Aslindo Menuntut Kebijakan Pemerintah Berpihak Pada LKM

Aslindo Menuntut Kebijakan Pemerintah Berpihak Pada LKM

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Asosiasi Lembaga Keuangan Mikro/Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKM/LKMS) Seluruh Indonesia (Aslindo), menuntut kebijakan pemerintah yang berpihak kepada LKM.

Dengan kebijakan yang berpihak itu, maka secara tidak langsung pemerintah menunjukkan keseriusannya mendorong pemberdayaan masyarakat marjinal dan para pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di negeri ini.

Pada penyelenggaraan Musyawarah Nasional I Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dengan tema Membumi untuk Mengangkasa di Yogyakarta, Ketua Umum Aslindo terpilih, Burhan, mengatakan selama ini LKM/LKMS masih berjuang sendiri dalam pemberdayaan UMKM, khususnya usaha-usaha mikro dan ultra mikro.

Melalui 230-an anggotanya yang tersebar di Indonesia, LKM dan LKMS menjadi tumpuan utama pembiayaan masyarakat paling bawah, yang tidak bankable sehingga kesulitan mengakses permodalan.

“Faktanya, kami sangat dibutuhkan masyarakat marjinal, tapi kami sendiri masih merasakan diperlakukan secara tidak adil. Satu contoh, dalam hal kewajiban seperti pajak misalnya, perlakuan kepada kami sama dengan aturan bagi bank. Tapi dalam hal permodalan, pemerintah selama ini lebih berpihak pada perbankan,” kata Burhan, dalam keterangan tertulisnya, Senin (19/12/2022).

Dikatakan, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) secara kelembagaan lahir sejak diundangkannya UU No 1 Tahun 2013 dan mulai diberlakukan secara efektif tahun 2015.

Aturan ini telah mengubah berbagai usaha simpan pinjam informal yang bergerak memberikan layanan keuangan kepada masyarakat yang unbankable dan berpenghasilan rendah di daerah-daerah remote area yang dijalankan oleh masyarakat secara infomal selama ini.

LKM sebagian besar menggunakan modal awal dari dana bantuan sosial (bansos) seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Lembaga Keuangan Desa (LKD), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Badan Kredit Desa (BKD), Kelompok Usaha Bersama (KUB), Pengembangan Ekonomi Desa (PED), termasuk juga Badan Wakaf Mikro (BWM).

Saat ini LKM yang telah beroperasi secara legal berjumlah 227 unit di seluruh Indonesia, dengan proporsi sebaran 54 persen atau 120 unit berlokasi di Jawa Tengah, 18 persen berlokasi di Jawa Timur, 16 persen di Jawa Barat dan sisanya tersebar di provinsi lainnya.

Ketua Perwakilan LKM wilayah Jabar, Frenky Nainggolan,  menambahkan peran LKM dan LKMS selama ini tidak bisa dianggap sepele.

Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, lembaga ini menjadi andalan masyarakat yang sebagian besar membutuhkan pinjaman di bawah Rp 5 juta. Pinjaman ini, dibutuhkan masyarakat, untuk memutar kegiatan ekonomi mereka sehari-hari, terutama pada sektor perdagangan.

“Kredit macet di LKM rata-rata tidak lebih dari satu persen, jauh di bawah ketentuan OJK. Sebesar 80-90 persen kredit kami untuk berdagang. Sangat kecil yang untuk konsumtif. Karena pinjaman kami lebih menekankan pada aspek karakter dan kapasitas atau kemampuan bayar nasabah, maka peran kami melekat. Setiap hari pegawai kami menyambangi nasabah guna memastikan pembiayaan aman,” sambung Ketua LKM perwakilan Jawa Timur, Suryo Mego.

Menurut dia, hampir semua pengelola LKM memiliki kebutuhan yang sama, antara lain kebutuhan untuk berbagi pengalaman sukses dalam pengelolaan usaha kepada pengelola lain, kebutuhan penempatan dana berlebih hasil dari dana kelolaan dari masyarakat, kebutuhan bantuan dana likuiditas untuk kebutuhan jangka pendek (bail out), kebutuhan untuk mendapatkan advokasi dalam menghadapi stakeholder, terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan sebagainya.

Kebutuhan pembentukan asosiasi sudah dirasakan sangat mendesak sebagai media komunikasi dan forum LKM/LKMS tingkat nasional. “Alhamdulillah sekarang asosiasi sudah terbentuk. Ini sejarah dal perjalanan LKM/LKMS,” ujar Franky.

Terkait program kerja ke depan, Burhan mengatakan, selain menyusun AD/ART, Aslindo akan fokus pada program utama yaitu peningkatan kapasitas SDM melalui Pusdiklat, Pendirian Lembaga Pendamping (Konsultan) bagi anggota Asosiasi dalam pendirian LKM/LKMS dan pengembangan Teknologi Informasi bagi LKM/LKMS, Pendirian APEX LKM/LKMS, dan Pendirian Lembaga Audit untuk peningkatan Tata Kelola kelembagaan LKM/LKMS seluruh Indonesia.

Program kerja ini dinilai sangat penting, untuk mendorong standarisasi SDM dan selanjutnya standardisasi pelayanan LKM/LKMS ke masyarakat. “Pada saatnya nanti organisasi akan melakukan akselerasi, tidak ada lagi anggota yang tercecer,” kata Burhan. (*)