Disfungsional Hukum

Disfungsional Hukum

INDEKS Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun 4 poin, dari 38 pada tahun 2021, menjadi 34 pada tahun 2022. Menurut Transparency International Indonesia (TII) skor ini merupakan penurunan paling drastis sejak 1995.

Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara paling tidak korup, dengan skor 83. Diikuti Malaysia, dengan skor 47, Timor Leste skor 42, Vietnam skor 42, Thailand skor 36, Indonesia, skor 34, Filipina skor 33, Laos skor 31, Kamboja skor 24, dan Myanmar skor 23.

Di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan skor 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru dengan skor 87, Norwegia skor 84, Singapura dan Swedia skor 83, serta Swiss skor 82. Posisi terendah adalah Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan skor 13, serta Venezuela skor 14.

Anjoknya IPK Indonesia, merupakan bukti nyata bahwa praktik-praktik buruk (korup) di bidang hukum semakin merajalela. Dari perspektif sosiologi hukum, data di atas menunjukkan bahwa di negeri ini tengah berlangsung disfungsional hukum. Pertanyaan mendasar, mengapa hal ini terjadi terus-menerus?

Sesungguhnya, hukum mempunyai berbagai fungsi dalam kehidupan bermasyarakat/bernegara. Misal, hukum sebagai sarana merekayasa masyarakat/bangsa agar kehidupannya lebih baik (law as a tool of social engineering). Hukum sebagai sarana perwujudan ketertiban dan keteraturan. Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa. Dan masih banyak fungsi-fungsi lainnya.

Untuk memahamkan keterkaitan antara disfungsional hukum dengan maraknya korupsi dan anjloknya IPK, dipandang cukup dikemukakan dua fungsi hukum saja, yakni: (1) hukum sebagai ekspresi nilai dan idealitas; dan (2) hukum sebagai penjaga harapan (expectation) masyarakat/bangsa.

Menurut Satjipto Rahardjo (1998) kedua fungsi hukum itu mengungkap sekaligus hal-hal yang terdapat dalam sanubari masyarakat/bangsa. Pada lubuk hati nurani, terdapat kehendak masyarakat/bangsa untuk terikat pada hukum, yang di dalamnya ada nilai dan idealitas tertentu. Ketaatan pada hukum itu dengan harapan (ekspektasi), agar kehidupan yang dijalaninya semakin baik, lebih makmur, lebih adil, dan lebih sejahtera.

Hukum, dalam keotentikannya, sedari awal telah memberikan harapan terwujudnya kehidupan seperti itu. Syaratnya, hukumnya baik (berkualitas), dipatuhi atas dasar kesadaran, dijalankan dan ditegakkan oleh aparatur secara konsisten.

Pada tataran teoretis maupun praktis, hukum senantiasa diajarkan sebagai sarana terbaik perwujudan idealitas dan kepastian kehidupan lebih baik itu. Pengajaran, pendidikan, dan sosialisasi fungsi hukum, dilakukan secara sistematis, masif, dan terencana. Hasilnya berupa kepercayaan masyarakat/bangsa pada hukum. Bila hukum ditaati, maka kehidupan menjadi adil, makmur, sejahtera; sementara bila hukum dilanggar, pastilah kehidupan menjadi rusak, bergayut dengan kenestapaan.

Ketika kenyataan menunjukkan bahwa korupsi marak, IPK merosot, pastilah kepercayaan masyarakat/bangsa terhadap hukum pun surut. Orang-orang bijak dan kritis, mempertanyakan secara mendasar tentang kualitas hukum, kualitas pelayanan hukum, mafia peradilan, tebang-pilih pemberantasan korupsi, dan lain-lainnya. Ketika sikap kritis itu tidak direspons dengan baik oleh pihak berwenang, maka rentan berlanjut menjadi gerakan fisik (demo). Suasana kehidupan pun menjadi panas dan rentan jatuh korban.

Akar persoalan disfungsional hukum, memang perlu dilacak sejak pembuatan hukum. Bila, hukum di negeri ini benat-benar dibuat berdasarkan nilai-nilai Pancasila, dibuat oleh orang-orang berkualitas negarawan, orientasinya untuk kebahagiaan kehidupan dunia-akhirat, pastilah hukumnya berkualitas tinggi. Terhadap hukum demikian, maka taat pada hukum merupakan kewajiban mutlak, setiap orang, setiap warga negara, maupun penyelenggara negara.

Sungguh malang, kualitas hukum di negeri ini amat rendah. Mengapa demikian? Karena hukum dibuat atas dasar kepentingan pihak tertentu; dibuat oleh orang-orang gagap hukum; dan orientasinya demi pemaksimalan pemilikan harta dan kekuasaan. Fungsi idealitas dan ekspektasi futuristik masyarakat/bangsa, dicampakkan.

Masyarakat lapisan bawah (grassroots) seperti: buruh, petani, nelayan, diobjekkan seolah alat produksi belaka. Bila dipandang menggangu kepentingan kelas elit (pengusaha dan penguasa), mereka rentan digusur, digeser, dipecat. Tindakan dzalim itu seolah legal (sah) karena tindakan demikian telah diskenariokan dan tercakup dalam hukum negara berkualitas rendah (diskriminatif) tersebut.

Tampaklah pada disfungsional hukum itu, terdapat benang merah dan sekaligus gap (jurang), antara kehendak kelas elit pada satu pihak dengan nilai, idealitas, dan harapan rakyat jelata. Seluk beluk pembuatan, pelaksanaan, hingga penegakan hukum dihegemoni oleh kelas elit, sementara rakyat jelata dimarginalkan, dipandang sebelah mata.

Selama hukum masih berada dalam cengkeraman kelas elit, jauh dari idealitas dan ekspektasi masyarakat/bangsa, maka resiko terjadinya abuse of power, maraknya korupsi, anjoknya IPK, penderitaan rakyat, semakin potensial terjadi. Negara hukum pun tinggal predikat semata, tetapi jauh dari makna hakikinya. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM