Sahil Jha Singgah di Sanggar Anak Alam, Berbagi Misi Menjaga Bumi

Sahil Jha bersepeda lebih dari 20 ribu kilometer dari India menuju Australia, Indonesia, lalu lanjut ke Singapura, Eropa, hingga Amerika, demi menyuarakan kampanye penyelamatan tanah.

Sahil Jha Singgah di Sanggar Anak Alam, Berbagi Misi Menjaga Bumi
Sahil Jha bersama fasilitator dan siswa Sanggar Anak Alam seusai berdiskusi tentang misi penyelamatan tanah. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Di balik kayuhan roda sepedanya yang menembus empat benua dan lebih dari 20 negara, Sahil Jha tak hanya membawa pesan tentang pentingnya menyelamatkan tanah.

Dia juga menanamkan semangat perubahan di hati anak-anak muda, termasuk di Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta, sebuah lembaga pendidikan alternatif yang juga berakar kuat pada nilai-nilai kelestarian lingkungan, keluarga dan keberlanjutan hidup.

Sabtu (14/6/2025) petang pada salah satu ruang belajar SALAM yang rindang menjadi tempat berbagi kisah antara Sahil dan para siswa SMP dan SMA serta fasilitator di Sanggar Anak Alam. Bukan sekadar tamu dari negeri jauh yang singgah, Sahil menjadi cermin semangat muda yang selaras dengan nafas pendidikan di SALAM yang menghargai alam sebagai guru dan rumah kehidupan.

“Saya ingin orang-orang mulai berbicara tentang tanah di media sosial, menulis surat kepada pemerintah dan menyadari bahwa tanah kita sedang sakit,” kata Sahil membuka perbincangan.

Aksi nyata

Dia datang bukan dengan teori melainkan dengan aksi nyata yaitu bersepeda seorang diri sejauh lebih dari 20 ribu kilometer dari India menuju Australia, Indonesia, lalu lanjut ke Singapura, Eropa, hingga Amerika, demi menyuarakan kampanye global tentang penyelamatan tanah.

Di SALAM, dia bukan hanya didengarkan, tetapi juga terhubung, karena nilai-nilai yang dibawanya senada dengan apa yang setiap hari dijalani anak-anak dan pendidik di SALAM. “Saya datang sendiri ke tiap kota. Tapi di setiap tempat, orang lokal akan membantu mengatur pertemuan atau kegiatan,” katanya.

Sahil bercerita tentang sepeda yang menemaninya, Surly, dan bagaimana bersepeda menjadi simbol perjuangan yang tak meninggalkan jejak karbon.

Diskusi itu pun menjadi forum tukar pengalaman dua arah. Para fasilitator SALAM menyampaikan kekhawatiran tentang kondisi tanah dan pertanian di Indonesia. “Petani sering mengejar hasil lebih dengan memakai pestisida, dan itu merusak tanah. Harusnya kita lebih bijak,” ujar seorang pendamping.

Bahan organik

Sahil pun menggarisbawahi bahwa kesuburan tanah tak bisa dicapai dengan jalan instan.
“Untuk menyelamatkan tanah, kita harus meningkatkan kandungan bahan organik minimal 3–6 persen dan menjaga tanah tetap teduh dengan rumput, semak, atau pepohonan," kata Sahil.

Dia juga mengingatkan bahwa mikroorganisme tanah adalah kunci kehidupan. “Mereka yang mengalirkan nutrisi dari tanah ke tanaman. Jika mereka mati karena pupuk kimia atau pestisida, maka tanah juga akan mati,” tegasnya.

Salah satu kekuatan kampanye Save Soil adalah mengajak masyarakat untuk terlibat aktif. Melalui laman www.savesoil.org publik bisa belajar tentang tanah, menyebarkan informasi, hingga mendukung kebijakan yang mendorong pertanian berkelanjutan.

Pertemuan antara Sahil dan anak-anak SALAM bukan sekadar inspirasi sepintas. Di balik dialog itu, ada pengakuan diam-diam bahwa mereka sedang berada di jalur yang sama yaitu menjaga bumi dengan pendidikan yang membumi.

Berpikir kritis

Sahil bukan hanya memotivasi mereka, tetapi juga meneguhkan bahwa apa yang mereka lakukan di SALAM -- belajar bertanam, berbagi nilai hidup berkelanjutan, dan berpikir kritis tentang alam -- adalah bagian dari perubahan global yang nyata.

“Saya akan melanjutkan perjalanan ke New York. Tapi perjuangan ini bukan milik saya saja. Setiap orang bisa ambil bagian untuk menyelamatkan tanah kita. Kesehatan tanah adalah kesehatan masa depan kita,” lanjutnya.

"Karena tanah menjadi tempat kita hidup, berbudaya, bahkan sumber pangan kita juga dari tanah. Pesan saya jaga tanah, karena tanah adalah masa depan kita," tandasnya.

Sri Wahyaningsih selaku Pendiri sekaligus Pembina SALAM, mengaku sangat menyambut gembira kedatangan Sahil. “Kami menyambut gembira kehadiran anak muda India usia 19 tahun yang sangat peduli dengan kelestarian tanah sebagai pijakan dan sumber kehidupan,” ucapnya.

Rumah bersama

Menurutnya, semangat Sahil sangat relevan dengan misi SALAM menjadikan bumi bukan sekadar tempat tinggal, tetapi rumah bersama yang harus dijaga dan dihormati.

“Visinya sejalan dengan visi kami, menjaga lingkungan sebagai rumah bersama. Tetap semangat Sahil, mari bergandengan tangan berupaya melestarikan bumi, di tengah kenyataan masih banyak manusia yang mengeksploitasi bumi demi kepentingan pribadi,” tambahnya.

Di SALAM, para siswa tak hanya belajar di kelas, tetapi juga di ladang, kebun, dan alam terbuka. Mereka diajak mengenal tanah, menanam sayur sendiri, hingga berdialog tentang keberlanjutan pangan -- persis seperti pesan yang dibawa Sahil dalam kampanyenya.

Pertemuan dengan Sahil membangkitkan rasa ingin tahu anak-anak. Salah satunya, Clara Ruel, siswa kelas 9, bertanya, “Kenapa isu tanah tidak sepenting isu lingkungan lainnya seperti emisi atau laut?”

Disepelekan

Sahil menjawab penuh keyakinan, “Tanah ada di bawah kaki kita. Tapi karena tidak terlihat, sering disepelekan. Padahal dari sanalah makanan kita berasal. Sampah makanan pun bisa kembali ke tanah untuk menciptakan kehidupan. Sayangnya, banyak yang masih menyebutnya hanya ‘kotoran’.”

Ruel pun merasa terinspirasi. Dia mengungkapkan, Gerakan Save Soil ini keren banget karena sejak muda dia udah punya kesadaran seperti itu. Dengan usia dia yang masih muda juga, dia masih punya banyak tenaga untuk juga mengajak teman-teman muda memiliki kesadaran seperti itu. (*)