Tiap Pagi Uring-uringan Kerjakan Tugas Sekolah Online
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Jarum jam menunjuk pukul 08:00 lewat sedikit. Pertanda sekolah online dimulai. Pagi belum sempurna. Ny Rachma (43), masih berkutat di dapur.
“Iki piye Buk? Ndhene Buk...”
Nyala kompor gas biru itu seketika dia matikan begitu mendapatkan panggilan anaknya yang memintanya membantu mengerjakan tugas-tugas sekolah. Padahal tempe baru setengah matang di wajan penggorengan.
Terpaksa wanita itu memotong waktunya di dapur beralih mendampingi putranya kelas dua salah satu SMPN negeri di Kota Yogyakarta.
“Wis ya. Rampung.”
“Rung iki. Isih ana tugas siji meneh.”
Dialog antara anak dan orang tua yang kadang-kadang berakhir uring-uringan seperti itu pada masa pandemi Covid-19 lumrah terjadi setiap pagi di setiap rumah, terutama keluarga yang memiliki anak usia Sekolah Dasar (SD) SMP bahkan SMA.
Gara-gara sekolah online, tugas sekolah yang seharusnya menjadi tugas siswa dan siswi beralih menjadi tugas orang tua. Tak heran selama berlangsungnya sekolah pandemi tidak sedikit orang tua tensinya naik begitu periksa ke layanan kesehatan. Pemicunya capek campur jengkel berkepanjangan yang ujung-ujungnya memicu stres.
Sejak virus Corona atau Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi, korbannya memang banyak. Apabila dihitung dengan “kalkulator yang tidak biasanya” justru lebih banyak korbannya secara tidak langsung. Hanya saja jumlahnya tidak tercatat resmi sebagaimana pasien yang terkena Corona, entah itu positif, orang dalam pemantuan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), orang tanpa gejala (OTG) dan lain-lain istilah yang sempat membuat membuat cemas banyak pihak.
Dunia pendidikan mungkin bisa disebut paling banyak korbannya, dalam tanda kutip. Sistem pembelajaran online, daring atau apapun namanya tidak hanya menyusahkan banyak pihak tetapi juga merugikan.
Kepada koranbernas.id di DPRD DIY, Sabtu (22/8/2020), Sekretaris Komisi D DPRD DIY, Sofyan Setyo Darmawan, khawatir sistem pembelajaran online jika tidak berlangsung secara menarik, efektif, nyaman serta menggairahkan siswa, hasilnya justru akan bertolak belakang dari tujuan semula.
“Kalau kita tidak melakukan langkah-langkah kreatif dan terobosan-terobosan yang sungguh-sungguh, kita khawatir siswa siswi menjadi korban dalam konteks yang lain. Artinya mereka menjadi mager atau malas gerak dan jadi sangat lekat dengan gadget. Ini akan menimbulkan persolan baru. Kita tidak menginginkan itu,” ujarnya.
Dia sepakat harus segera dilakukan langkah-langkah untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dikhawatirkan pula jika masalah tersebut berlangsung berlarut-larut tanpa ada terobosan baru yang menyegarkan, akan muncul bentuk-bentuk penyakit baru.
“Bukan hanya Corona tetapi penyakit malas, penyakit rebahan dan penyakit semacam itu. Mudah-mudahan tidak terjadi, naudzubillahi min dzalik,” sergahnya.
Memang, semua harus bisa memaklumi seperti inilah kondisi sekarang. Sistem pembelajaran online yang sudah berjalan satu semester mau tak mau harus berjalan.
“Bicara soal efektivitas memang menjadi kajian yang terus kita lalukan. Pengamatan dan pantauan Komisi D DPRD DIY saat turun ke lapangan, memang tingkat efektivitasnya masih jauh, baru tercapai 60 persen,” ucap dia.
Dewan meminta Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY maupun kabupaten/kota segera melakukan pembekalan terhadap guru-guru agar memiliki kemampuan sebagai motivator maupun sebagai fasilitator. Jika seorang guru memiliki kemampuan sebagai motivator maka siswanya akan merasa nyaman dan semangat belajarnya terus terkondisi.
“Ini penting harus ada motivasi dua arah semangat belajar, jadi bukan sekadar mohon maaf hanya mengirimkan tugas-tugas dan materi. Tidak cukup seperti itu. Itu artinya seperti memindahkan ruang belajar di kelas menjadi virtual. Ini kan direct saja satu arah yang tidak membangkitkan dan membangun semangat belajar tetapi justru menimbulkan kejenuhan,” kata dia.
Menurut Sofyan, pada masa pandemi seperti ini seorang guru juga harus maksimal menjalankan tugasnya sebagai fasilitator yang memfasilitasi dan memberikan arahan kepada anak didiknya mengenai apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya.
Sebagaimana orang tua pada umumnya Sofyan merasa cemas apabila sekolah online ini berkepanjangan. “Kita juga belum tahu, mudah-mudahan satu semester selesai. Tapi ketika harus dilanjutkan sampai satu tahun, saya kira terobosan-terobosan semacam tutorial mungkin bisa dikaji. Artinya siswa bertatap muka dengan guru tetapi dalam jumlah sangat terbatas. Misalnya dibuat satu kelas per lima orang dengan mekanisme yang kreatif,” paparnya.
Naga-naganya, lanjut dia, kalau saja tidak ada terobosan yang menarik dari sekolah, para guru maupun dinas, Komisi D DPRD DIY punya alasan untuk khawatir.
“Kita tidak akan membenturkan keselamatan dan kepentingan belajar. Bagaimana kita justru bisa kreatif melakukan terobosan di masa pandemi seperti ini. Jangan kemudian dengan alasan pandemi kemudian kita menyerah. Ya wis adanya begini. Dengan dalih itu kita pasrah apapun yang terjadi semampunya, nggak boleh begitu. Atau kemudian punya mindset ya pokoknya nanti kita selesaikan kalau sudah tatap muka. Kalau tatap muka terjadinya setahun dua tahun lagi bagaimana? Nggak boleh begitu,” tegasnya.
Anggota dewan dari Fraksi PKS ini sepakat situasi yang ada saat menuntut semua kalangan pendidikan untuk kreatif dan mencari terobosan.
Dia mengakui, tidak sedikit orang tua stres. Inilah yang perlu memperoleh perhatian pemerintah daerah. Mereka harus diberikan pemahaman, bimbingan maupun arahan yang menyejukkan.
“Faktanya ada dua. Pertama, orang tua yang semuanya bekerja tidak di rumah maka ada problem meninggalkan anak-anak dalam waktu lama. Kedua, orang tua di rumah bersama anak-anaknya tetapi tidak cukup punya bekal dan kemampuan mendampingi anak belajar,” tambahnya.
Terhadap dua kondisi orang tua seperti itu, lanjut dia, pemda bersama para pihak yang peduli pendidikan harus mampu membangun komunikasi sekaligus memberikan arahan dan bimbingan. Bentuknya bisa semacam parenting school serta bisa dilaksanakan secara berjenjang melibatkan tokoh masyarakat.
Artinya, pemda harus memberikan sentuhan tersendiri dan perhatian ekstra kepada orang tua yang mendampingi anaknya belajar secara virtual. “Mereka sekarang menjadi bagian dari ujung tombak pendidikan putra putri kita. Dulu 80 persen di sekolah, sekarang kan sebaliknya, 80 persen di rumah. Saat ini orang tua menjadi pendamping utama proses pendidikan karakter dan kognitif,” tandasnya.
Standar minimal
Sependapat, anggota Komisi D DPRD DIY, Imam Taufik, menyatakan problem besar dan utama sekolah online tidak hanya menyangkut jaringan internet tetapi juga aksesibilitas serta efektivitasnya. “Kalau ada angka 100 yang tercapai baru sekitar 60 persen,” ujarnya kepada korbanbernas.id di DPRD DIY.
Dari kunjungan lapangan maupun masukan masyarakat, menurut Imam, tujuan dari pembelajaran online yang dalam bahasa pendidikan disebut standar minimal memang belum tercapai. “Sampai hari ini belum ada peraturan yang terbaru terkait dengan metode belajar online. Kita masih menunggu dari kementerian, wujudnya seperti apa,” ujarnya.
Beruntung, kata dia, untuk problem biaya Pemda DIY sudah menyiapkan anggaran untuk biaya pulsa siswa dan para guru. “Saya kira problem ini alhamdulillah sudah dicover. Gugus tugas DIY juga sudah mem-back up kebutuhan pulsa pengajar dan anak sekolah,” ujarnya.
Apakah selamanya akan seperti ini? Anggota dewan dari Fraksi PKS asal Gunungkidul ini menyampaikan mengingat situasi seperti ini termasuk hal yang baru maka metode pembelajaran online harus di-push sedemikian rupa agar menarik bagi anak didik sehingga efektif dan target tercapai. (sol)