Mengembalikan Kejayaan Sorgum Makanan Raja-raja di Nusantara

Sorgum merupakan salah satu plasma nuftah tropik yang tahan terhadap kekeringan.

Mengembalikan Kejayaan Sorgum Makanan Raja-raja di Nusantara
Pertemuan membahas pengembangan sorgum sebagai bahan pangan di kantor Yayasan Andini Bawono Lestari, Kalijeruk Ngemplak Sleman, Sabtu (29/6/2024). (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Sejumlah petani sorgum, seniman, aktivis pangan, akademisi, guru besar, UMKM, asosiasi maupun perwakilan Raja-raja se-Nusantara tergabung dalam Matra (Masyarakat Adat Nusantara) berkumpul di halaman kantor Yayasan Andini Bawono Lestari, Kalijeruk Ngemplak Sleman, Sabtu (29/6/2024).

Mereka duduk bersama membahas masa depan ketahanan dan kedaulatan pangan sekaligus meneguhkan komitmen menjadikan sorgum sebagai bahan pangan alternatif untuk menghadapi ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim global.

Ya, sorgum, bahan pangan yang oleh sebagaian kalangan masih dianggap hanya untuk pakan manuk itu ternyata memiliki catatan sejarah yang panjang. Dahulu, sorgum merupakan makanan raja-raja di Nusantara.

Kebetulan, pertemuan kali ini digelar bertepatan dengan peringatan Hari Penegakan Kedaulatan Negara menandai peristiwa ditariknya tentara Kolonial Belanda dari Ibukota Negara di Yogyakarta atau biasa disebut dengan peristiwa Jogja Kembali, 29 Juni 1949.

Sesi foto bersama usai pertemuan membahas sorgum di Yayasan Andini Bawono Lestari, Kalijeruk Ngemplak Sleman. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Momentum bersejarah itu semakin menginsiprasi sekaligus meneguhkan semangat mereka menegakkan kedaulatan pangan di negeri ini. Bukan sekadar basa basi atau sekadar slogan semata, pada lokasi acara tampak pohon-pohon sorgum tertata pada polybag. Ada yang baru tumbuh. Daunnya menghijau. Sebagian lagi siap panen. Selebihnya sudah diolah jadi tepung.

Menariknya lagi, suguhan makanan pada pertemuan yang berlangsung serius tapi santai itu semuanya dibuat dari olahan sorgum. Mulai dari dawet, tempe mendoan, arem-arem, tape, madu mangsa, klepon dan lain-lain hingga belasan item jumlahnya. Sambil menikmati suguhan, peserta pertemuan juga disuguh pembacaan puisi bertema sorgum oleh seniman asal Yogyakarta, Merit Hendra.

Terlihat tumpukan biji sorgum kemasan siap jual, berbentuk kotak padat mirip batu bata. Tak jauh dari stan itu tepatnya pada selembar lampit atau tikar tertata tempe sorgum.  Gratis, siapa pun boleh mengambilnya dibawa pulang.

Tempe sorgum itu merupakan hasil olahan dari para pelaku usaha pembuat tempe dan tahu tergabung dalam Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti).

Pengukuhan Dalang Ki Gunarto Gunotalijendro sebagai Duta Sorgum. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Tak main-main, pada pertemuan yang dipandu Muhammad Boy Rifai selaku Pembina Utama Sorgum Sejahtera Foundation (SSF) itu hadir langsung pimpinan Kopti. Di antaranya, Ketua Kopti DIY Tri Harjono maupun perwakilan dari Kopti Sleman serta Ketua Puskopti Jawa Tengah, H Sutrisno Supriantoro SE.

Kedatangan mereka dalam rangka memberikan dukungan demi mengangkat sorgum sebagai bahan pangan. Dukungan serupa meski dilakukan dengan cara yang berbeda datang dari dalang KRAT Ki H Gunarto Gunotalijendro SH MM yang malam itu mementaskan lakon Sri Mulih di Pendopo Andini Bawono Lestari. Pergelaran wayang semalam suntuk itu disiarkan langsung oleh Lembaga Penyiaran Publik RRI Yogyakarta.

“Raja-raja Nusantara mendukung maka kami juga sangat mendukung. Pengalaman saya saat pentas di Jepang, tempe menjadi makanan favorit. Swalayan di Jepang yang ada tempenya, laris,” ujar Ki Gunarto. 

Dalang yang telah malang melintang menggelar pementasan di berbagai belahan dunia itu menyebutkan sangat tepat sorgum dibuat tempe. Ki Gunarto pun lantas dikukuhkan sebagai Duta Sorgum.

Prof Ali Agus memberikan kenang-kenangan telur kepada pimpinan Kopti. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Sedangkan Tri Harjono dan Sutrisno Supriantoro menyatakan benar saat ini kebutuhan kedelai sebagai bahan baku tempe di DIY saja rata-rata mencapai 1.200 ton. Skala nasional pasti lebih besar lagi. Ironisnya, semuanya impor. Kalaupun ada kedelai lokal -- jumlahnya sekitar lima persen dari total kebutuhan -- faktanya saat dicari di pasaran sulit ditemukan. 

“Jika kedelai tiba-tiba tidak ada (di pasaran) maka akan kesulitan. Sorgum ini terobosan yang luar biasa. Mudah-mudahan kita bisa berkolaborasi. Sorgum dibuat tempe dan tahu sebagai produk makanan sehat,” ujar Tri Harjono. Contoh dari produk tersebut sudah ada. Brand atau mereknya: Matra.

Mengingat pengembangan sorgum mulai digalakkan dari hulu hingga hilir, keduanya semakin yakin tempe sorgum bisa diterima oleh masyarakat sebagai salah satu makanan sehat bergizi. Hal ini tidak lepas dari komitmen Raja-raja di Nusantara yang menggalakkan sorgum sebagai bahan pangan alternatif. Bagi Kopti, ini ibarat back to basic sekaligus ngalap barokah.

Bahkan, Pepatih Dalem Praja Pakualaman, Haryo Matarum, dengan penuh antusiasme siap menyediakan lahan seluas 200 hektar di Kulonprogo untuk ditanami sorgum sekaligus dijadikan sebagai ikon ketahanan pangan.

Sorgum kemasan dan tepung sorgum. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Bukan itu saja, Mbah Sri Samin selaku sesepuh masyarakat adat Samin Blora Jawa Tengah menegaskan masa kejayaan sorgum sepertinya mulai tampak. Tanda-tandanya, dirinya belum lama ini mendampingi raja-raja atau Datuk-Datuk dari Malaysia muhibah ke Indonesia. Dari pertemuan itu mereka berkomitmen siap memberikan dukungan, termasuk pemasarannya.

Kepada wartawan usai pertemuan, Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Ir Ali Agus menyampaikan saat ini seluruh dunia akan menghadapi tantangan pangan.

Ini terjadi karena efek pemanasan global yang berdampak pada musim kemarau atau musim hujan yang terlalu panjang. “Global warming itu bukan isu lagi tetapi sudah ada di hadapan kita. Kalau musim kemarau panjang, kepanjangan, ketika hujan, kebanyakan, maka akan mempengaruhi sistem pertanian penghasil pangan. Kita harus mampu mengantisipasi,” ungkapnya.

Prof Ali yang juga penulis buku Jihad Menegakkan Kedaulatan Pangan: Suara dari Bulaksumur itu menyatakan inilah saatnya memikirkan masalah pangan.

Sebagian dari belasan item makanan berbahan sorgum. (sholihul hadi/koranbernas.id)

“Kita semua yang di desa dan kota perlu mulai memikirkan ketersediaan bahan pangan, berbudi daya, makan apa yang kita tanam dan kita berusaha menanam apa yang akan kita makan, salah satunya sorgum,” kata dia.

Kenapa sorgum? Menurut pria kelahiran Blora Jawa Tengah itu, sorgum merupakan salah satu plasma nuftah tropik yang tahan terhadap kekeringan. “Tanaman ini membutuhkan air lebih sedikit. Kelebihan dari sorgum adalah bisa diproduksi di musim kemarau,” jelasnya.

Bagi sektor peternakan, lanjut dia, sorgum juga memiliki kelebihan karena bisa dipanen atau ditebang dua kali untuk hijauan pakan ternak. “Pada tebangan kali ketiga tumbuh lagi, baru diambil bijinya,” ungkapnya.

Prof Ali yang baru saja datang usai mendampingi Menteri Pertanian Republik Andi Amran Sulaiman berkunjung ke Kabupaten Sleman mengajak semua elemen bangsa secara bersama-sama memikirkan ketercukupan, kemandirian serta kedaulatan pangan untuk rumah tangga, lingkungan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Apabila gerakan kedulatan pangan tidak bisa dilaksanakan secara masif, menurut dia, masih ada cara lain yaitu gerilya, dalam tanda kutip, melalui gethok tular disertai catatan harus sungguh-sungguh. (*)