Relawan Alami Kelelahan, Yogyakarta Harus Awas

Relawan Alami Kelelahan, Yogyakarta Harus Awas

KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Jarum jam menunjukkan angka 20:50 WIB. Selasa (29/6/2021), wilayah Sleman Utara sempat diguyur gerimis. Udara lumayan dingin. Sekelompok warga perumahan, nampak berjaga-jaga di sekitar satu rumah. Mereka sedang menanti.

Tak lama berselang, yang ditunggu terlihat datang. Perlahan, ambulans berjalan masuk ke kompleks dengan lampu rotator menyala tanpa sirine. Warga yang berdiri paling depan segera melambaikan tangan memberikan isyarat agar ambulans terus bergerak maju.

“Selamat malam, Pak. Maaf agak lama. Saya tadi baru saja sampai di markas. Belum sempat duduk, sudah diinfo teman untuk segera ke sini menjemput pasien,” kata Agus, sang driver ambulans datar.

Sembari menunggu pasien positif Covid-19 dan istrinya bersiap untuk diantar ke rumah sakit, relawan asal Bantul ini bercerita, seharian dirinya belum beristirahat. Hal serupa, juga dialami oleh relawan-relawan lain di Bantul, dan bahkan di DIY. Kerja keras, nyaris tanpa bisa beristirahat dilakoni para relawan, terutama sejak beberapa hari belakangan, lantaran kasus Covid-19 yang terus melambung.

Semakin beratnya beban kerja, juga diakui oleh relawan dari lima gerakan dan lembaga kemanusiaan di Yogyakarta, yakni Sambatan Jogja (Sonjo), Forum Pengurangan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah Covid-19 Command Center serta Jaringan Gusdurian. Melalui koordinatornya masing-masing, mereka menyebut kenaikan kasus Covid-19 di DIY saat ini, sudah mulai tak terkendali dan membuat mereka sangat kewalahan

Lima gerakan dan lembaga kemanusiaan ini angkat tangan terhadap gawatnya situasi pandemi saat ini. Mereka meminta, kondisi yang terjadi belakangan ini, harus menjadi perhatian semua pihak, agar situasinya tidak semakin berbahaya untuk kemanusiaan.

Terutama kepada pemerintah, baik Pemda DIY maupun pemerintah pusat, mereka meminta agar bisa membuat kebijakan yang lebih tegas, guna membendung massifnya penyebaran Virus Covid-19 di masyarakat.

BOR meningkat

Penggagas Sambatan Jogja, Rimawan Pradiptyo mengatakan, lima gerakan dan organisasi kemanusiaan itu tidak cukup mengatasi pandemi di Yogyakarta, sehingga membutuhkan gerakan yang lebih cepat dari pemerintah yang memiliki kewenangan dan sumber daya manusia.

Gerakan tersebut mendata seluruh rumah sakit rujukan di DIY penuh dengan Bed Occupancy Rate (BOR) melebihi 80 persen, meskipun rumah sakit sudah meningkatkan kapasitasnya. Dalam dua pekan terakhir, shelter penuh pasien seiring dengan cepatnya penyebaran Covid.

“Situasinya berat. Hanya pemerintah yang bisa mengatasi,” kata Rimawan, saat jumpa pers secara daring, Rabu (30/6/2021) siang.

Rimawan mengaku mendapatkan laporan dari lapangan, betapa puluhan relawan di DIY yang membantu menguburkan jenazah Covid mulai kelelahan. Dua hari yang lalu, aktivitas relawan sempat terhenti karena kewalahan menangani jenazah. Para relawan membutuhkan dukungan alat pelindung diri tiga lapis untuk menjaga keselamatan mereka.

Alissa Wahid dari Gusdurian mengungkapkan hal senada. Alissa mengaku, sikap pemerintah yang masih terlalu lunak dengan imbauan-imbauan selama ini, menjadi faktor utama sulitnya menegakkan pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat. Alih-alih patuh dengan prokes, banyak dari masyarakat yang bahkan cuek dengan pandemi.

Kontrol lemah

Mereka beraktivitas di luar rumah tanpa mengenakan masker, lalai menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Fasilitas-fasilitas mencuci tangan yang disiapkan di ruang-ruang publik, juga sering dibiarkan tanpa dimanfaatkan.

“Situasinya amat genting. Pemerintah harus ambil posisi tegas dan jangan mendua. Pemerintah, tokoh masyarakat, pemimpin, harus memberi tauladan dan tegas menerapkan aturan prokes,” kata Alissa.

Alissa Wahid mengingatkan, pemerintah jangan hanya mengandalkan relawan. Sebab, menurut dia, relawan tidak bisa mengatasi pasien yang butuh bantuan untuk dibawa ke IGD jika jumlahnya terlampau banyak.

Apalagi, jumlah relawan juga mulai berkurang. Demikian juga tidak sedikit tenaga kesehatan yang harus jatuh sakit atau bahkan meninggal karena tugas.

“Kita harus menempatkan porsi dan kapasitasnya. Jadi tolong negara bisa segera hadir,” kata Alissa.

Dia menilai, situasi saat ini sudah sangat genting karena menyangkut ribuan nyawa yang harus diselamatkan. Sayangnya, Alissa melihat, masih ada kegamangan dalam mengambil kebijakan yang tegas dan ekstrim, jadi masih setengah-setengah.

“Memang tidak ada pilihan yang mudah di tengah badai ini. Namun harus mampu mengelola badai dan memitigasinya. Dalam situasi ini perlu kepemimpinan dan manajemen krisis yang kuat,” lanjutnya.

Belum Puncak

Tren kasus Covid-19 berdasarkan tingkat penularan di DIY, hingga kini semakin tak terbendung. Kasus baru harian selama sepekan terakhir melonjak secara drastis dan konsisten.

Pendiri Laboratorium Statistik Terapan RoomStat, Budhi Handoyo Nugroho mengatakan baik di wilayah Sleman, Kota Jogja, Bantul dan Kulonprogo belum terlihat puncak tingkat penularan. Artinya, kasus-kasus penularan masih terus berpotensi terjadi dengan skala masif.

“Butuh data minimal 10 hari tren menurun, baru bisa dipastikan telah muncul puncak penularan,” papar Budhi, beberapa waktu lalu.

Kondisi berbeda terlihat di Gunungkidul. Puncak penularan di Gunungkidul sudah terlihat per 17 Juni lalu, di mana tingkat penularannya (rate of transmission/Rt) mencapai 5.81 dengan kecepatan kenaikan kasus 438.89 persen. Kalau dibanding 1 Juni di mana tingkat penularan hanya 1.08, namun dalam kurun waktu hanya 17 hari naik menjadi 5.81, atau per hari naik 25.82 persen.

Tingginya Rt ini, kata Budhi, menyebabkan butuh waktu yang panjang untuk menurunkan kecepatan penularan, dari puncak ke 27 Juni (Rt 4.03). Penurunan rata-rata kecepatan hanya 3.55% sehingga diperoleh persamaan eksponensial hingga suatu saat melandai. Ia memperkirakan pada 9 September penurunan kasus bisa terjadi atau kasus harian mengecil seperti 18 Mei 2021.

“Saat ini kecepatan Rt 4.03 ini masih tergolong sangat cepat hingga nanti diperoleh puncak kasus aktif yang hingga saat ini masih belum terlihat. Artinya lonjakan kasus masih bisa terjadi sewaktu-waktu bila tidak ada upaya pengetatan yang lebih kuat,” tandasnya.

Budhi menyebutkan, lembaganya mencatat terjadi kasus baru harian rata-rata lebih dari 1.000 kasus sejak 22 Juni lalu. Data tersebut dihimpun dari data Satgas Covid-19 masing-masing kabupaten/kota di DIY. Pada 22 Juni tercatat 1.013 kasus (total Sleman, Kota, Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul), 1.088 kasus (23/6), 1.277 kasus (24/6), 1.403 kasus (25/6), 1.660 kasus (26/6) dan 27 Juni sebanyak 1.372 kasus.

Beda data

Sampai saat ini, terdapat perbedaan data jumlah pasien Covid-19 yang dirilis Satgas Covid-19 DIY dengan data yang ia himpun dari masing-masing kabupaten kota. Menurutnya, gap data antara DIY dengan kelima kabupaten/kota per 27 Juni mendekati 7.000 kasus.

Berdasarkan data Satgas Covid-19 Sleman, jumlah kasus harian per 28 Juni warga yang terkonfirmasi positif bertambah 288 kasus sehingga total berjumlah 22.100 kasus. Adapun kasus sembuh bertambah 164 kasus menjadi 16.718 kasus. Adapun penyintas Covid-19 yang meninggal bertambah 19 kasus menjadi 625 kasus.

“Saya sampai gak bisa bicara lagi, menghadapi lonjakan kasus ini. Perbaikan penanganan dari hulu hingga hilir harus dilakukan,” kata Kepala Dinas Kesehatan Sleman Joko Hastaryo.

Menurutnya, Dinkes sudah berupaya agar rumah sakit menambah kapasitas bed. Itu sudah dilakukan. Hanya saja, jika bagian hulu (masyarakat) dan hilir (fasilitas kesehatan) ini tidak ditata dengan baik, akan terus bermasalah.

“Intinya menangani pandemi ini harus tetap hulu dan hilir, harus ditata bersamaan. Nakes menyiapkan dan melayani pasien agar bisa tertangani, tapi kalau hulu tidak dikendalikan pasti akan tetap terjadi (masalah),” tandasnya.(*)