Perlukah TNI Menjaga Kejaksaan?

Oleh: Boy Anugerah

Kebijakan pengerahan personel militer dalam pengamanan Kejaksaan banyak dikaitkan dengan sirkumstansi politik yang berkembang di tanah air belakangan ini, khususnya isu matahari kembar, masih kuatnya pengaruh Jokowi di kabinet, dan upaya strategis Presiden Prabowo untuk melakukan konsolidasi kekuasaan. Isu bahwa Polri masih menjadi proksi politik Jokowi dan potensial menghambat proses penegakan hukum yang dilakukan oleh rezim Presiden Prabowo, yang menempatkan Kejaksaan sebagai ujung tombak utama, dinetralisir dan dikuatkan melalui dukungan militer di belakangnya, boleh jadi benar adanya. Jika kita tilik secara cermat, dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan menunjukkan kinerja gakkum yang impresif seperti dalam pengungkapan kasus korupsi Jiwasraya, Duta Palma, minyak goreng, hingga megakorupsi timah yang menelan kerugian negara sebesar 300 triliun. Sebaliknya, Polri yang juga mengemban mandat untuk melakukan gakkum terlihat kedodoran kinerjanya, bahkan disinyalir tidak steril pada masa Pemilu 2024 yang lalu. Istilah Partai Coklat (Parcok) merupakan kiasan untuk menyebut institusi ini sebagai proksi politik kekuatan tertentu. Diferensiasi capaian antara kedua lembaga ini disinyalir memunculkan tensi tersendiri. Muncul juga isu bahwa penjagaan Kejaksaan oleh TNI terkait erat dengan kasus petinggi Polri yang sedang diusut oleh Kejaksaan.

Perlukah TNI Menjaga Kejaksaan?
Boy Anugerah (Istimewa).

KIRANYA pertanyaan sedemikian perlu kita ajukan bersama untuk merespons kebijakan pemerintah yang mengerahkan prajurit TNI dalam penjagaan dan pengamanan institusi Kejaksaan. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi. Pihak yang menolak kebijakan berpandangan bahwa langkah pemerintah tersebut merupakan bentuk politisasi militer dan bukti nyata perluasan peran TNI di ranah sipil. Sebaliknya, pihak yang setuju berpandangan bahwa kebijakan ini memiliki dasar yang jelas karena pengamanan hanya dilakukan pada aspek fisik, bukan intervensi pada penanganan perkara yang diusut Kejaksaan. Pun kebijakan ini merupakan wujud sinergitas antarlembaga yang dapat menguatkan peran Kejaksaan dalam mengusut kasus-kasus besar yang merugikan negara. Bagaimana melihat polemik kebijakan ini secara jernih?

Adalah Panglima TNI, Jenderal TNI Agus Subiyanto, yang mengeluarkan Surat Telegram (ST) bernomor TR/422/2025 mengenai perintah penyiapan dan pengerahan personel beserta alat kelengkapan dalam rangka dukungan pengamanan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh wilayah Indonesia. Perintah Panglima TNI itu lalu ditindaklanjuti oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dengan mengeluarkan surat telegram ke jajarannya. KSAD memerintahkan pasukannya agar menyiapkan dan mengerahkan personel beserta alat kelengkapan dari satuan tempur dan satuan bantuan tempur, sebanyak 30 personel untuk pengamanan di Kejati dan 10 personel di Kejari. Perintah Panglima TNI ini disambut oleh pihak Kejaksaan yang menyebut kebijakan ini merupakan tindak lanjut secara konkret dari nota kesepahaman bernomor NK/6/IV/2023/TNI yang telah ditandatangani oleh kedua lembaga pada April 2023 yang lalu.

Kerangka hukum

Jika menilik dari kerangka hukum positif yang berlaku di Indonesia, polemik kebijakan ini mudah untuk didudukkan. Tanpa harus membuka apa yang menjadi kesepakatan internal kedua lembaga, mandat Pasal 30 UUD NRI 1945 sudah sangat jelas bahwa TNI bertugas untuk mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, sedangkan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi ranah Polri. Jika merujuk pada UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, posisi TNI sangat jelas sebagai komponen utama sistem pertahanan negara yang memiliki tugas pokok dan fungsi melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Merujuk pada kerangka hukum lainnya, yakni TAP MPR No. VI/MPR/2000 yang mengatur pemisahan TNI dan Polri sebagai mandat reformasi, perbedaan tupoksi TNI dan Polri dinyatakan secara tegas bahwa TNI fokus pada pertahanan negara, sedangkan Polri fokus pada pemeliharaan keamanan. Sehingga dengan demikian, kebijakan pengamanan Kejaksaan oleh TNI bisa dikatakan bertentangan dengan kerangka hukum positif yang berlaku.

Sekali lagi, dalam kerangka hukum positif yang berlaku, sulit untuk mencari rasionalisasi dan justifikasi untuk kebijakan ini. Jika kebijakan ini diimplementasikan dalam wujud operasi intelijen, meskipun menabrak hukum yang berlaku, dipastikan kebijakan ini berjalan dalam ruang hampa dan mode senyap, yang artinya pengamanan Kejaksaan oleh TNI tidak akan diketahui publik secara telanjang dan tidak menimbulkan kontroversi. Yang terjadi secara empirik, kebijakan ini dijalankan dalam wujud operasi pengamanan secara eksplisit oleh TNI melalui pengerahan satuan tempur dan bantuan tempur, mirip operasi militer yang hendak menghadapi ancaman bersenjata dari kekuatan eksternal. Tak salah jika banyak kelompok masyarakat sipil dan masyarakat umum yang mengkritisi langkah pemerintah sebagai bentuk unjuk kekuatan militer (military show of force) dan membawa kembali militer ke panggung sipil (military return). Sebelumnya, eksistensi militer banyak dikritisi terkait revisi UU TNI dan banyaknya pejabat aktif militer yang berkecimpung di ranah sipil yang notabene menabrak pengaturan dan batasan yang ditetapkan dalam UU TNI.

Dinamika politik

Kebijakan pengerahan personel militer dalam pengamanan Kejaksaan banyak dikaitkan dengan sirkumstansi politik yang berkembang di tanah air belakangan ini, khususnya isu matahari kembar, masih kuatnya pengaruh Jokowi di kabinet, dan upaya strategis Presiden Prabowo untuk melakukan konsolidasi kekuasaan. Isu bahwa Polri masih menjadi proksi politik Jokowi dan potensial menghambat proses penegakan hukum yang dilakukan oleh rezim Presiden Prabowo, yang menempatkan Kejaksaan sebagai ujung tombak utama, dinetralisir dan dikuatkan melalui dukungan militer di belakangnya, boleh jadi benar adanya. Jika kita tilik secara cermat, dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan menunjukkan kinerja gakkum yang impresif seperti dalam pengungkapan kasus korupsi Jiwasraya, Duta Palma, minyak goreng, hingga megakorupsi timah yang menelan kerugian negara sebesar 300 triliun. Sebaliknya, Polri yang juga mengemban mandat untuk melakukan gakkum terlihat kedodoran kinerjanya, bahkan disinyalir tidak steril pada masa Pemilu 2024 yang lalu. Istilah Partai Coklat (Parcok) merupakan kiasan untuk menyebut institusi ini sebagai proksi politik kekuatan tertentu. Diferensiasi capaian antara kedua lembaga ini disinyalir memunculkan tensi tersendiri. Muncul juga isu bahwa penjagaan Kejaksaan oleh TNI terkait erat dengan kasus petinggi Polri yang sedang diusut oleh Kejaksaan.

Kerugian

Terlepas dari sirkumstansi politik yang berkembang, penggunaan TNI yang notabene merupakan unit tempur negara untuk mengamankan Kejaksaan bisa dikatakan tidak tepat. Ada banyak kerugian yang harus ditanggung ke depan, baik bagi rezim yang berkuasa, maupun masyarakat sebagai penerima manfaat. Pertama, hal ini dapat menjadi celah masuk bagi perluasan peran TNI di ranah sipil. TNI akan semakin tergoda untuk masuk ke sesuatu yang bukan menjadi ranahnya. Kedua, akan terjadi benturan yang sangat tajam antara TNI dan Polri, yang notabene merupakan instrumen pertahanan negara berdasarkan UU Pertahanan Negara. Benturan institusional di antara kedua lembaga akan mempengaruhi kinerja mereka masing-masing. Ketiga, akan muncul kesan di mata publik bahwa isu matahari kembar dan kuatnya pengaruh Jokowi di kabinet benar-benar nyata dan ini disikapi dengan lemahnya kapasitas Prabowo sebagai Presiden untuk melakukan konsolidasi secara elegan dan berwibawa. Langkah konsolidasi yang dilakukan Presiden Prabowo alih-alih elegan, melainkan konfrontatif dan merusak kelembagaan. Prabowo dapat dinilai melakukan konsolidasi kekuatan secara politik terhadap instrumen pertahanan negara dan tidak cukup cerdik memanfaatkan peluang-peluang kebijakan lain yang bisa lebih soft dengan sedikit kerugian.

Solusi

Presiden Prabowo perlu mengevaluasi kembali kebijakan yang sudah digulirkan, tentunya dengan mempertimbangkan respons publik. Jangan sampai publik yang sudah sinis dengan revisi UU TNI kembali dibuat bergejolak dengan kebijakan pengamanan Kejaksaan oleh militer yang tidak sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku. Jika Presiden Prabowo berpandangan bahwa Polri saat ini tidak steril dan tidak sesuai dengan komandonya, ia tak perlu ragu untuk mengganti jajaran pimpinan Polri. Ini menjadi hak prerogatif presiden yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam konteks yang lebih halus, Presiden Prabowo dapat memberikan trigger kepada Polri untuk meningkatkan kinerjanya sebagai bentuk perwujudan komitmen loyalitas kepada Presiden dan visi misi yang diusung bersama. Dalam bingkai yang lebih besar, Presiden Prabowo memiliki tanggung jawab untuk menciptakan soliditas antarlembaga penegak hukum, bukan sebaliknya menerapkan teori konflik yang memicu ketegangan antarlembaga. Presiden Prabowo bahkan tak perlu segan untuk meminta jajaran pimpinan lembaga gakkum untuk meneken pakta loyalitas dan integritas kepadanya dengan menempatkan kepentingan nasional sebagai tujuan utama. Siapapun yang tidak bekerja untuk rakyat, melainkan bekerja untuk kepentingan politik pihak tertentu, dipersilakan untuk mundur atau pensiun dini. ***

Boy Anugerah

Pengamat Militer dan Hubungan Internasional