Banyak Pasien Gagal Ginjal Terkena Hepatitis C Usai Cuci Darah

Banyak Pasien Gagal Ginjal Terkena Hepatitis C Usai Cuci Darah

KORANBERNAS.ID, JAKARTA -- Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengajukan permohonan kepada Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, untuk dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait persoalan penularan hepatitis C pada pasien hemodialisis (cuci darah).

Ketua Umum KPCDI Tony Richard Samosir menyampaikan, surat resmi bernomor: 05/KPCDI-PST/IV/2021, yang dikirimkan 6 April 2021 itu menyoroti masih masifnya pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) di Indonesia yang terpapar virus hepatitis C. Paparan itu terjadi pada saat para pasien menjalani proses hemodialisis (cuci darah).

Riset KPCDI tahun 2018 dengan total responden 200 pasien hemodialisis menunjukkan 45 persen pasien PGK terpapar hepatitis C setelah mereka menjalani tindakan hemodialisis. Jika dirinci, sebanyak 43,1 persen pasien PGK terjangkit hepatitis C pada usia 1-3 tahun pertama proses cuci darah.

“Sebanyak 25,6 persen pada 3-5 tahun, 12,3 persen pada 5-10 tahun, 14,3 persen kurang dari satu tahun dan 4,3 persen pada saat proses hemodialisis di atas 10 tahun,” kata Tony di Jakarta, Jumat (8/4/2021).

Melalui siaran pers dia menjelaskan soal pelayanan hemodialisis, semua pihak tidak dapat menutup mata penggunaan tabung dialiser yang digunakan secara berulang pada setiap tindakan hemodialisis menjadi biang keladi paparan hepatitis C kepada para pasien.

“Dalam hubungannya dengan penularan virus hepatitis C, maka reuse tabung dialiser dapat menjadi salah satu faktor risiko yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan penggunaannya,” tambahnya.

Sampai hari ini, kata Tony, terdapat kesenjangan tarif antar tipe rumah sakit yang berbeda dalam pelayanan tindakan hemodialisis. Hal ini membuat sebagian besar pasien di tipe rumah sakit yang rendah tidak mendapatkan hak atas obat.

“Contohnya obat anemia erythropoietin. Hanya rumah sakit tipe A yang rutin memberikan, sedangkan tipe di bawahnya sulit untuk diperoleh pasien. Akhirnya pasien memilih transfusi darah dan berisiko terinfeksi virus hepatitis C. Dan ini sangat diskriminatif,” tegasnya.

Tony mendesak pemerintah mengevaluasi sistem pembiayaan satu paket menjadi paket terpisah antara komponen tindakan hemodialisis dan obat-obatan sehingga pemberian obat-obatan dapat secara tepat diberikan sesuai indikasi medis kepada pasien yang membutuhkan.

“Jika obat-obatan bisa diperoleh, tentu akan menekan tingkat penularan hepatitis C kepada pasien dan keluarganya serta meningkatkan kualitas hidup mereka," tandasnya. (*)