Suara Lantang Anak-anak di Tengah Pembangunan Kota yang Tak Ramah
Wahya mengingatkan kembali pesan Romo Mangunwijaya bahwa anak-anak adalah mahaguru bagi dirinya sendiri dan teman-temannya.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Di bawah sinar rembulan keemasan, sekelompok anak-anak tertawa riang, berlarian, bersepeda hingga memancing ikan di sebuah taman impian. Suara tawa mereka berpadu dengan lagu Padhang Bulan dan desiran angin malam yang sesekali terdengar.
Sebuah kardus jatuh di tengah-tengah mereka. Karena penasaran mereka membuka kardus yang ternyata berisi buah pisang. Namun, kegembiraan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, tanah bergetar, dan cahaya bulan menghilang. Kardus-kardus besar kembali berjatuhan, menghancurkan taman bermain mereka.
Inilah awal dari pertunjukan teater Manik-manik Mimpi yang dipentaskan oleh Teater Sanggar Anak Alam (Salam) dalam Parade Teater Linimasa #7 di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (16/10/2024).
Sutradara Khasanah Rahmawati mengangkat kisah yang menggetarkan hati tentang perjuangan anak-anak melawan arus pembangunan kota yang mengancam ruang bermain mereka. Melalui akting natural para pemain cilik seperti Nara, Nawang, Atta dan kawan-kawan, penonton diajak masuk ke dunia anak-anak yang penuh imajinasi, namun terancam oleh realitas pembangunan kota.
Saat roh kota berupa monster dilawan anak-anak yang mempertahankan ruang bermain mereka. (istimewa)
"Aku ingin prosotan yang panjang, aku ingin perpustakaan yang besar, aku ingin ada Kidzania di Jogja!" teriak salah anak-anak secara bergantian dalam pertunjukan, menggambarkan harapan sederhana mereka akan sebuah tempat bermain dan belajar.
Namun, mimpi itu segera berhadapan dengan kenyataan pahit ketika roh kota, yang merupa monster-monster pembangunan, mulai merebut taman impian mereka.
Pementasan ini menjadi cermin realitas yang terjadi di banyak kota besar tak terkecuali Yogyakarta. Ruang terbuka hijau dan area bermain anak semakin menyusut, tergantikan oleh hotel-hotel, perumahan dan pusat perbelanjaan.
"Kota ini harus megah, kota ini harus besar!" teriak para roh kota tidak mau kalah. Kelantangan mereka mencerminkan obsesi pembangunan yang kerap mengabaikan kebutuhan anak-anak.
Tidak menyerah
Namun, anak-anak dalam pementasan ini tidak menyerah begitu saja. Mereka bergotong-royong melawan, bernyanyi dan bersatu menghadang kekuatan yang ingin merampas ruang bermain mereka. "Kami tidak mau tempat bermain kami menjadi rumah kalian! Dasar orang tua, tidak mau mendengarkan kami!" lanjut mereka.
Sri Wahyaningsih atau Bu Wahya selaku Dewan Pembina Sanggar Anak Alam Yogyakarta yang hadir menyaksikan pementasan, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
"Saya sangat bahagia malam ini melihat anak-anak gembira dan menikmati tontonan yang benar-benar untuk mereka. Sudah lama saya tidak menyaksikan pertunjukan seperti ini," ujarnya melalui pesan singkat kepada koranbernas.id, Rabu (16/10/2024) malam.
Di balik kegembiraan pementasan, tersimpan keprihatinan mendalam. Dia menyoroti fenomena hilangnya ruang-ruang bermain anak di era modern.
Terganggu
"Anak-anak adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan teman-temannya. Ketika ruang-ruang bermain semakin sedikit, imajinasi dan kesempatan mereka untuk tumbuh bisa terganggu," jelasnya.
Dia juga menyayangkan dominasi gadget dalam kehidupan anak-anak modern. Wahya mengingatkan kembali pesan Romo Mangunwijaya bahwa anak-anak adalah mahaguru bagi dirinya sendiri dan teman-temannya.
"Permainan modern dengan gadget itu lebih ke arah individual, sementara sosial-emosional anak-anak seharusnya dilatih bersama teman-teman," tambahnya.
Pementasan Manik-manik Mimpi bukan sekadar hiburan melainkan jeritan hati anak-anak sekaligus pengingat bagi orang dewasa. Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan modernisasi, masihkah menyisakan ruang bagi anak-anak untuk bermain, berimajinasi, dan tumbuh secara alami?
Sehat alami
"Semoga di tengah hiruk-pikuk globalisasi ini, masih ada ruang bagi anak-anak untuk tumbuh dengan cara yang sehat dan alami," Wahya menutup komentarnya dengan penuh harap.
Saat tirai panggung ditutup dan lampu sorot dipadamkan, pertanyaan itu tetap menggantung di udara. Akankah anak-anak berhasil mempertahankan taman bermain yang tersisa di tengah gempuran pembangunan? Jawabannya mungkin tidak ada di atas panggung, melainkan di tangan kita semua.
Kini, giliran para penonton dewasa, untuk memastikan bahwa mimpi anak-anak akan ruang bermain yang aman dan menyenangkan tidak hanya menjadi manik-manik impian, tetapi menjadi kenyataan yang bisa mereka rasakan setiap hari. (*)