Peritel Menentang Rencana Kenaikan Cukai Rokok

Peritel Menentang Rencana Kenaikan Cukai Rokok

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Rencana pemerintah menaikkan cukai rokok, mendapat tentangan keras dari peritel. Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Peritel Indonesia (AKRINDO), Anang Zunaedi menyebut, kenaikan cukai rokok ini bukan saja akan berdampak pada industri dan petani, tapi juga akan menghantam bisnis ritel di Indonesia.

Berbicara dalam AMTI Berdiskusi yang diselenggarakan secara virtual, Kamis (2/9/2021) malam, Anang menyebut, rokok adalah produk ikonik bagi peritel di Indonesia. Komoditi ini memberikan kontribusi omset sebesar 78 persen dari total omset peritel secara umum. Selain itu, rokok juga masuk kategori produk fast moving, sehingga menjadi barang dagangan yang sangat penting bagi peritel.

“Kalau benar cukai naik, maka sudah pasti harga rokok juga akan naik. Dampaknya jelas bagi kami, modal kulakan kami juga akan naik. Padahal kami selama ini membeli rokok secara kontan. Berbeda dengan komoditi lain yang kebanyakan bisa tempo. Risikonya akan sangat besar kalau kenaikan harga rokok tidak terjangkau oleh konsumen,” kata Anang.

Bagi peritel, kabar akan naiknya cukai rokok, menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan. Terlebih dalam kondisi pandemi seperti saat ini, mengingat para pedagang sudah dalam kondisi yang berat. Anang lantas menunjuk kebijakan pemerintah yang kemudian mengeluarkan kebijakan PPKM, diakuinya telah menyebabkan para pedagang semakin sulit untuk bisa mempertahankan usahanya.

“Bayangkan saja, dulu kami bisa leluasan berjualan sampai malam. Bahkan kawan-kawan yang di kampung-kampung, masih bisa berjualan sampai tengah malam. Tapi sekarang semua harus tutup pukul 8 malam. Itu saja sudah berat sekali bagi kami. Omset secara rata-rata turun sampai 60 persen. Sulit membayangkan kalau harga rokok nanti naik tinggi lantaran kenaikan cukai rokok. Ibaratnya ingin menangkap ikan, tapi dengan stroom. Semua kaan kena dan semua akan mati,” tandasnya.

Bukan hanya peritel, perwakilan dari konsumen rokok juga menyebut rencana pemerintah menaikkan cukai rokok, adalah bentuk kesewenang-wenangan pemerintah terhadap masyarakat, khususnya para perokok. Perwakilan Masyarakat Konsumen Tembakau (Maskot), Endro Guntoro mengatakan, rencana pemerintah menaikkan tarif cukai, merupakan bukti pemerintah telah gagal memberikan rasa keadilan dalam hal hak masyarakat atau hak konsumen.

Endro yang belakangan getol membangun komunikasi bersama jejaring konsumen rokok di DIY dan Jawa Tengah, mengaku sudah lama merasakan sulitnya mereka mendapatkan hak sebagai konsumen rokok. Ruang bagi konsumen rokok terus dipangkas, padahal diakui atau tidak perokok telah ikut berkonstribusi besar terhadap pendapatan negara.

“Sebagai konsumen, kami merasa terus didesak, dipinggirkan dan terkucil di tengah komunitas sosial kemasyarakatan. Pandemi, juga membuat kami semakin susah. Saya kira semua bisa melihat ke sekeliling, semakin banyak kedai menjual tembakaui. Makin banyak perokok yang harus rela nglinting dewe. Itu saja sudah menjadi indikasi, kami sebagai konsumen sudah berat. Apalagi kalau harga rokok nanti naik tinggi sebagai pengaruh kenaikan tarif cukai yang juga besar, kami penikmat rokok akan semakin sulit menjangkau rokok dengan cita rasa yang sesuai keinginan kami,” katanya.

Bagi Muhammad Nur Azami selaku Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), jeritan hati peritel dan komunitas konsumen rokok, hanyalah sebagian dari gambaran dampak mengenaskan apabila pemerintah tetap akan menaikkan tarif cukai tahun ini.

Azami yang juga hadir dalam diskusi virtual ini mengatakan, setiap kebijakan terkait cukai, jelas akan berpengaruh terhadap industri tembakau dari hulu ke hilir. Bagi Azami, pertembakauan selama ini memang menjadi semacam sapi perah bagi pemerintah. Disebut sapi perah, karena di satu sisi pemerintah menggantungkansebagian besar struktur penerimaan negara kepada tembakau. Tapi di sisi lain, pemerintah tidak pernah hadir untuk memelihara industri tembakau bisa hidup dengan baik dan berkembang.

“Hal yang tidak bisa ditampik, industri tembakau memberikan kontribusi fiskal mencapai 200 triliun rupiah pertahun. Coba bandingkan dengan kontribusi dari ratusan perusahaan BUMN yang hanya sebesar 167 triliun. Jauh sekali kan?. Tapi sekarang kita tengok perlakuan pemerintah. Kalau untuk BUMN, pemerintah tergopoh-gopoh dan getol untuk mendorong dan membantu BUMN yang dalam kesulitan. Tapi kalau ke industri tembakau, alih-alih membantu, pemerintah malah kerap membuat kebijakan yang menyulitkan industri ini. Kita ini ibarat BUMN yang dikelola swasta. Tidakdinaungi kementerian apapun. Kita hidup sendiri dan mandiri. Kebijakan pemerintah tidak pernah sinkron dengan apa yang industri ini maui,” katanya.

Dari sisi dukungan terhadap kepentingan negara dalam hal menyediakan lapangan kerja pun, industri tembakau kata Azami, tidak bisa dipandang sebelah mata. Pertembakauan, menjadi lahan atau ladang kerja bagi jutaan petani yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Sektor ini juga menjadi gantungan hidup puluhan juta pekerja di pabrikan, pekerja di jalur-jalur perdagangan, hingga ke peritel dan karyawan-karyawannya.

“Janganlah kita membuat kebijakan yang hanya mendasarkan pada argumentasi sepihak. Misalnya, alasan bahwa rokok di Indonesia masih sangat murah dibandingkan rokok di negara lain. Kalau mau ngomong soal harga rokok, mestinya juga diperhitungkan dengan daya beli masyarakatnya. Harus dilihat secara lebih komprehensif, supaya kebijakan itu berkeadilan bagi semua,” tegas Azami. (*)