Rp 200 Triliun dari Cukai Rokok Masuk Kas Negara

Rp 200 Triliun dari Cukai Rokok Masuk Kas Negara

KORANBERNAS.ID – Ketua  Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Joko Wahyudi menyatakan pemerintah memperoleh pemasukan besar dari cukai rokok.

“Misalnya harga rokok Rp 10 ribu yang Rp 7 ribu itu masuk kas negara. Bumbung kepruk atau total sebesar Rp 200 triliun dari cukai rokok itu masuk kas negara,” ujarnya kepada wartawan usai audiensi di DPRD DIY, Senin (30/9/2019).

Dia prihatin saat ini pabrikan Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau  rokok linting terancam gulung tikar karena kebijakan pemerintah. “Mau ditutup silakan tapi di belakang saya ada ratusan ribuan pekerja njuk piye,” kata dia.

Karena itu, dia mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan cukai rokok yang berkeadilan.

Menurut dia, rokok linting konsumsi materialnya 100 persen dari dalam negeri sedangkan Sigaret Kretek Mesin (SKM) 75 persennya justru impor.

Menanggapi hal itu Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana mengatakan pihaknya siap menyampaikan aspirasi tersebut. “Mudah-mudahan ada perbaikan,” ujarnya.

Joko Wahyudi menambahkan, pabrikan rokok linting adalah padat karya karena menyerap banyak tenaga kerja. Apabila kemudian ditutup maka dampaknya sangat besar. Sebagai gambaran, pabrik rokok mesin mampu menggantikan 7 ribu pasang tangan.

Sebelumnya, saat Diskusi Media Kebijakan Tarif Cukai Berkeadilan Ciptakan Persaingan Industri yang Sehat, belum lama ini, di Bale Raos Yogyakarta, Joko Wahyudi menyatakan ada usulan kenaikan batasan produksi Sigaret Kretek Tangan  golongan 2 dari 2 miliar batang menjadi 3 miliar.

Ibarat bola liar, usulan dari pemodal asing yang disampaikan ke pemerintah setahun silam itu, kini menggelinding menjadi ancaman bagi pabrik sigaret tangan alias rokok linting.

"Wacana kenaikan batasan produksi SKT golongan 2 tersebut menciptakan dampak sosial ekonomi yang mengganggu keberlangsungan usaha. Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan cukai rokok yang berkeadilan," ujar Joko.

Menurut dia, usulan ini dinilai hanya akan menguntungkan pabrikan besar asing. Sebaliknya, ratusan pabrikan kecil dan lokal yang mempekerjakan puluhan ribu pelinting tidak memperoleh perindungan dari pemerintah.

"Usulan kenaikan batasan produksi SKT golongan 2 ini akan menyebabkan sekitar 11.000 pelinting yang bekerja di pabrikan SKT golongan 1 kehilangan pekerjaan. Tak hanya itu, negara juga berpotensi kehilangan penerimaan cukai sekitar Rp 1 triliun," ungkapnya.

Itu sebabnya para pemilik pabrikan kecil dari wilayah DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur secara tegas menolak usulan tersebut. “Bagaimana mungkin sebuah pabrikan yang memiliki modal besar dan merupakan salah satu pabrikan besar dunia ingin menaikkan batasan produksi sigaret kretek tangan golongan 2 yang tarif cukainya lebih murah? Ini jelas-jelas menguntungkan satu pabrikan besar asing saja dan merugikan pihak lainnya,” jelasnya.

Berdasarkan informasi yang dia peroleh, saat ini pabrikan SKT berskala besar dan asing tersebut memiliki volume produksi 1,8 miliar batang atau berada di SKT golongan 2 dengan tarif cukai Rp 180 per batang.

Diperkirakan pada 2020, volume produksi pabrikan SKT besar asing tersebut menembus 2 miliar batang atau masuk golongan 1 dengan tarif cukai tertinggi Rp 290 hingga Rp 365per batang.

"Agar terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi di golongan 1, pabrikan besar asing tersebut mengajukan batasan produksi SKT golongan 2 dinaikkan dari 2 miliar menjadi 3 miliar batang," tambahnya.

Dengan demikian, pabrikan besar asing yang beroperasi di lebih 70 negara itu dapat menaikkan volume produksinya. Selain omzetnya meroket, juga bisa menikmati tarif cukai murah.

Joko menambahkan, tanpa adanya kenaikan batasan produksi SKT golongan 2, para buruh linting sudah dalam kondisi menderita akibat penurunan pangsa pasar SKT secara tajam dari 37 persen pada 2006 menjadi 17 persen pada 2018.

Bahkan pada 2019, sejumlah pabrikan SKT golongan 1 telah mengurangi jumlah produksinya serta meliburkan puluhan ribu pelinting selama beberapa hari.

Saat ini sekitar 75 persen pekerja linting SKT bekerja di pabrikan SKT golongan 1. Apapun kebijakan yang merugikan pabrikan SKT golongan 1 akan memengaruhi penghidupan para buruh yang terlibat di dalamnya.

Jika PHK terjadi, hal ini juga berimbas pada perputaran perekonomian daerah. “Kami berharap pemerintah tidak tunduk pada usulan pabrikan besar asing, yang hanya menyengsarakan buruh linting yang sudah terpuruk,” kata Joko.

Dia juga khawatir tarif cukai SKT dekat dengan tarif cukai rokok yang diproduksi mesin. Sebagai gambaran, tarif cukai SKT golongan 1 A sebesar Rp 365 per batang, sedangkan tarif cukai rokok putih mesin Rp 370 per batang bahkan ada yang Rp 355 per batang.

Hal ini membuat posisi SKT tertekan mengingat konsumen cenderung memilih rokok yang dibuat mesin jika harganya tidak beda jauh dengan SKT. Harga rokok memang sangat dipengaruhi besaran tarif cukainya. “Kami menyarankan pemerintah untuk menjauhkan tarif cukai rokok yang diproduksi mesin dari rokok yang diproduksi tangan,” katanya.

Penopang keluarga

Pemilik MPS di Kabupaten Bantul, Suluh Budiarto Rahardjo, menambahkan saat ini tenaga kerja yang terserap di wilayah Provinsi DIY sejumlah hampir 4.000 orang yang tersebar di empat MPS.

“Mereka pahlawan dan penopang bagi keluarganya. Kami sangat berharap pemerintah memberlakukan aturan yang adil dengan tidak mengabulkan usulan batasan produksi SKT golongan 2,” kataBudi.

Pemilik MPS Kramat Tegal Jawa Tengah, Junaidi Dahlan, menjelaskan dukungan dari pemerintah daerah sangat diperlukan karena kebijakan ini menyangkut nasib ribuan orang yang menggantungkan hidupnya dari industri rokok di segmen SKT.

“Kami berharap pemerintah daerah mendukung langkah kami melindungi keberlangsungan usaha, sekaligus memberikan pandangan kepada pemerintah mengenai dampak ekonomi sosial yang terjadi apabila rencana kenaikan batasan produksi dilakukan,” kata Junaidi.

Saat ini, jumlah tenaga kerja pelinting di Provinsi Jawa Tengah tercatat sekitar 15.000 orang tersebar di 12 MPS.

Melihat kondisi ini, MPSI meminta pemerintah untuk, pertama, mempertahankan batasan produksi segmen SKT di golongan 2 tetap 2 miliar batang per tahun demi mencegah PHK terhadap 11.000 pelinting yang bekerja dipabrikan SKT golongan 1, serta menyelamatkan potensi penerimaan negara sebesar hampir Rp 1 triliun.

Kedua, memperlebar jarak tarif cukai untuk segmen SKT dan rokok mesin SKM/SPM. Ketiga, menggabungkan batasan produksi rokok mesin SPM dan SKM agar produk-produk rokok mesin tersebut tidak bersaing langsung dengan rokok tangan SKT.

Perjalanan panjang

Sedangkan GKR Condrokirono menyampaikan Yogyakarta merupakan bagian dari perjalanan panjang sejarah kretek di Indonesia. "Lebih dari satu abad, kretek sudah mewarnai kehidupan masyarakat Yogyakarta," tuturnya.

Sejarah mencatat, sejak tahun 1900-an kretek menjadi bagian kehidupan masyarakat Yogyakarta yang diwariskan secara turun temurun.

Berdasarkan penelitian, rokok kretek mampu menghidupi banyak orang di wilayah DIY dan sekitarnya sejak akhir abad ke-18. Persebaran produksi rokok kretek dimulai dari usaha-usaha kerajinan rakyat hingga akhirnya berkembang menjadi industri kecil bahkan perusahaan.

"Sebagai warisan budaya, pemerintah seyogianya melindungi rokok kretek. Perlindungan bisa dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sekiranya berpihak kepada tenaga kerja yang terlibat di dalamnya," ucap dia.

Sejumlah kebijakan yang saat ini akan atau sudah dikeluarkan membuat beberapa pelaku usaha kecil rokok kretek mulai resah. Para pelinting rokok sangat menggantungkan kehidupannya pada pekerjaan ini demi keberlangsungan keluarganya.

"Kami hanya bisa berharap agar pemerintah melihat dan meneliti kembali kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan sebelum menggerus habis industri sigaret kretek tangan. Jangan sampai salah satu warisan budaya kita yang sudah turun temurun ini hanya dilihat sebelah mata dan hilang," tandasnya. (sol)