Kebahagiaan Rakyat

Oleh: Sudjito Atmoredjo
Kebahagiaan Rakyat
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

APALAH artinya bernegara dan berpemerintahan, bila banyak rakyat menderita? Bukankah rakyat merupakan unsur utama dari negara?!. Luasnya wilayah dan kekayaan alam melimpah, merupakan karunia Ilahi Rabbi. Pemerintahan berdaulat, diperlukan dan dibentuk oleh bangsa, demi terselenggaranya hidup bernegara secara terorganisir, hingga cita-cita dan tujuannya dapat dicapai.

Lihatlah. Nasib rakyat di Rempang, penduduk di Papua, penduduk di sekitar IKN, warga di area Pantai Indah Kapuk (PIK- 2), dan lain-lain. Hingga hari ini, mereka menderita. Masa depannya gelap. Tak tahu, kapan dan mungkinkah, penderitaan itu berganti menjadi kebahagiaan. Semua pihak, hendaknya melihat realitas empiris ini sebagai bagian dari kehidupan berbangsa.

Layak diingat. Bermula dari rakyat yang bersatu sebagai bangsa, kemudian berani menyatakan kemerdekaannya, maka negara Indonesia ini ada. Negara ini bukan karya penguasa. Bukan milik penguasa. Juga bukan hadiah negara lain. Negara ini merupakan buah/hasil perjuangan rakyat yang diridhai oleh Allah Swt.

Pemahaman tentang hakikat bernegara dan berpemerintahan itu wajib dimengerti dan dijadikan standar kehidupan bersama semua pihak. Artinya, rakyat (warga negara) maupun penguasa (penyelenggara negara) wajib menempatkan diri secara tepat. Hak dan kewajiban masing-masing, wajib diberikan dan ditunaikan secara penuh. Konsistensi semua pihak dalam bernegara, menjadi garansi terwujudnya kebahagiaan rakyat maupun penguasa. Seluruhnya.

Tak terbantahkan, bahwa hari-hari ini kebahagiaan rakyat tergadaikan alias menderita. Satu sebab nyata adalah diberlakukannya sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis adalah suatu sistem yang menyerahkan kebebasan kendali ekonomi pada pelaku usaha (domestik maupun asing, perorangan maupun perusahaan). Orientasinya pada keutungan finasial sebanyak-banyaknya. Di antara pelaku usaha iu, berlaku kompetisi bebas (free fight liberalism).

Beberapa ciri-ciri menonjol sistem ekonomi kapitalis, antara lain: (1) Hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan distribusi diakui; (2) Pelaku usaha bebas melakukan kegiatan ekonomi; (3) Harga ditentukan oleh mekanisme pasar; (4) Berlaku persaingan bebas. (5) Intervensi pemerintah dibatasi.

Sebagaimana diketahui, bahwa melalui dan di dalam free fight liberalism, terbuka peluang bagi setiap pelaku usaha untuk memaksimalkan keuntungannya, dengan cara mengeksploitasi sumberdaya alam maupun menihilkan pelaku usaha lainnya. Tak ubahnya perang, maka persaingan bebas pasti akan berakhir dengan kemenangan dan kekalahan. Rasionalitas ini dijadikan dasar pembenaran segala tindakan dalam persaingan bebas itu.

Adalah Ir.Soekarno, Presiden RI ke-1, pernah memberikan kuliah umum perihal sistem ekonomi kapitalis ini, pada Seminar Pancasila, 21 Februari 1959 di UGM. Dinyatakan: “... sekarang saatnya kita menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagaimana tertulis dalam UUD. ...apakah untuk itu kita harus mengalami fase industrieel kapitalisme dulu, agar kita bisa menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur itu? Tidak. Sama sekali tidak”. Mengapa?

Pertama, belajar dari pengalaman negara-negara lain, seperti: Mesir, India, Yugoslavia, yang telah mencoba (dan berhasil baik) dalam mewujudkan sosialismenya, maka kita tak perlu mengalami fase kapitalisme in zijn volle konskwenties. Untuk menyelenggarakan sosialisme ala Indonesia, perlu diselenggarakan demokrasi Pancasila.

Intinya, dalam sistem ekonomi Pancasila (oleh Bung Hatta disebut sistem ekonomi kerakyatan), Presiden (beserta kabinet dan lembaga pemerintahan lainnya), wajib menyelenggarakan sistem ekonomi nasional, sesuai aspirasi rakyat. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai noot penyelenggaraan negara, mesti diadakan dan dijadikan panduan serta pedomannya.

Kedua, demi terwujudnya kebahagiaan rakyat, maka semua komponen bangsa wajib diberikan peluang, dilibatkan, bahkan dijadikan sebagai fokus perhatian. Para pelaku usaha domestik diperankan sebagai kader pembangunan perekonomian bangsa. Potensi, energi, dan kecerdasan bangsa perlu diaktualisasikan dan ditransformasikan dalam bentuk perilaku ekonomi kreatif dan progresif.

Rakyat adalah subjek ekonomi. Rakyat akan bahagia bila mampu meraih kemakmurannya berkat usaha sendiri. Kemakmuran karena bantuan sosial (bansos), makan siang gratis, subsidi,  merupakan kebahagiaan semu. Tak sepantasnya rakyat, dimiskinkan dan dijadikan objek politik saat Pemilu. Pemberdayaan rakyat di bidang ekonomi, menjadi prasyarat kemandirian dan kebahagiaan bangsa.

Ketiga, dihadapkan pada fenomena bonus demografi, layak bagi para pemuda-pemudi, generasi Z, untuk mengembangkan keprigelan, human skill, material investment, mental investment, technical and managerial know-how. Kemajuan ilmu-pengetahuan dan perkembangan teknologi, wajib direspons positif, digunakan secara maksimal, untuk mengubah pola hubungan usaha, baik dalam skala perekonomian lokal, nasional, regional, maupun global.

Dulu, dalam bidang ekonomi, Bung Karno memiliki semboyan: “tiap-tiap keluarga satu produksi – a part. Artinya, keberdaaan dan peran keluarga bukan sekadar tempat hidup bersama anggota-anggotanya, melainkan menjadi tempat memproduksi suatu barang dan/atau jasa tertentu. Karakter keluarga bukanlah sebagai konsumen, melainkan sebagai produsen.

Sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, merupakan amanah para pejuang yang telah berjasa mendirikan negeri ini. Keadilan sosial dimaksud akan bermakna bila rakyat merasa bahagia dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,  Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tak boleh ada tafsir lain atas Pasal ini. Negara hanya penguasa. Oleh bangsa Indonesia, kepada Negara, diberikan Hak Menguasai Negara. Hak ini bukan hak milik, atau hak-hak lainnya. Kecenderungan Pemerintah membelokan arti Hak Menguasai menjadi hak milik pemerintah, nyata-nyata telah menjadikan rakyat menderita atau terdzalimi. Oleh karenanya, wajib diluruskan/dikoreksi.

Hemat saya, Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto, yang selama ini sering mempersonifikasikan sebagai Bung Karno pada era reformasi, perlu konsisten dalam meneladani kepemimpinan Presiden ke-1 itu. Rintangan dan tantangannya, memang luar biasa. Pantaskah penyelenggara negara sekaligus pelaku usaha? Dalam upaya mewujudkaan kebahagiaan rakyat, sistem ekonomi dan sistem demokrasi berbasis nilai-nilai Pancasila wajib diselenggarakan dengan konsisten. Wallahu’alam. **

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM.