Dinasti Politik, kian Menggerogoti Demokrasi Lokal

Dinasti Politik, kian Menggerogoti Demokrasi Lokal

AKHIR-akhir ini, kita kembali disibukkan dengan isu dinasti politik. Bedanya, kalau dulu dinasti politik identik dengan anak, isteri, dan saudara seorang kepala daerah yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah di wilayah lain, namun hari ini dinasti politik yang dimaksud menyentuh pada lingkungan istana. Mulai dari anak kandung Presiden Jokowi yang maju menjadi calon Walikota Solo, menantunya juga ikut mencalonkan diri menjadi Walikota Medan, keduanya diusung oleh partai yang sama dan juga partai pengusung Presiden Jokowi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dilanjutkan dengan keponakan Prabowo, mantan seteru Presiden Jokowi pada pilpres 2019 lalu yang kini menjabat Menteri Pertahanan, menjadi calon kepala daerah di daerah Tangerang Selatan, anak kandung Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga maju dalam pemilukada di Tangerang Selatan, dan masih banyak lagi calon kepala daerah lain yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan istana.

Pemilukada serentak yang akan digelar Desember mendatang melibat 273 daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pemilukada terbanyak dalam sejarah pemilukada serentak sejak tahun 2015 lalu. Maka, tidak heran jika kompleksitas persoalan mulai muncul. Terlebih dalam situasi Covid-19 yang memaksa penyelenggaraan pemilukada harus diundur yang sebelumnya adalah bulan September. Masalah-masalah lama, semisal politik uang, penggunaan sentimentalitas suku dan agama sebagai alat kampanye, hingga konflik horizontal antar-pendukung, memang tidak terasa begitu mengkhawatirkan. Berbeda halnya dengan pemilukada-pemilukada sebelumnya. Namun, persoalan dinasti politik adalah persoalan yang masih terus menggerogoti demokrasi lokal, bahkan nampak lebih buruk daripada periode-periode sebelumnya.

Dinasti politik, jika dilihat dari aspek jaminan konstitusional, memang tidak ada larangan dalam konstitusi Indonesia, juga tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Sebaliknya, konstitusi justeru menjamin hak politik setiap warga negara, untuk dipilih, memilih, dan mencalonkan diri dalam jabatan publik. Konstitusi juga melarang adanya larangan terhadap orang-orang tertentu untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Artinya, sepanjang seseorang telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan publik tertentu, maka ia berhak untuk kesempatan itu, sekalipun ia adalah keluarga dekat dari presiden, menteri, maupun kepala daerah.

Begitupun halnya dengan demokrasi, dalam aspek prosedural formal, seseorang dapat menduduki jabatan publik, semisal presiden, kepala daerah, DPRD, maupun jabatan lainnya, adalah sepanjang yang bersangkutan dipilih oleh mayoritas masyarakat di daerah itu. Atau dengan kata lain, sepanjang orang tersebut berhasil memenangi konstestasi pilpres, pileg, maupun pemilukada.

Ditilik dari dua aspek itu, konstitusi dan demokrasi, pencalonan anak dan menantu Presiden Jokowi, keponakan Prabowo, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dan yang lainnya, adalah dapat dibenarkan. Tidak ada larangan konstitusional maupun perundang-undangan sama sekali. Sepanjang dipercaya dan dipilih oleh masyarakat daerahnya masing-masing, maka mereka layak untuk menduduki jabatan kepala maupun wakil kepala daerah.

Namun demikian, harus pula diperhatikan bahwa politik khususnya demokrasi juga memiliki dimensi etis. Dalam konteks ini, kita perlu membedakan demokrasi sebagai sistem politis dan demokrasi sebagai etos politis. Sebagai sistem politis, demokrasi adalah sebuah mekanisme politis untuk pengambilan kebijakan publik yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau kepentingan umum. Berlainan dengan itu, sebagai etos politis, demokrasi adalah energi atau mentalitas yang menggerakkan individu-individu untuk menjalankan demokrasi. Etos politik ini tidak berada pada sistem, namun melekat pada aktor pelaksana demokrasi, masyarakat dan penyelenggara negara.

Apa yang kita saksikan belakangan ini, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia baru pada tataran sistem politis, namun mentalitas pada aktornya masih otoritarian dan oligarkis. Dalam perspektif etos politis ini, maka dinasti politik sejatinya tidak mendapatkan tempat. Adalah tidak etis, seorang penguasa memberikan peluang keluarganya untuk berkompetisi di panggung politik.

Bukan saja tidak fair bagi calon lain dalam kontestasi, karena calon yang memiliki hubungan dengan “penguasa” tersebut dapat dipastikan afirmasi tertentu, baik dalam aspek administrasi maupun yang lainnya. Namun, juga tidak fair bagi masyarakat daerah. Bagi masyarakat yang masih sangat kental dengan hegemoni patron-client, maka dorongan untuk memilih calon yang memiliki hubungan dengan “penguasa” sangatlah besar. Singkatnya, keberadaan dinasti politik, tidaklah berbanding lurus dengan perbaikan kualitas demokrasi lokal. Ke depan, ada baiknya dipertimbangkan agar ketentuan mengenai dinasti politik ini tidak hanya berada dalam lingkup etos politis, namun juga penting diatur dalam hukum positif. ***

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.

Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta