UPT Malioboro Menyiapkan Peralatan Prokes Canggih

UPT Malioboro Menyiapkan Peralatan Prokes Canggih

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Malioboro Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, Ekwanto, menyatakan saat ini pihaknya menyiapkan peralatan untuk penegakan protokol kesehatan (prokes) yang lebih canggih. Peralatan lama rusak sehingga perlu diganti baru.

“Mulai akhir Maret sampai sekarang, sudah delapan bulan. Peralatan kami mengalami ketidakakuratan pengukuran. November ini pengadaan dan kami pastikan kembali normal,” ungkapnya kepada koranbernas.id, Sabtu (7/11/2020), di DPRD DIY usai menjadi narasumber Diskusi Forum Wartawan bertema Wisata Malioboro dan Uji Coba Pedestrian.

Semua perangkat elektrik tersebut rusak karena faktor terlalu sering dipakai. Adapun penggantinya berupa  perangkat yang lebih modern. Alat pengukur suhu, misalnya, tidak lagi menggunakan thermo gun melainkan standing thermo gun yang mampu secara cepat mendeteksi suhu tubuh wisatawan dari jarak relatif jauh.

“Dari jarak dua sampai tiga meter sudah bisa terekam tanpa petugas melakukan aktivitas menembak dengan thermo gun. Jika ada wistawan tidak mengenakan masker (alat) berbunyi maaf Anda tidak mengenakan masker. Nanti akan ketahuan,” ungkapnya.

Ini semua diperlukan demi menegakkan prokes di kawasan titik kerumunan di Kota Yogyakarta itu. “Kami upayakan protokol kesehatan menjadi panglima di Malioboro,” tegasnya.

Tak hanya didukung peralatan, UPT Malioboro juga mengaktifkan peran Jogoboro. “Dulu Jogoboro bertugas pengamanan di lapangan terkait pelanggaran misalnya penyeberangan jalan. Sekarang ini Jogoboro fokus pada masing-masing zona. Apabila tidak ada petugas yang memantau nanti terlena. Kalau ada apa-apa kami kesulitan tracing,” tambahnya.

Ketatnya prokes di Malioboro dimulai sejak wisatawan masih di dalam bus. Begitu masuk tempat parkir dilaksanakan tracing. Kru bus turun melapor ke petugas parkir, kemudian petugas parkir mengkirim orang naik bus untuk mengukur suhu badan satu per satu.

“Setelah semua penumpang dicek, tidak langsung turun tetapi melihat situasi dan kondisi, masih ada crowded dan kerumunan massa tidak? Kalau sudah agak longgar baru turun dilanjutkan cuci tangan pakai sabun dan sebagainya. Setelah semua oke baru masuk Malioboro,” paparnya.

Pada masing-masing zona, kata Ekwanto, wisatawan kembali “berhadapan” dengan protokol kesehatan. Memang sangat ketat supaya prokes menjadi budaya.

“Dulu masuk Malioboro itu sulit harus gini-gini, sekarang (wisatawan) mulai terbiasa. Harapan kami protokol kesehatan menjadi budaya. Seperti sekarang ini kita bertatap muka langsung dengan orang jika tidak pakai masker rasanya kan risih. Ada sesuatu yang kurang. Harapan kami masuk Malioboro dengan protokol kesehatan yang dianggap ketat itu  (wisatawan) terbiasa dan menyesuaikan,” kata Ekwanto.

Jantung pariwisata

Di hadapan peserta diskusi yang juga dihadiri Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DIY,  Ni Made Dwi Panti Indrayanti serta Paul Zulkarnain selaku Humas Komunitas Malioboro Paguyuban Tri Dharma Malioboro, Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana mengakui Malioboro merupakan jantung pariwisata DIY. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi ini terbesar berasal dari sektor pariwisata dan mahasiswa.

Dengan menjadi pedestrian, Malioboro akan lebih menarik. Selama ini uji coba pedestrian baru sebatas setiap Selasa Wage. Khusus bulan ini diuji coba dua minggu berturut-turut.

“Dari uji coba pedestrian ini kita mengetahui apa yang kurang dan apa kelebihannya. Wisatawan merasa senang dengan pedestrian sedangkan pedagang kaki lima (PKl) tidak senang,” ungkapnya.

Huda sepakat ada evaluasi termasuk sistem transportasi supaya memudahkan wisatawan mengakses Malioboro. Huda mencontohkan dirinya saat hendak masuk  kerja di DPRD DIY naik gojek turun di rel (Teteg) kemudian berjalan kaki.

Menurut dia, penataan Malioboro perlu memperoleh dukungan dari sisi anggaran serta keseriusan, namun demikian jangan mengabaikan keberadaan PKL, pelaku pengusaha, becak motor maupun andong.

Keluhan mereka selama ini perlu direspons dengan solusi. Sebagai perbandingan, bus Trans Jogja memperoleh subdisi dari APBD DIY, apakah tidak mungkin becak diberi subsidi.

Caranya? Menurut Huda, Dinas Perhubungan (Dishub) DIY agar mengembangkan becak kayuh yang ringan. Hitungan dia, subsidi becak seperlima dari subsidi Trans Jogja rasanya sudah cukup.

Ekwanto menambahkan, Malioboro sebagai ikon pariwisata internasional bukanlah alas gung liwang liwung, dalam tanda petik. Kawasan ini dikelola UPT Malioboro di bawah Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta.

Keberadaan PKL juga diatur ketat dengan regulasi. “Kadang-kadang ada orang datang dari Cilacap memawa teri langsung ndheprok (berjualan) di situ. Nggak bisa,” tandasnya.

Paul Zulkarnain mengatakan prinsipnya PKL mendukung uji coba pedestrian namun demikian harus memikirkan parkirnya.

Dia meminta semua pihak, termasuk media, agar mengajak wisatawan berkunjung ke Malioboro mengingat selama pandemi Covid-19 para pelaku usaha mati suri. “Ayo kunjungi Malioboro. Ayo bangkitkan Malioboro. Syiarkan ke mana mana agar semua pelaku usaha Malioboro bisa bangkit kembali,” pintanya.

Sedangkan Ni Made Dwi Panti Indrayanti mengatakan konsep pedestrian Malioboro merupakan tindak lanjut dari pengakuan UNESCO terhadap destinasi wisata ini. Desain penataan Malioboro sudah tiga tahun lalu. Badan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) itu memberikan dukungan karena Malioboro memiliki nilai budaya. Konsekuensinya harus dikuatkan dengan penataan transportasi.

Sepertinya, Dishub DIY merasa serba repot. “Wisatawan mengeluhkan macet. Didiamkan komplain, ditata komplain. Program ini nggak bisa sak dheg sak nyet,  kita mengukur dampak sosial dan ekonominya,” ungkapnya.

Sebenarnya penataan sistem transportasi di Malioboro akan menguntungkan para pelaku usaha. Selama ini banyak kendaraan melintasi Malioboro hanya ingin lewat saja. Dengan berjalan kaki wisatawan yang semula tidak tertarik,  bisa jadi akan berbelanja di Malioboro.

Dia sepakat penataan Malioboro bukan tanggung jawab pemerintah tetapi juga dewan, komunitas dan masyarakat. Dengan demikian Malioboro menjadi aman, nyaman, harmonis serta humanis. Yang pasti, pedestrian Malioboro akan mendukung aktivitas perekonomian. (*)