Indonesia Menekan Kasus TBC dengan Inovasi Teknologi

Teknologi CAD (Computer-Assisted Detection) membawa perubahan besar dalam proses deteksi TBC.

Indonesia Menekan Kasus TBC dengan Inovasi Teknologi
Konferensi pers Annual Scientific Meeting 2025 di RSA UGM. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Tuberkulosis (TBC) masih menjadi salah satu tantangan kesehatan terbesar di Indonesia. Dengan jumlah kasus terbanyak kedua di dunia setelah India, pemerintah terus berupaya menekan angka penyebaran dan kematian akibat penyakit ini melalui pemanfaatan teknologi, kebijakan berbasis enam pilar transformasi kesehatan, serta intervensi berbasis komunitas seperti pemanfaatan dana desa.

Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof dr Yodi Mahendradhata M Sc Ph D, menjelaskan teknologi CAD (Computer-Assisted Detection) membawa perubahan besar dalam proses deteksi TBC.

"Dulu, kita sangat bergantung pada pemeriksaan manual yang memakan waktu lama. Dengan AI, kita bisa mendapatkan hasil dalam hitungan menit dengan akurasi tinggi, bahkan di daerah dengan keterbatasan tenaga radiolog," ujarnya saat konferensi pers, Sabtu (15/2/2025), di RSA UGM Yogyakarta.

Dalam rangka memperkuat strategi nasional, Annual Scientific Meeting (ASM) 2025 bertema Penanggulangan Tuberkulosis dalam Perspektif 6 Pilar Transformasi Bidang Kesehatan menjadi forum akademik dan profesional untuk membahas tantangan serta solusi eliminasi TBC di Indonesia.

Kondisi laten

Disebutkan, TBC yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui droplet dari penderita ke orang sehat. Sepertiga hingga seperempat penduduk dunia telah terinfeksi bakteri ini, dengan sebagian besar dalam kondisi laten.

Namun, sekitar 15-20 persen berkembang menjadi penyakit aktif yang berisiko menular. Di Indonesia, tingginya angka infeksi membutuhkan keterlibatan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, tenaga medis, hingga masyarakat.

Salah satu tantangan utama dalam penanggulangan TBC adalah diagnosis yang tidak selalu mudah. Gejala seperti batuk kronis, demam subfebris, penurunan berat badan, dan keringat malam sering kali mirip dengan penyakit lain, sehingga pemeriksaan laboratorium menjadi faktor penting dalam diagnosis.
Pemeriksaan sputum BTA, kultur bakteri, serta tes cepat molekuler (GenXpert) telah menjadi metode standar dalam mendeteksi TBC dan resistensi terhadap Rifampicin.

Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi baru mulai diterapkan untuk meningkatkan efektivitas deteksi TBC. Salah satunya adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam analisis radiologi melalui sistem CAD yang memungkinkan hasil rontgen dada dibaca secara otomatis dengan akurasi tinggi. Inovasi ini telah diuji coba dalam Proyek Zero-TB di Yogyakarta dan diharapkan dapat diperluas ke daerah lain.

Inovasi lain

Selain CAD, menurut Prof Yodi Mahendradhata, inovasi lain yang tengah dikembangkan adalah teknologi e-Nose, yang berbasis pendeteksian substansi volatile dalam napas pasien. Teknologi ini merupakan pengembangan dari alat Ge-Nose yang sebelumnya digunakan untuk mendeteksi Covid-19.

"Jika uji klinis e-Nose berhasil, ini akan menjadi revolusi besar dalam skrining TBC. Kita bisa mendeteksi penyakit ini dengan cara yang lebih cepat, murah, dan non-invasif," tambahnya.

Dia menyatakan penanggulangan TBC tidak hanya bergantung pada inovasi teknologi, tetapi juga memerlukan pendekatan kebijakan yang komprehensif. Kementerian Kesehatan telah mengadopsi enam pilar transformasi kesehatan, yang meliputi transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan dan teknologi kesehatan.

Sedangkan dr Tiffany Tiara Pakasi MA selaku Tim Kerja Tuberkulosis Kementerian Kesehatan RI menegaskan strategi nasional tidak hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga pada deteksi dini dan pencegahan berbasis komunitas.

Deteksi dini

"Kami menargetkan eliminasi TBC dengan melibatkan seluruh sektor, termasuk pemerintah daerah, tenaga kesehatan, akademisi, dan masyarakat. Deteksi dini adalah kunci, dan teknologi menjadi alat utama dalam mempercepat pencapaian target ini," jelasnya.

Selain inovasi teknologi dan kebijakan transformasi, pemanfaatan dana desa terbukti menjadi strategi yang efektif dalam menanggulangi TBC.

Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan, menjadi salah satu contoh keberhasilan program ini setelah kepala desanya aktif menggunakan dana desa untuk menemukan pasien, mengawal terapi hingga sembuh, dan memastikan wilayahnya bebas dari TBC.

Menurut dr Tiffany Tiara Pakasi, ASM 2025 menjadi momen penting untuk mengevaluasi kebijakan dan berbagi pengalaman dalam penanganan TBC di Indonesia.

Pertukaran ilmu

"Kami ingin menjadikan forum ini sebagai wadah pertukaran ilmu dan pengalaman. Semua pihak harus bersinergi untuk mengatasi tantangan ini, baik dari aspek kebijakan, teknologi, hingga implementasi di lapangan," katanya.

Keberhasilan ini diungkapkan dalam Dies Natalis ke-79 Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM oleh Dr dr Tri Ratnaningsih M Kes Sp PK(K). Menurutnya, TBC masih menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia karena sifatnya yang menular dan pengobatannya yang panjang.

"Terapi TBC itu berat, terutama bagi perempuan. Ketika pasien sudah dalam tahap harapan sembuh, jumlahnya bisa sangat banyak. Inilah yang harus kita bantu dengan intervensi yang efektif," ujar Tri Ratnaningsih.

Saat ini, strategi contact tracing yang sebelumnya digunakan dalam pandemi Covid-19 mulai diterapkan dalam deteksi penyebaran TBC. Dengan metode ini, sebanyak mungkin orang yang terpapar dapat segera masuk ke dalam terapi sehingga penyebaran penyakit dapat ditekan lebih efektif.

Peran kepala desa

Tri mencontohkan, keberhasilan Muara Enim menjadi desa bebas TBC menjadi bukti bahwa peran kepala desa dan dukungan dana desa sangat penting dalam pencegahan dan penanganan penyakit ini. Model ini diharapkan dapat direplikasi di daerah lain guna mempercepat eliminasi TBC di Indonesia.

"Penyakit ini sudah lama ada, tetapi kita harus terus menyadarkan masyarakat tentang bahayanya. Jika tidak ditangani dengan baik, TBC bisa menyebabkan kematian," tegasnya.

Melalui koordinasi dengan pemerintah daerah dan dinas kesehatan, strategi berbasis komunitas seperti di Muara Enim dapat menjadi solusi nyata untuk menekan angka kasus TBC di Indonesia.

Sebagai bagian dari upaya edukasi dan kolaborasi, ASM 2025 digelar di Auditorium Rumah Sakit Akademik Yogyakarta pada 15 Februari 2025. Acara ini melibatkan berbagai institusi, seperti FK-KMK UGM, RSUP Dr Sardjito, RSA UGM dan RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro. Seminar diikuti mahasiswa, dosen, peneliti, tenaga kesehatan, serta pejabat dinas kesehatan yang terlibat dalam program penanggulangan TBC.

Kebijakan strategis

Pendaftaran peserta ASM 2025 dilakukan secara daring dengan menyertakan bukti pembayaran. Diharapkan, melalui forum ini, solusi inovatif dan kebijakan strategis dapat terus dikembangkan untuk mempercepat eliminasi TBC di Indonesia.

Dengan kombinasi kebijakan yang tepat, teknologi yang inovatif, dan keterlibatan masyarakat, Indonesia optimis dapat mengurangi angka kasus TBC secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan. (*)