Budaya, Akar yang Tidak Boleh Tercerabut saat Membangun Desa

Budaya, Akar yang Tidak Boleh Tercerabut saat Membangun Desa
Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi usai membuka Senior Official Meeting on Rural Development and Poverty Eradication (SOMRDPE) pada Selasa (25/7/2023) di Sheraton Mustika Yogyakarta. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Pembangunan desa akan berdampak langsung terhadap kemajuan bangsa. Alih teknologi, smart village, digitalisasi dan Internet of Things (IoT), menjadi bagian yang pada akhirnya tidak bisa dipisahkan dalam pembangunan desa di Indonesia.

Walau demikian, keberagaman budaya dan bahasa yang ada tidak boleh luntur apalagi hilang. Hal ini ditekankan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi usai membuka Senior Official Meeting on Rural Development and Poverty Eradication (SOMRDPE) pada Selasa (25/7/2023) di Sheraton Mustika Yogyakarta.

“Selalu kita tekankan, pokoknya membangun desa boleh apa saja, boleh smart digital bahkan harus, teknologi harus masuk, digital juga harus dikembangkan, tetapi satu hal tidak boleh tercerabut dari akar budaya setempat,” tegas Abdul Halim Iskandar.

“Karenanya pembangunan desa yang bagus harus selalu kokoh di bumi meskipun kemudian cabangnya, daunnya, bunganya, hilirnya kemana-mana tetapi hulunya tetap tertancap di bumi dengan bertumpu pada akar budaya,” lanjutnya.

Beberapa waktu terakhir, pembangunan desa mengalami banyak tantangan yang menghambat laju pembangunan desa, melemahkan ekonomi, memperparah kemiskinan, hingga berpotensi menggagalkan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan pada 2030.

Pengalaman desa-desa di Indonesia membangkitkan optimisme pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030. “Bahkan khusus kemiskinan, Presiden Republik Indonesia, menargetkan, Indonesia nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024 mendatang,” ujarnya.

Pertemuan kali ini istimewa karena Asean Network Village ini pertama kali dilakukan.  Kegiatan ini pula dilaksanakan dan dipusatkan di Jogja dengan banyak pertimbangan. Salah satunya desa yang menjadi fokus untuk Asean Network Village itu adalah desa wisata.

Perjalanan panjang desa-desa di Indonesia, menjadi modal penting untuk terus eksis dengan perangkat dan pranata sosial sebagai basis hidup dan penghidupan warganya.

“Karena itu, kami meyakini, bahwa strategi pembangunan tidak dapat diimplementasikan simetris secara utuh. Karena lokus dan sasaran pembangunan memiliki karakter dan potensinya sendiri, serta lingkungan yang berbeda,” kata dia.

Hasil pertemuan ini adalah saling mengenal, saling belajar dan saling bertukar pengalaman success story karena prinsip pembangunan desa yang paling mudah adalah replikasi atau ATM (Amati Tiru dan Modifikasi). Karena tidak mungkin kita membuat kebijakan yang sifatnya holistik atau linier untuk semua desa yang ada di Indonesia.

“Karena masing-masing desa di Indonesia punya karakter punya budaya bahkan punya bahasa yang berbeda dan itu tidak boleh hilang,” tandasnya. (*)