DPRD DIY Siap Buka-bukaan Soal Polemik Izin Tambang Pasir

DPRD DIY Siap Buka-bukaan Soal Polemik Izin Tambang Pasir

KORANBERNAS.ID, BANTUL – Ketua DPRD DIY Nuryadi menyatakan siap buka-bukaan terkait polemik turunnya izin penambangan pasir Kali Progo di kawasan Dusun Nengahan Srandakan Bantul. Dewan sama sekali tidak ingin mengambil posisi eksekutif kecuali hanya sebagai penengah alias wasit.

Penegasan ini disampaikan Nuryadi saat meninjau lokasi penambangan, Kamis (18/6/2020). Dia didampingi anggota Komisi C DPRD DIY yang membidang pembangunan yaitu Ispriyatun Katir Triatmojo dan Amir Syarifudin.

Di lokasi penambangan ketiga anggota dewan itu menyaksikan sendiri banyaknya spanduk berisi protes keras warga menolak penambangan pasir pakai alat berat bego maupun mesin sedot pasir. Spanduk-spanduk itu bertebaran di mana-mana, ada yang dipaku pada pohon, terpasang di pojok jalan pakai tiang bambu maupun di halaman rumah.

“Saya tegaskan kita sebagai penengah. Dewan tidak menyalahkan siapa pun tetapi aspirasi masyarakat ini harus kita pegang dan kita dampingi,” ujarnya kepada wartawan di sela-sela pertemuan yang juga dihadiri jajaran Dinas PUP ESDM DIY, perwakilan kecamatan setempat serta instansi terkait.

Menurut Nuryadi, dari hasil peninjauan lapangan dan aspirasi masyarakat, dewan memastikan untuk mengagendakan pertemuan dengan pihak-pihak terkait agar semuanya terbuka.

“Saya meminta eksekutif terbuka. Kalau prosedur keluarnya izin itu sudah benar mau ngapain kita? Tetapi menurut masyarakat itu tidak benar,” kata dia.

Dari pengalaman tahun 1980-an, masyarakat Nengahan Srandakan pernah menambang pasir secara manual ternyata merusak lingkungan. Kala itu, Pemerintah Provinsi DIY mengarahkan penambang mengolah lahan serta diberi ternak kambing.

Dari penjelasan warga, Nuryadi menyatakan akibat penambangan pasir pakai mesin, jembatan Srandakan rusak. Selain itu, bangunan penyangga dam tidak jauh dari lokasi penambangan ambrol.

Nuryadi dan anggotanya kemudian melihat langsung bangunan dam yang ambrol maupun tiang listrik yang berada persis di tepi sungai. Jika saja dasar sungai tergerus kemungkinan besar tiang listrik itu ambruk.

Sekali lagi dia menegaskan DPRD DIY tidak akan mengambil alih wewenang eksekutif. “Kami sebagai dewan mencari masukan di lapangan. Posisi kami adalah legislatif. Jangan salah,  kami tidak mungkin mengambil langkah eksekutif. Namun pengawasan tetap kita lakukan apakah proses perizinan itu terjadi sebagimana mestinya,” kata dia.

Ispriyatun Katir Triatmojo menambahkan, dari masukan di lapangan dia melihat turunnya izin penambangan pasti ada hal-hal yang tidak transparan. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Srandakan.

“Nanti kita buka bersama-sama. Pak Ketua (Ketua DPRD DIY Nuryadi) juga sudah menyatakan untuk membuka persoalan ini. Kita diskusikan. Mekanisme dan munculnya izin itu seperti apa? Paling tidak kita mendapat masukan dan mendampingi masyarakat,” paparnya.

Menjawab pertanyaan misalnya eksekutif menyatakan izin penambangan keluar karena secara administratif prosesnya sudah terpenuhi, Katir menegaskan itulah yang harus dibuka agar transparan. “Kita buka biar terang benderang, bisa seperti itu proses awalnya bagaimana?” kata dia.

Yohanes Tamtama mewakili warga Srandakan menjelaskan warga tidak setuju desanya dijadikan lokasi tambang pasir pakai mesin. Penolakan itu dilakukan sejak 2017.

Perwakilan warga pernah menghadap Gubernur DIY, dinas terkait, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSO), Polda maupun Korem. “Pada tahun 2019 kami menghadap lagi ke Pak Gubernur kemudian dipertemukan di Balai Besar,” ungkapnya.

Tamtama menyatakan warga prihatin atas rusaknya jembatan Srandakan yang menghubungkan Bantul dengan Kulonprogo, demikian pula bangunan dam sisi barat dan timur serta tiang listrik penyangga dua kabupaten itu yang terancam.

“Mestinya instansi terkait menindaklanjuti ke lapangan. Kami heran, sosialiasi belum dilakukan izin sudah turun dari instansi terkait. Jangan sampai masyarakat dibenturkan. Kami tidak ingin ada pembelahan,” pintanya.

Dia menyatakan sejumlah 568 warga menolak penambangan. Sedangkan yang mengikuti sosialiasi kurang lebih 59 orang. Jika izin sudah terpenuhi, warga akan berusaha mencari celah kenapa izin itu bisa turun padahal prosesnya tidak benar. (sol)