BPJS Kesehatan Terjebak Regulasinya Sendiri

BPJS Kesehatan Terjebak Regulasinya Sendiri

KORANBERNAS.ID – Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana mengkritik regulasi dan sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang bertumpu pada pusat atau tersentralisasi.

Termasuk anggaran APBN yang menjadi penopang utama BPJS terutama untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI), juga menjadi bagian dari kewenangan pusat.

“Sejak awal kita sudah bermain di area yang salah. Semuanya terpusat termasuk UU itu memusatkan BPJS di pusat. Harusnya secara regulasi bisa berbagi dengan daerah (beban defisit anggaran kesehatan). BPJS UU-nya sentralistik,” paparnya pada seminar bertajuk BPJS Kesehatan yang Semakin Berkualitas, Selasa (19/11/2019), di H Boutique Hotel Yogyakarta.

Alhasil saat BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan, pemerintah kalang kabut mencari solusi termasuk menaikkan iuran hingga dua kali lipat mesti ditentang banyak pihak.

Seperti diketahui beban defisit BPJS Kesehatan pada 2018 nilainya mencapai Rp 19,4 triliun. Pemerintah terus berupaya menyuntik dana APBN namun kondisi defisit tetap melebar.

Menurut Huda, pemerintah tidak memberi ruang yang besar kepada daerah melalui regulasi untuk ikut menanggung beban BPJS Kesehatan.

Padahal bukan perkara sulit bagi pemerintah di daerah dan DPRD untuk memutuskan anggaran kesehatan.

“Saya sudah 15 tahun jadi anggota DPRD, memutuskan anggaran miliaran triliunan itu bagi DPRD di semua daerah bukan perkara sulit, asal kita ada kemauan,” tandasnya.

Dia mengakui peningkatan tata kelola pelayanan BPJS Kesehatan untuk memudahkan akses masyarakat memanfaatkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebenarnya berjalan cukup baik.

Sesuai keinginan pemerintah yakni peningkatan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana diamanatkan Pasal 24 ayat (3) UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Meskipun demikian, Indonesia disebut telah terjebak pada kerangka regulasi dan sistem yang salah dalam penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Defisit BPJS tak bisa terus bertumpu pada APBN.

Seminar yang dihelat oleh BPJS Kesehatan dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Cabang DIY itu mengupas bagaimana pelayanan BPJS ke depan pasca-keputusan pemerintah menaikkan premi BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat.

Profesor Laksono Trisnantoro dari FK-KMK UGM mengemukakan selama ini anggaran kesehatan sangat bergantung APBN yang kondisinya sudah lemah.

Secara keseluruhan APBN saat ini juga defisit lantaran penerimaan pajak yang melambat.

“Sektor kesehatan  bertumpu pada APBN yang lemah. Dana masyarakat tidak masuk banyak, dana APBD juga demikian. Dana filantropi tidak tergarap,” ujarnya.

Menurut dia perlu ada upaya optimal mencari sumber pembiayaan kesehatan di luar APBN yang tidak melanggar hukum.

Sejumlah potensi sumber pendanaan yang bisa menjadi celah menutup krisis keuangan BPJS misalnya APBD, dana masyarakat (melalui iuran), pengembangan asuransi kesehatan komersial, cost sharing oleh masyarakat mampu serta menggali potensi filantropi atau dana kemanusiaan di sektor kesehatan. (sol)