Ada Misteri di Balik Bantuan Sosial Covid-19

Ada Misteri di Balik Bantuan Sosial Covid-19

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Bantuan sosial (bansos) untuk warga terdampak wabah virus Corona atau Covid-19 di Provinsi DIY hingga saat ini belum terelaisasi. Warga sudah lama menungggu datangnya bantuan sedangkan Pemda DIY sepertinya bergerak lamban.

Mungkin saking jengkelnya melihat pendataan calon penerima bansos tidak kunjung kelar, pimpinan Fraksi Partai Golkar (FPG) DPRD DIY menyebut sepertinya ada misteri di balik bantuan tersebut.

“Ada sebuah misteri. Ada apa di balik itu? Semakin lama pendataan tidak selesai maka semakin besar tingkat error atau kesalahan data,” ungkap Suwardi, Wakil Ketua Fraksi DPRD DIY, Kamis (23/4/2020).

Bersama Ketua FPG DPRD DIY, Rany Widayati, Suwardi kepada wartawan di ruang fraksi, dia mendesak Pemda DIY dalam hal ini Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 DIY secepat mungkin menyelesaikan pendataan calon penerima bansos.

Menurut dia, pendataan harus dilakukan secara matang guna melengkapi data dari pemerintah pusat berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan). Artinya, harus ada data baru yang diusulkan dari tingkat paling bawah yaitu desa bahkan sampai RT, karena penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan PKH (Program Keluarga Harapan) tidak boleh menerima bansos Covid-19.

Menjawab pertanyaan kenapa pendataan sampai berlarut-larut, politisi senior yang berpengalaman menjadi kepala desa selama 16 tahun itu menjelaskan sesungguhnya DIY perlu kembali ke pola dasar.

“Masyarakat DIY itu cerdas. Secara geografi juga mudah karena wilayah DIY tidak terlalu luas. Sikap Pemda DIY yang lamban ini jangan sampai mengulang peristiwa pendataan penerima bantuan gempa bumi 27 Mei 2006,” ungkapnya.

Dia khawatir tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang. “Barangkali kemarin ada kejadian saling menanti mana yang ditanggung pusat, daerah dan desa,” ucap dia.

Sebenarnya Pemda DIY bisa menjadi motor penggerak namun faktanya sampai saat ini bansos belum terealisasi.

Rany Widayati juga heran saat pertama data dilansir, jumlah penerima bansos 76 ribu KK. Beberapa pekan kemudian berkurang menjadi 138 ribu. Setelah disaring lagi tinggal 34 ribu.

“Di mana yang lain apakah dobel dengan PKH? Data ini belum muncul by name. Begitu muncul ada yang terkena PHK tidak masuk data penerima bansos maka timbul masalah baru,” kata Rany.

Dia menegaskan penerima bansos Covid-19 tidak hanya menyasar mereka yang masuk kategori miskin karena faktanya di DIY tidak sedikit pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan. “Bisa terjadi rumahnya terlihat bagus tapi korban PHK, lama-lama bisa miskin,” ungkapnya.

Rany juga heran, awalnya bansos nilainya sebesar Rp 625 ribu, kemudian direvisi supaya sama dengan pemerintah pusat menjadi Rp 600 ribu. “Ada yang mengatakan berbentuk sembako. Ada yang mengatakan berupa uang. Ini tidak sinkron,” kata dia.

Baik Rani maupun Suwardi memaklumi karena situasi dan kondisinya serba sulit. Pihaknya menyarankan Pemda DIY segera mengambil langkah cepat supaya masyarakat merasa tenang.

“Masih banyak masyarakat di bawah mengatakan pemerintah belum bergerak. Saking bingungnya. Kewenangan kami di dewan juga diambil. Bukan hanya uang tapi juga penganggaran. Kewenangan DPRD DIY hanya tinggal pengawasan. Repot. Kalau ada apa-apa kami yang kena,” ucap dia.

Sekali lagi Rany meminta Pemda DIY bergerak cepat menyelesaikan pendataan dengan tetap mengedepankan kejujuran. Sumber data akan valid apabila melihatkan lurah serta para ketua RT.

Memang data bergerak terus. Sebenarnya tidak ada yang sulit apabila Pemda DIY, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa bergerak bersama-sama saling melengkapi.

“Kami mensinyalir ada data versi yang berbeda-beda. Mestinya satu versi saja. Butuh kejujuran dan integritas untuk mengatasi wabah Covid-19,” tambahnya.

FPG DPRD DIY merekomendasikan agar bansos bisa disalurkan secepatnya, idealnya awal Mei 2020, supaya masyarakat tidak salah persepsi menilai kinerja Pemda DIY yang tidak optimal. (sol)