Arkom dan Paguyuban Kalijawi Siapkan Konsep Hunian Warga Miskin di Tanah SG

Arkom dan Paguyuban Kalijawi Siapkan Konsep Hunian Warga Miskin di Tanah SG

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Beberapa waktu lalu, Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan pernyataan bahwa tanah Sultan Ground (SG) bakal dimanfaatkan untuk hunian masyarakat miskin di Yogyakarta. Pernyataan ini didasari atas keprihatinan semakin tidak terjangkaunya harga tanah dan rumah bagi warga asli Yogyakarta.

Belum lagi, setiap tahun lahan seluas 200 hektar di DIY beralih fungsi menjadi pemukiman atau fasilitas publik. “Kita lama-lama mepet laut selatan sama mepet Merapi,” kata Ngarsa Dalem kepada wartawan beberapa waktu di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.

Pernyataan orang nomor satu di Yogyakarta ini menjadi titik terang bagi masyarakat miskin yang mengidamkan hunian layak, terutama bagi mereka yang selama ini hanya menempati bantaran sungai-sungai yang ada di Kota Jogja.

Paguyuban Kalijawi, perkumpulan warga Bantaran Sungai Gajahwong dan Winongo serta para arsitek yang tergabung dalam Arsitek Komunitas (Arkom) Indonesia, menyambut baik pernyataan Sultan. Bahkan keduanya dengan senang hati membantu Pemda DIY untuk merealisasikannya. Mereka ingin agar ide tersebut tak berhenti sekadar wacana.

“Kami sangat senang, Ngarsa Dalem memberikan lampu hijau atas pemanfaatan tanah sultan ground untuk hunian masyarakat miskin. Ini bisa menjawab kebutuhan hunian masyarakat miskin khususnya yang tinggal di bantaran sungai kota Jogja,” papar Ainun Murwani, Divisi Advokasi dan Jaringan Kalijawi, di Bale Timoho Yogyakarta, Jumat (14/4/2023) malam.

Sejak 11 tahun yang lalu, pihaknya terus mencari jalan keluar supaya para anggota Kalijawi yang berangotakan 300 keluarga yang berada di bantaran Sungai Gajah Wong dan Winongo bisa mendapatkan tanah untuk dihuni secara bersama (kolektif).

Nilai kolektivitas tersebut, lanjut Ainun, menjadi unsur utama yang sebagai roda dalam konsep perumahan gotong royong yang diusung Kalijawi. Kepemilikan lahan bersama menjadi penting karena bila tanah diberikan ke masing-masing ke individu terdapat kemungkinan jual-beli dan dapat mengakibatkan masalah berikutnya, yaitu sengketa lahan.

Hal ini akan membuat konsep Yogyakarta yang istimewa tak sekadar predikat. Melalui penerapan konsep kampung susun berbasis komunitas, pemberdayaan warga bisa secara bergotong royong. Hal ini akan berbeda dari konsep rumah susun yang ada di banyak kota yang berakhir pada individualisme warganya.

“Kepemilikan bersama menjadikan ruang bagi keistimewaan Yogyakarta, sebagai kota yang memiliki nilai sosial dan guyub yang tinggi,” lanjutnya.

Karenanya bila wacana rumah murah memanfaatkan tanah SG bisa terealisasi, Ainun menyakini keinginan banyak warga Yogyakarta untuk memiliki dan tinggal di rumah yang nyaman tak hanya menjadi mimpi. Melalui kerja kolaboratif warga, pemerintah daerah, dan mereka sebagai komunitas yang memiliki pengalaman mengembangkan kampung gotong royong, niscaya warga Yogyakarta tak semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri.

“Tanah Sultan Ground dapat menjadi permukiman untuk rakyat miskin memberikan harapan bagi warga Jogja. Konsep kami selama ini juga kayak gitu. Kepemilikannya nanti komunal dan kolektif, sehingga tidak menimbulkan masalah baru seperti rumah diperjualbelikan. Ada koperasi yang mengelola manajemen secara bersama-sama,” paparnya.

Ainun menambahkan, pihaknya telah mengidentifikasi beberapa tanah Sultan Ground yang kurang produktif di wilayah Kota Jogja. Sehingga ini bisa dimanfaatkan untuk hunian masyarakat miskin. Dengan demikian warga yang menempati ini nantinya tidak jauh dari sumber penghidupan mereka.

Sementara Direktur Arkom Indonesia, Yuli Kusworo menjelaskan, bahwa persoalan penyediaan hunian bagi masyarakat miskin selalu terkendala oleh tanah. Maka jika tanah Sultan Ground bisa dimanfaatkan untuk hunian, setidaknya dapat menyelesaikan satu aspek penting dalam penyediaan hunian untuk masyarakat miskin.

Pihaknya pun menawarkan konsep pemanfaatan tanah untuk perumahan warga Jogja. Konsep bernama perumahan gotong royong bersama Kalijawi telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu.

“Kenapa perumahan gotong royong?. Karena jika kita berbicara rumah itu bukan entitas fisik tetapi entitas sosial budaya. Di perumahan gotong royong bukan sebagai satu rumah melainkan kumpulan rumah yang di situ terintegrasi dengan ekonomi sosial dan budaya. Artinya nggak bisa bicara penyediaan rumah itu hanya ngomongin fisiknya tok,”paparnya.

“Kita itu punya harapan bahwa berbicara tentang kampung-kampung itu kan sesuatu entitas yang unik dan itu harus dipertahankan, potensinya pun istimewa,” imbuhnya.

Lebih lanjut Yuli menerangkan, pentingnya bagi kita untuk mengangkat keunikan kampung di Jogja. Kampung inilah yang menjadi penyangga kota bahkan penyangga keraton. Maka jika bicara keistimewaan inilah keistimewaan itu.

“Keunikan kampung ini yang harus diangkat sebagai sebuah entitas sosial budaya, bukan rumah susun tapi kampung susun. Kita sadar betul bahwa di kampung itu ada kehidupan sosial yang memang menarik dan itu harus dipertahankan. Bermacam-macam kegiatan dan interaksi di kampung itu kan itu entitas yang memang tidak boleh hilang dan harus dipertahankan,” tandasnya. (*)