Corona di berbagai belahan dunia, disertai referensi-referensi jurnal-jurnal ilmiah maupun contoh-contoh penanganan kasus Corona di suatu negara.

Yudis, panggilan akrabnya, menjelaskan sinar ultraviolet atau UV dari matahari mampu menginaktivasi virus Corona. Persoalannya tingkat pencemaran udara yang sangat tinggi di suatu wilayah membuat virus tersebut sulit dimatikan.

“Virus Corona di wilayah Jabodetabek bermasalah karena tingkat pencemaran udaranya sangat tinggi sehingga UV tidak bisa tembus untuk menginaktifkan virus,” paparnya.

Karena itu dia menyarankan semua aktivitas perekonomian di wilayah tersebut dihentikan sementara untuk memberi kesempatan UV bekerja membersihkan Jabotabek dari Corona.

Dengan kata lain, semua industri, pabrik-pabrik dan pusat-pusat perekonomian secara serentak menghentikan akvititasnya dalam jangka waktu tertentu guna membebaskan udara dari polusi.

Menurut dia, sebenarnya Indonesia sangat diuntungkan dengan UV yang melimpah. Lagi-lagi masalahnya, tingkat polusi yang tinggi membuat UV tidak bisa bekerja. “Sebenarnya ada faktor alam yaitu index UV yang menguntungkan kita,” tambahnya.

Dia menjelaskan, meskipun sinar UV mempunyai kemampuan menonaktifkan virus utamanya Covid-19, namun UV akan berkurang pengaruhnya di wilayah yang berpolusi udara tinggi sehingga sinar UV justru akan berubah bentuk menjadi panas.

Seperti diketahui, UV berbeda dari suhu dan cuaca. UV adalah gelombang elektromagnetik yang mempunyai panjang sekitar 10 nm hingga 400 nm, lebih pendek dari cahaya yang biasa terlihat manusia. Bagi orang-orang tertentu, sinar UV dapat menyebabkan kanker akibat paparan sinar matahari secara langsung. Berbeda dengan orang di negara tropis tidak terpengaruh efek negatif UV, sebaliknya UV justru mampu menonaktifkan virus.

Coronavirus pertama kali dilaporkan di Tiongkok pada Desember 2019. Pada Maret 2020, penyakit ini menyebar ke sedikitnya 178 negara. Virus ini memiliki kemampuan menyebar dengan mudah dan cepat. Dibanding  negara lain seperti Amerika Serikat, Italia, Prancis, Belanda dan Iran, diketahui jumlah penderitanya di Indonesia ternyata lebih rendah.

Yudis mencontohkan saat Covid-19 melumpuhkan Italia, dari data-data yang ada diketahui polusi udara terkonsentrasi di Italia utara. Hal ini diperparah dengan tingkat indeks UV yang rendah di negara itu.

Lockdown atau penguncian ketat dengan cara menghentikan aktivitas perindustrian sesaat bisa membuat polusi udara berkurang sehingga memberi kesempatan UV masuk ke udara dan benda-benda.

“Di Indonesia tingkat pandemi Covid-19 tertinggi berada di pulau Jawa terutama Jakarta sebagai episentrum. Kita sedang memproses data yang diperoleh BMKG yang secara sekilas terlihat data tersebut menunjukkan korelasi dengan data persebaran pandemi Covid-19 di Indonesia dengan asumsi UV index di seluruh Indonesia adalah sangat tinggi dengan variasinya yang rendah yaitu sekitar 9-12,” terangnya.

Menurut dia, indeks UV dan ozon berkorelasi dengan penyebaran global pandemi Corona, namun itu bukan satu-satunya faktor. “Ada beberapa faktor lain seperti aktivitas ekonomi dan kepadatan populasi mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan kasus virus Corona,” kata dia. (sol)