Di Jogja Olah Sampah, Barang Bau Menjadi “Madu”

Di Jogja Olah Sampah, Barang Bau Menjadi “Madu”
Aktivitas pengolahan sampah di Jogja Olah Sampah. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, SLEMAN—Jogja Olah Sampah di Tirtoadi, Kapanewon Mlati Sleman, sekilas mirip bangunan pabrik. Berdiri di atas lahan seluas sekitar 800 meter persegi, Jogja Olah Sampah saat ini menjadi bagian penting dari solusi atas berbagai persoalan sampah yang belakangan menghantui sebagian besar wilayah DIY, khususnya Sleman, Kota dan Bantul.

Di tempat inilah, sampah-sampah rumah tangga setiap harinya diolah. Campuran sampah organik dan non organik dipilah dan dipisahkan. Yang memiliki nilai jual, seperti botol, pvc, kertas, karton dan lain sebagainya, dikemas tersendiri dan dijual.

Sedangkan sampah organik mulai sisa makanan dan dedaunan, kemudian diolah lebih lanjut menjadi limbah organik. Limbah ini kemudian diolah lagi dengan berbagai macam campuran bahan untuk fermentasi, sehingga menghasilkan produk akhir berupa pupuk organik. Bisa juga diolah untuk biokonversi maggot. Sedangkan limbah plastik selanjutnya akan diolah menjadi bahan conblok atau bahan cetakan berbahan plastik lainnya. Bahkan, bisa diolah menjadi bahan bakar, guna memenuhi kebutuhan pabrikan seperti pabrik semen misalnya.

“Kami memiliki kapasitas produksi mencapai 15 ton perhari. Artinya, fasilitas ini mampu melayani sampah dari sekitar 7.500 keluarga,” kata Arif Budiono, penggagas sekaligus pendiri Jogja Olah Sampah di Tirtoadi, Kapanewon Mlati, pekan silam.

Keputusan alumnus ITB yang kemudian menjadi wiraswataan untuk mendirikan Jogja Olah Sampah, bukan tanpa alasan. Sebagai Kota Wisata dan Kota Pendidikan, Jogja sudah pasti akan menghadapi problem sampah berkepanjangan. Kemampuan pemerintah menyiapkan fasilitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah tidak akan pernah mampu menyelesaikan timbunan sampah yang akan terus bertambah.

Sehingga menurut Arif, paradigma terhadap penanganan sampah harus berubah. Bukan lagi sampah dibuang langsung ke TPA, melainkan harus diolah secara mandiri sejak awal. Paradigmanya harus menjadi “Sampah Kita adalah Tanggungjawab Kita”.

Menceritakan perjalanan Jogja Olah Sampah, Arif Budiono yang kini tercatat menjadi Direktur CV Sumber Tirta salah satu distributor dari Aqua Danone ini, berawal dari gagasan dan rancangan di awal tahun 2022. Dirinya sowan ke Bappeda DIY untuk menyampaikan ide ini sebagai bentuk dukungan terhadap upaya mencari solusi persoalan sampah.

Dari sana, konsep terus dimatangkan hingga kemudian fasilitas terbangun akhir 2022 dan mulai beroperasi awal 2023.

Menariknya, Jogja Olah Sampah ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Selain pengolahan sampah, juga dibangun anjungan untuk pengunjung serta ruang meeting dan diskusi. Dirinya juga terus mencari cara, untuk bisa mengurangi efek dari bau sampah, sehingga tempat pengolahan sampah ini ke depan tidak menimbulkan gangguan barupa bau ke lingkungan sekitar.

“Ada misi yang kami usung. Bagaimana tempat ini nanti menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain di DIY dan bahkan mungkin kota lain di luar DIY. Sebab hitungan saya, untuk bisa menyelesaikan persoalan sampah secara mandiri, maka setiap kalurahan di wilayah perkotaan setidaknya butuh 1 fasilitas seperti ini. Tapi untuk wilayah pinggiran, satu fasilitas seperti Jogja Olah sampah sudah cukup untuk melayani 1 hingga 2 kecamatan sekaligus,” kata Arif yang mengaku berinvestasi sekitar Rp 1.5 miliar untuk Jogja Olah Sampah ini.

Arif Budiono menerima kunjungan Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta. (istimewa) 

Bahaya Sampah Plastik

Langkah Arif Budiono dari pengusaha ke pergerakan lingkungan, bukan tanpa pertimbangan. Ia menyadari betul, ancaman dari terus berkembangnya industri kemasan makanan dan minuman berbahan plastik.

Bahan dasar pembuatan botol air minum kemasan adalah plastik polietilena, atau lebih akrab disebut sebagai PET. Bahan baku yang dikomersialkan sejak tahun 1950-an ini tahan banting, sehingga isinya tetap aman terutama dalam proses pengiriman. Sayangnya, plastik PET tidak bisa terurai secara natural, bahkan 400 tahun dari sekarang, limbah-limbah plastik yang tidak tertangani akan tetap ada di tempat-tempat pembuangan sampah.

Selain masalah tentang penguraian, plastik PET juga memiliki dampak terhadap kesehatan. Zat yang ada dalam botol PET seperti antimon trioksida dan ftalat bisa mengakibatkan resiko kanker jika plastik botol PET tidak ditangani dengan baik. Ada juga dampak polusi mikroplastik, yaitu ketika plastik yang terbuang di perairan pecah menjadi butiran-butiran kecil, dan masuk ke tubuh hewan. Butiran plastik kecil tersebut bisa saja masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi makanan dan berdampak pada kesehatan tubuh.

Dengan melihat seberapa bahaya efek sampah plastik, tidak heran kalau penanganan limbah plastik menjadi hal yang penting. Limbah plastik yang tidak dapat terurai dapat didaur ulang kembali menjadi benda-benda yang fungsional, dan bahkan memiliki nilai ekonomis sendiri. Industri pendaur-ulangan sampah tidak cuma sebuah upaya untuk menyingkirkan limbah, melainkan proses untuk memanfaatkan lagi apa yang sebelumnya dirasa tidak berguna, memberinya nilai kembali, dan membuat limbah dapat jadi barang yang berguna untuk kebutuhan sektor-sektor lain.

Di sisi lain, Arif juga melihat kenyataan himpinan hidup dari kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalkan. Pekerjaan semakin sulit didapatkan oleh sebagian masyarakat yang kurang beruntung dari akses pendidikan. Sehingga mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang layak.

Demikian juga dengan kelompok petani. Mereka dihadapkan pada persoalan mahalnya biaya produksi saat musim tanam. Sebaliknya, ketika musim panen, problem lain muncul lantaran harga yang jatuh karena penanganan pasca panen yang belum perjalan dengan baik.

“Saya berharap, dari satu persoalan sampah ini, bisa dikelola dan sekaligus memberikan solusi bagi persoalan-persoalan lain di masyarakat. Termasuk problem di petani khususnya terkait dengan pupuk. Kalau ini bisa dijadikan gerakan bersama, tentu dampaknya akan lebih terasa,” katanya. (*)