Yogyakarta Punya Simpul Peredam Konflik

Yogyakarta Punya Simpul Peredam Konflik

KORANBERNAS ID, YOGYAKARTA – Pandemi menguji toleransi masyarakat. Sempat terjadi beberapa kali penolakan pemulasaraan jenazah pasien yang diduga terpapar Covid-19 maupun penjemputan paksa oleh keluarga jenazah pasien. Peristiwa itu mempengaruhi hubungan antar-warga. Perlu dibangun kesadaran bersama melawan stigma, Covid bukanlah aib.

“Ada banyak tradisi bisa dilihat dari tradisi Jawa. Pandemi membuat perubahan sangat fundamental dan mendasar di masyarakat, misal penjemputan jenazah dan penolakan wilayahnya menjadi tempat pemakaman korban Covid,” kata Tri Subagyo, Ketua Prodi Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma, pada diskusi Diseminasi Nilai Budaya Tumbuhkan Semangat Solidaritas bagi Masyarakat, Kamis (18/3/2021).

Yogyakarta, sebuah kota yang awalnya kerajaan Jawa yang ratusan tahun menghormati keberagaman, tak luput tercoreng ulah oknum. Perusakan makam, penggergajian bagian atas nisan pada 2019 menjadi catatan bentuk intoleransi.

Kota istimewa yang kental ragam budaya majemuk, sebenarnya terkandung nilai-nilai luhur budaya Jawa yang termanifestasikan dalam kehidupan dan keseharian masyarakat.

Di Yogyakarta, lanjut dia, semua bisa dikomunikasikan dan dicarikan jalan keluarnya. “Solidaritas yang kita khawatirkan akan berubah karena pandemi ternyata tidak. Masyarakat masih menyadari solidaritas merupakan bagian dari kehidupan mereka, khusus di DIY persis seperti yang dilakukan saat erupsi Merapi 2016,” jelasnya.

Dia mencontohkan, pertunjukan wayang banyak melahirkan ajaran toleransi. Walau saat ini kaum millenial tidak lagi menonton wayang, namun banyak ajaran serupa di film-film yang bisa dipetik ajaran baiknya.

Khusus di Yogyakarta pula, lanjut Tri, ada simpul yang punya kekhasan meredam konflik-konflik yang biasanya sangat mudah terjadi di daerah lain.

Kelompok kesenian, seniman dan budayawan merupakan simpul peredam konflik. Mereka punya cara tersendiri menanggapi dan menyampaikan kembali berita-berita yang belum tentu benar sehingga dapat mendinginkan suasana.

Pegiat seni, Paksi Raras Alit, menambahkan selain buku kini media audio visual sebagai sarana efektif untuk menyampaikan informasi. Film misalnya, ada kenyataan yang dihadapi hari ini.

“Kita hidup dengan literasi yang kurang, Ada yang belum pernah membaca buku sama sekali tiba-tiba pada era sekarang langsung memegang gadget dengan arus informasi yang sangat laju, terlalu banyak informasi masuk dan belum tentu benar atau hoaks,” kata dia.

Masyarakat mengalami shock culture atau gegar budaya. “Teknologi sekarang memang luar biasa, ada yang mencari informasi dari grup WhatsApp saja. Padahal itu butuh kroscek dan kehati-hatian dan ternyata terjadi di sekitar kita,” ungkapnya.

Sebagai upaya melestarikan nilai-nilai luhur di kalangan generasi muda, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menggelar Diseminasi Nilai Budaya, Kamis (18/3/2021) di Hotel THE 101 Yogyakarta.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, menjelaskan kegiatan ini merupakan bagian dari upaya pengembangan implementasi nilai-nilai luhur budaya masyarakat Kota Yogyakarta.

“Kami menyasar generasi muda di Kota Yogyakarta, dengan harapan nilai-nilai luhur budaya Jawa khususnya Jogja akan semakin melekat,” paparnya di sela-sela acara.

Nilai-nilai luhur tersebut kaya akan tradisi yang memiliki filosofi kebaikan dan juga menunjukkan identitas jati diri masyarakat.

“Selaras dengan zaman yang terus mengalami kemajuan, maka penting adanya peningkatan semangat solidaritas dan kecintaan terhadap budaya,” ujarnya. (*)