Pengguna Rokok Elektrik Ingin Dibuka Ruang Diskusi

Pengguna Rokok Elektrik Ingin Dibuka Ruang Diskusi

KORANBERNAS.ID, JOGJA -- Pro kontra rokok elektrik (vape) tak ada habisnya. Bahkan Muhammadiyah sebagai salah satu ormas terbesar telah mengeluarkan fatwa haram atas penggunaan rokok elektrik pada 24 Januari 2020. Menanggapi fatwa tersebut, Komunitas Vape Yogyakarta menganggap semangat Muhammadiyah untuk mengurangi perokok cukup konsisten.

"Terbukti sejak 2010 Muhammadiyah telah mengharamkan rokok, dilanjutkan pada 2020 ini Muhammadiyah kembali membuat fatwa haram terhadap vape. Artinya, mereka sebenarnya punya semangat untuk mengurangi prevalensi terhadap rokok sejak tahun 2010 ," kata Eko HC, salah seorang pelaku industri vape nasional, di sela-sela diskusi Truth About Vaping di Merapi Merbabu Hotel, Yogyakarta, Sabtu (1/2/2020).

"Kita mempunyai tujuan yang sama, karena kalau kita lihat setiap tahunnya pertumbuhan prevalensi perokok tetap naik dan tidak pernah berkurang. Walaupun ada fatwa ataupun ada larangan atau peringatan gambar yang gede-gede di kemasan rokok, tidak begitu signifikan hasilnya," lanjutnya.

"Apakah cara ini cukup efektif? Karena sampai hari ini pertumbuhannya tetap saja tinggi. Artinya apa, ternyata para perokok itu butuh solusi lain, nggak bisa cuman sekedar disuruh berhenti terus tiba-tiba berhenti," imbuhnya.

Dengan semangat yang sama ini, lanjut Eko, ia ingin membuka ruang diskusi antara pihaknya sebagai pelaku industri dengan organisasi seperti Muhammadiyah dan pemerintah. Tujuannya, untuk menunjukkan bahwa sama-sama memiliki semangat yang besar agar tercipta cara supaya angka kematian berkurang dan angka prevalensinya juga berkurang.

"Jika sudah menjadi sebuah diskusi, mudah-mudahan ini bisa menjadi sebuah penelitian yang jauh lebih dalam dan kajian lebih akurat bahwa bener nggak sih apa yang terjadi di negara Inggris bahwa mereka berhasil menekan angka perokok dan berhasil mengurangi dana kesehatan setiap tahunnya akibat dari penyakit yang ditimbulkan oleh rokok?," kata Eko.

Menurut Eko, Indonesia belum punya kajian dalam negeri yang cukup kredibel yang bisa diangkat, karena semua kajian yang dipakai adalah kajian luar negeri yaitu Amerika. Hal ini sangat disesalkan, mengingat di Amerika penyalahgunaan vape memang tinggi.

Di Amerika, lanjutnya, ada penyalahgunaan cairan pengisi yang menggunakan zat-zat yang dilarang. Pemuda Amerika menggunakan vitamin E asetat yang digunakan untuk melarutkan Tetrahydrocannabinol (THC), yakni cairan ekstrak ganja. Di Amerika THC itu legal, namun karena harga THC tinggi, maka remaja-remaja amerika membelinya di drug store dan pasar gelap. Hal inilah yang menyebabkan angka kematian akibat vape meningkat.

Karena itu, Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika pun merekomendasikan publik untuk tidak menambahkan THC, vitamin E asetat, atau zat tambahan apapun ke produk vape.

Menanggapi hal tersebut, dr Arifandi Sanjaya, menyatakan acara kali ini juga untuk mengklarifikasi masalah isu-isu yang beredar dari Amerika. Misalnya, masalah pemakai yang baru 3-6 bulan tiba-tiba paru-paru penuh bercak, tiba-tiba saja sesak nafas atau yang lainnya.

"Sehingga kita bisa buktikan kalau kita sudah pakai sekitar 1 sampai 2 tahun hasilnya pun masih baik. Untuk kedepannya memang perlu penelitian lebih lanjut untuk memperjelas semuanya. Selain itu, dari ratusan teman-teman pengguna rokok elektrik yang melakukan gerakan serentak rontgen bersama dengan tajuk #AyoRontgenDab pada desember 2019 lalu 95% hasilnya baik," lanjutnya.

"Sebagai dokter, saya memang mencoba untuk memberikan hal yang pasti lebih baik bagi kesehatan. Maka dari itu saya akan menyarankan orang untuk berhenti merokok dan vape juga tentunya. Tapi di Indonesia ini berapa persen sih orang yang sudah berhenti merokok? Tidak cukup banyak. Dan vape menurut saya memang sebagai alternatif pengganti rokok sampai akhirnya orang akan berhenti merokok dan juga berhenti menggunakan vape," ujarnya. (eru)