Pertimbangkan Pandemi, Biennale 2021 Sasar Kawasan Pasifik

Pertimbangkan Pandemi, Biennale 2021 Sasar Kawasan Pasifik

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Untuk menandai satu putaran penuh garis khatulistiwa, pada Biennale 2021 mendatang Yayasan Biennale Jogja mengambil pendekatan berbeda. Satu putaran penuh garis khatulistiwa menjadi kerangka kerja yang telah dipilih oleh Yayasan Biennale Yogyakarta sejak 2010.

Pada Biennale Jogja XVI Equator #6 ini juga akan menyajikan pula satu bentuk retrospeksi atas kerja-kerja Yayasan Biennale Yogyakarta selama Biennale Jogja seri equator yang telah berlangsung pada periode waktu sebelumnya.

“Untuk menutup rangkaian khatulistiwa putaran pertama, kami akan bekerja sama dengan salah satu negara di Kawasan Pasifik. Kepastian negara masih terus digodok untuk menimbang banyak situasi," papar  Alia Swastika selaku Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta.

"Termasuk bagaimana pandemi ini berpengaruh pada mobilitas dan gagasan pertukaran internasional. Kawasan Pasifik terutama secara khusus berhubungan dengan wilayah kepulauan di Indonesia, dan secara geografis Indonesia Timur juga akan menjadi titik perhatian kami,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Alia Swastika juga menjelaskan bagaimana kerjasama Kawasan Pasifik juga akan merujuk pada wacana-wacana kolonialisme baru dan gagasan negara bangsa pada masyarakat kontemporer, karena ada banyak negara di Kawasan tersebut yang ternyata masih menjadi bagian kekuasaan negara Eropa, misalnya Perancis, Amerika Serikat dan sebagainya.

Yang menarik, selain menjadikan Pasifik sebagai Kawasan Mitra, Biennale Jogja juga akan menghadirkan kembali arsip dan dokumentasi selama penyelenggaraan Biennale Jogja seri khatulistiwa 1-5, di mana Biennale Jogja telah menjalin kerjasama dengan beberapa negara seperti India, Kawasan Arab (Mesir, Arab Saudi dan Uni Emirates Arab), Nigeria, Brazil dan Kawasan Asia Tenggara.

“Diharapkan, dengan membawa kembali arsip-arsip dan melakukan pembacaan ulang, maka pengunjung dan semua warga bisa melihat secara utuh gagasan khatulistiwa sebagai geopolitik yang digagas di Yayasan Biennale Yogyakarta," lanjutnya.

Selain itu, Alia juga memperkenalkan Direktur Biennale Jogja yang baru yaitu Gintani Nur Apresia Swastika. Gintani akan menjadi Direktur bagi penyelenggaraan dua peristiwa seni ini pada 2021 dan 2023.

“Biennale Jogja selalu berupaya untuk melakukan regenerasi sehingga ada orang dan gagasan baru yang dimunculkan dalam moda kepemimpinan dan manajemen seni," lanjutnya.

Apalagi, dalam seri khatulistiwa setiap edisi Biennale ini memilih satu kawasan baru, sehingga selalu perlu pendekatan baru karena setiap negara atau Kawasan situasinya berbeda.

Covid-19 akan memberikan banyak pengaruh pada cara kerja Biennale Jogja, apalagi kita adalah acara internasional yang mendatangkan banyak seniman dan pelaku dari negara lain.

"Berbagai kemungkinan baru sedang kita pikirkan untuk mengantisipasi situasi yang berbeda ini. Dan karenanya, pameran arsip menjadi salah satu cara yang menurut kami strategis,” pungkas Alia.(*)