Teknologi Blockchain, Jaminan Keamanan Transaksi Sertifikat Emisi Karbon

Teknologi Blockchain, Jaminan Keamanan Transaksi Sertifikat Emisi Karbon

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Jaminan keamanan di era digital mutlak dibutuhkan, termasuk di sektor perdagangan karbon di Indonesia. Apalagi saat ini potensi Indonesia dalam perdagangan karbon sebagai kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim, cukup besar.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020 lalu mencatat Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp 350 triliun dari transaksi jual beli sertifikat emisi karbon.

Dilansir dari theconversation.com, hutan menjadi sasaran utama karena fungsinya sebagai penyerap karbon dioksida. Melalui hutan lindungnya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indoneia disebut menjadi salah satu negara penjual emisi karbon yang aktif. Diantaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).

Keenam emisi ini menjadi pemicu utama pemanasan global di
bumi dan akhirnya menyebabkan krisis iklim. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton karbon dioksida.

Saat ini harga sertifikat emisi karbon sekitar 28 dolar per ton, naik 10 dolar dari tahun sebelumnya karena munculnya peraturan-peraturan terkait perdagangan karbon.

Perdagangan komoditas karbon merupakan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon. Perdagangan ini seperti transaksi di perdagangan komoditas, namun komoditasnya berupa emisi karbon.

Melihat potensi yang besar ini, PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) atau KBI menjadi lembaga kliring yang siap terjun dalam bisnis perdagangan karbon di Indonesia. KBI yang memiliki teknologi Blockchain pada ekosistem perdagangan karbon, disebut mampu memberikan jaminan keamanan atas pencatatan kredit karbon.

Teknologi ini memastikan tidak terjadinya double accounting dalam proses pencatatannya. KBI sebelumnya memiliki pengalaman dalam pemanfaatkan teknologi Blockchain dalam aplikasi pusat registrasi resi gudang.

Blockchain dikenal sebagai sistem penyimpanan data digital yang terhubung dengan kriptografi. Teknologi blockchain dapat dimanfaatkan di bidang keuangan laiknya buku kas digital yang bisa diakses oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun dengan mudah.

Teknologi blockchain secara tidak langsung telah memudahkan seluruh proses transaksi. Transaksi juga lebih aman dan transparan sehingga dapat meminimalisasi penyelewengan data, seperti suap atau
pun korupsi.

"Blockchain sudah dirasakan manfaatnya bagi para stakeholder di dalam ekosistem resi gudang," ujar Fajar Wibhiyadi, Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero), dalam diskusi daring, beberapa waktu lalu.

Peran sebagai lembaga kliring bukan merupakan hal baru bagi PT KBI Persero. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini telah berpengalaman dalam menjalankan fungsinya sebagai Lembaga Kliring Penjaminan dan Penyelesaian Transaksi di Perdagangan Berjagka Komoditi serta Lembaga Kliring di Pasar Fisik Komoditas di Bursa Berjangka Jakarta.

Karenanya, sebagai BUMN, PT KBI memastikan proses kegiatan kliring berjalan telah sesuai dengan regulasi. Termasuk dalam pengembangan teknologi blockchain dalam perdagangan karbon di Indonesia.

"Kami juga akan terus menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk kegiatan kliring," tandasnya.

Berdasarkan penelitian Kementerian Keuangan, setiap tahun perdagangan karbon mampu menyumbangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 7,5–26,1% dari realisasi pendapatan dari barang dan jasa (Pendapatan Badan Layanan Umum/BLU) tahunan untuk periode 2011-2018. Angka ini setara dengan sekitar Rp
350 triliun dengan asumsi pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk menekan laju deforestasi hutan dan menyusun kebijakan yang mendukung pelestarian hutan.

Karenanya bila dimaksimalkan, maka perdagangan karbon akan memiliki peran yang besar dalam konteks penerimaan negara. Selain manfaat ekonomi, perdagangan karbon merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk bisa mengejar target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% pada tahun 2030.

Di Indonesia, implementasi crediting telah berjalan sejak tahun 2007 melalui proyek Clean Development Mechanism (CDM) berdasarkan Protokol Kyoto. Dengan CDM ini, memungkinkan bagi pengusaha Indonesia untuk membangun proyek emisi rendah yang sertifikat penurunan emisinya
, dijual kepada negara-negara maju.

Sebagai negara pihak pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia juga telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 29% dari skenario emisi GRK secara Business as Usual (BAU), dimana pada tahun 2030 emisi GRK diproyeksikan sekitar 2.881 GtCO2e.

Blockchain Lebih Unggul

Pemanfaatan teknologi
blockchain ini membuat sistem menjadi lebih transparan. Teknologi ini disebut efektif menyimpan jejak informasi dan transaksi dan sistemnya terbukti aman dan transparan karena saat transaksi berlangsung, public access dapat dilihat oleh seluruh pihak tanpa perlu login.

Dibandingkan sistem perbankan, sistem blockchain juga sangat berbeda. Dengan teknologi yang diterapkan blockchain, informasi maupun dana pengguna tidak dapat digunakan tanpa sepengetahuan pemilik.

Database blockchain juga bersifat append only dan hanya dapat menambahkan dan tidak bisa diperbaiki. Dengan demikian sistem blockchain sulit ditembus oleh hacker. Blockchain pun memungkinkan pengguna mengetahui jejak audit aset yang dimiliki sehingga risiko penggelapan dana dapat diminimalisasi.

Blockchain meniadakan middleman atau calo yang kerap menambah biaya transaksi. Berkat blockchain, seluruh kegiatan pencatatan dan verifikasi menjadi terarah dan bersifat immutable.

Budi Utomo, Head Ecoframework Dept PT Sucofindo
, dalam diskusi daring mengungkapkan, keberadaan Lembaga Kliring dalam perdagangan karbon sangat penting dalam mendukung skema transaksi perdagangan karbon. Lembaga Kliring yang memiliki teknologi yang berbasis blockchain mampu memberikan keamanan bertransaksi serta menjamin integritas agregasi emisi selama transaksi kredit berlangsung oleh pelaku.

"Selain itu, Lembaga Kliring yang mengadopsi teknologi ini akan mampu mendukung konsistensi dalam menerapkan prinsip clarity, transparency dan understanding (CTU) dalam registry karbon sehingga mampu mengeliminasi double accounting atau double claim," tandasnya. (*)