Cerita Gerai Tjokrosuharto, Pelestari Seni dan Budaya Jawa di Kampung Gudeg
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA—Tjokrosuharto sejauh ini dikenal sebagai sebuah gerai arts and craft yang melegenda di Yogyakarta. Tapi boleh jadi belum banyak yang tahu, lika liku dan perjuangan panjang sang pemilik gerai dalam melestarikan seni dan budaya Jawa di Jogja.
Gerai yang sudah menginjak usia 90 tahun ini, sekarang dikelola oleh Rifki. Nama lengkapnya adalah Rifki Kusumo Harimawan. Ia adalah generasi ketiga dari keluarga keluarga Tjokrosuharto, yang pendiri gerai.
Gerai Tjokrosuharto terletak di Jalan Panembahan, Kraton, Yogyakarta. Lokasinya masuk kawasan Wijilan yang terkenal dengan kuliner gudeg. Antara gerai Tjokrosuharto dengan pusat kuliner gudeg, saling melengkapi. Wisatawan yang datang ke Jogja, belum lengkap rasanya kalau belum menyantap kuliner bercita rasa manis lezat ini. Begitupun kalau belum singgah dan belanja art dan craft di Tjokrosuharto.
“Saya ini generasi ketiga sejak 1993. Orang tua saya sebelumnya mengelola dari tahun 1986. Dan, eyang saya merintis dari tahun 1930. Jadi sekarang gerai ini sudah berusia 90 tahun,” kisah Rifki yang ditemui di gerai Tjokrosuharto Arts and Crafts, Kamis (8/8/2024).
Kisah Tjokrosuharto, bermula dari kerajinan perak dan batik. Kakek Rifki, adalah perajin perak yang tinggal di Kotagede. Sedangkan istrinya atau nenek Rifki, lebih ahli di bidang batik membatik. Sembari tekun membatik, neneknya juga menjalani aktivitas sebagai abdi dalem Kraton Yogyakarta. Sang nenek punya tugas khusus yakni memegang paying pada masa Sri Sultan HB VIII bertahta.
Karena aktivitasnya di Kraton Jogja, suami istri ini kemudian mulai membuka workshop di daerah Panembahan, persisnya di Kampung Wijilan, yang hanya berjarak ratusan meter dari kraton.
Dari perak dan batik, Gerai Tjokrosuharto terus berkembang. Sekarang ini, ada sembilan komoditas seni dan kerajinan yang menjadi unggulan Tjokrosuharto. Selain kerajinan perak, logam dan batik, Rifki juga menyediakan perlengkapan pernikahan, perlengkapan upacara labuhan, suronan dan lain sebagainya.
Tugas Berat
Rifki punya tanggung jawab berat melanjutkan Tjokrosuharto. Bukan sekadar dapat tumbuh dan berkembang, namun diharapkan mampu melestarikan seni dan budaya Jawa, seperti yang dicita-citakan orang tuanya dan para leluhurnya.
Dibilang tidak ringan, karena ada begitu banyak barang seni dan budaya yang dulunya ada dan dikenal di Jogja. Saat inipun, ada ribuan barang atau produk seni dan budaya yang dijual di Tjokrosuharto. Dari 9 produk unggulan tadi, turunannya begitu beragam. Ada misalnya keris dan pusaka, pakaian Jawa, baju upacara adat, wayang kulit, gamelan, kerajinan kayu dan bahkan kerajinan dari bahan tanduk.
Koleksi keris di Tjokrosuharto pun sangat beragam. Ada keris dengan kategori sepuh, duplikat dan aksesoris. Keris sepuh dijual lebih mahal karena termasuk koleksi zaman kerajaan seperti Mataram, Majapahit, dan lainnya. Selain ditempa oleh empu-empu pusaka, keris sepuh memiliki tangguh, dapur dan pamor yang hanya bisa dijumpai zaman kerajaan.
“Eyang dulu suka koleksi keris. Zaman dulu, keris itu dijual besekan. Koleksi keris dan pusaka milik eyang kami simpan terpisah di tempat lain, namun tidak dijual,” imbuh Rifki.
Harga keris sangat bervariasi. Paling murah keris aksesoris, hanya seratusan ribu rupiah. Keris duplikat lebih mahal bisa mencapai satu jutaan lebih. Keris sepuh yang masih utuh dan terawat bisa lebih dari Rp 5 juta.
Tjokrosuharto juga identik dengan batik tulisnya. Meski juga menjual batik printing, namun batik tulis Tjokrosuharto memiliki pelanggan dari artis, menteri hingga mantan presiden.
“Pak SBY pernah beli, ibu menteri Retno Marsudi, dan beberapa artis. Saya menunggu Pak Prabowo bisa rawuh,” harapnya.
Menurutnya, melestarikan batik tulis agar tidak punah salah satunya dengan membeli dan mengenakannya dalam kegiatan sehari-hari. Ia senang, ketika pemerintah daerah kemudian mendorong penggunaan busana-busana adat Jawa pada hari-hari tertentu. Baik untuk siswa sekolah maupun untuk pegawai di lingkungan pemerintahan.
“Apa yang dilakukan tokoh publik dengan berkunjung ke Tjokrosuharto maupun gerai-gerai lainnya, adalah untuk merawat kelangsungan hidup perajin batik tulis, dan mereka yang memasarkannya. Pun ketika para pegawai pemerintahan dan siswa sekolah diwajibkan mengenakan busana adat,” lanjut Rifki.
Pasar Ekspor
Selama ini, komoditas Tjokrosuharto tidak hanya dikirim ke pasar domestik atau dalam negeri. Hasil kerajinan Tjokrosuharto juga sudah diekspor ke sejumlah negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Di dua negara ini, produk dari Tjokrosuharto berupa batik tulis, pakaian upacara adat, dan pakaian tarian adat paling banyak dipesan konsumen.
Rifkilah yang berhasil mendorong perluasan pemasaran. Ia memanfaatkan ruang-ruang digital untuk menjaring konsumen lebih luas, yang memang membutuhkan dan tertarik dengan produk-produk kerajinan dan seni dari Jogja.
“Pasar mancanegara sudah kami rambah, seiring dengan pemasaran yang dilakukan secara digital,” kata Rifki memberi penjelasan.
Pesanan online tersebut dikirim melalui jasa ekspedisi. Sejak tahun 2009, Tjokrosuharto memilih JNE sebagai mitra pengiriman karena memiliki banyak keunggulan dibanding ekspedisi lainnya. JNE, lanjut Rifki, mempunyai respons kilat menanggapi permintaan pelanggan, serta memberikan solusi jika konsumen mengalami kendala.
“Ada layanan pick up. Konsumen butuh dikirim cepat, hari ini atau besok harus sampai, bisa dipenuhi oleh JNE. Ketepatan sampai tujuan dengan baik, handling bagus,” ujar Rifki yang mengakui lonjakan kiriman terjadi pada saat pandemi Covid-19. Penjualan mayoritas berasal dari online.
Sebagai customer corporate, Tjokrosuharto menjadi salah satu pelanggan setia JNE. Komoditas Tjokrosuharto bisa dikemas dengan baik sesuai permintaan konsumen, entah itu keris, batik, hingga gebyok yang memiliki ukuran jumbo. (*)