Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY Lamban

Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY Lamban

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Wakil rakyat akhirnya buka suara melihat kinerja tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 DIY yang lamban. Bahkan mereka geram karena belum terlihat langkah-langkah yang riil.

“Jangankan menyelesaikan masalah di internal, menangkap program dari Jakarta saja belum siap. Contoh, Kartu Prakerja. Masyarakat mengeluh sulit masuk aplikasi itu,” ungkap RB Dwi Wahyu  B, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DIY, Kamis (16/4/2020).

Kepada wartawan di ruang fraksi, dia merasa kecewa kenapa hal itu bisa terjadi. Pertama, barangkali kurang sosialisasi. Kedua, belum semua daerah di DIY terdapat jaringan internet.

“Padahal Dinas Kominfo DIY punya anggaran gede sekali. Jika kurang, bisa kerja sama dengan Telkom dan sebagianya, tetapi tidak dilakukan,” kata dia.

Diskominfo DIY sebenarnya punya peran luar biasa membantu masyarakat menangkap program-program pemerintah maupun program perekonomian berbasis aplikasi.

Faktanya masyarakat tidak diberi ruang. “Contohnya, masyarakat disuruh berdiam di rumah, mau beli pasti pakai aplikasi. Karena kondisi ekonomi, tidak semua orang punya duit untuk membeli paket data internet,” kata dia.

Pemda seharusnya memfasilitasi sistem pembayaran online lewat Bank BPD DIY tetapi hal itu belum dilakukan. “Bank BPD DIY juga belum ngapa-ngapain, payment-nya kayak apa?  Kemarin saya usul ojek online mbok ongkirnya ditanggung Pemda. Peran Bank BPD DIY sangat dibutuhkan,” paparnya.

Sebagai perbandingan, Jakarta menggunakan BNI, Link Aja dan OVO. Sedangkan tidak semua warga DIY terutama yang tinggal di daerah pelosok mengetahui aplikasi-aplikasi pembayaran macam itu.

“Masyarakat tahunya BPD. Catat ini, Bank BPD DIY belum ngapa-ngapain, selalu di zona aman terima kredit pegawai, beres nggak mungkin macet,” kata Dwi.

Dia menilai Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 DIY masih jalan di tempat. Selain itu, antara program penanggulangan dan recovery juga tidak nyambung.

“Belum ngapa-apain, hanya penyemprotan. Itu saja yang melakukan penyemprotan masyarakat, bukan pemerintah daerah. Pemda memberi obat disinfektan saja masyarakat suruh antre. Padahal alat beli sendiri,” tambahnya.

Begitulah uniknya masyarakat Yogyakarta, semangat gotong royongnya luar biasa namun tidak direspons Pemda DIY merepons dengan pemberian fasilitas. “Padahal sudah teriak harus social distance.  Ini ironis sekali dan harus dibenahi,” tambahnya.

Sudah 30 hari masa tanggap darurat, lanjut dia, gugus tugas masih lebih banyak berdiskusi daripada melakukan ekesekusi. Untungnya masyarakat DIY tidak protes.

Wong Yogya ki apik tenan,” ujarnya. Hanya saja dia melihat masyarakat saat ini cenderung tidak taat pada pemerintah karena pemda tidak melakukan apa-apa.

Daerah pelosok

Tidak kalah gelisahnya, Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DIY, Yuni Satia Rahayu, menyatakan dirinya tidak bisa membayangkan kondisi masyarakat di pelosok Gunungkidul yang tidak ada jaringan internet.

Padahal kartu pra-kerja harus diakses mandiri secara online. Lain ceritanya jika warga punya koneksi anggota dewan maka bisa dibantu sosialisasi.

 “Kalau nggak ada koneksi gimana? Bayangkan kalau misalnya konstituen kami kebanyakan satpam dan pedagang kecil,” ujarnya.

Demikian pula kalangan pelaku UMKM. Yuni mempertanyakan efektivitas aplikasi sibaku. Keluhan yang dia terima, warga terdampak Covid-19 masih disuruh mendaftar sebagai UMKM.

Rumitnya akses kartu pra-kerja dan sibaku mestinya direspons Diskominfo DIY melalui sosialisasi yang gencar namun hal itu tidak berjalan. “Padahal Diskominfo DIY ada anggaran Rp 300 juta, sampai di mana penggunaannya?” ucap dia.

Dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, DPRD DIY mengusulkan agar Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi berinisiatif mengambil alih mereka yang tidak bisa masuk aplikasi. Pemda diuntungkan karena punya data pekerja formal dan informal yang berguna untuk penyusunan program ke depan.

Hal lain yang juga memancing kekecewaan, di satu sisi Diskominfo DIY kekurangan anggaran di sisi lain anggaran Sekretariat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 DIY mencapai Rp 2 miliar.

“Apa Rp 500 juta nggak cukup? Daripada digunakan berlebihan tidak efisien lebih baik geser anggaran itu ke Dinas Kominfo sambil memastikan agar menggandeng Telkomsel, Indosat atau XL. Orang-orang yang diuntungkan di saat masyarakat menjadi lebih miskin saat ini harus membantu memperlancar masyarakat mengakses program-program pemerintah. Kalau ini tidak dilakukan menurut saya ya begini-begini saja,” kata Yuni.

Sependapat, Yuni menilai Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 DIY masih jalan di tempat. Contoh paling kongkret Jatah hidup bagi warga terdampak wabah Corona sampai saat ini belum didistribusikan hingga masa tanggap darurat selesai 29 Mei 2020.

Selain itu, dia juga melihat Bidang Ekonomi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 DIY belum punya konsep besar untuk mendorong perekomian masyarakat DIY.

“Masyarakat DIY itu luar biasa, Nggak diapa-apain saja bangkit sendiri, senang gotong royong bikin nasi bungkus, ini apa? Gotong royong ini dilakukan oleh masyarakat bukan pemerintah lho ya. Selalu begitu masyarakat kita, artinya mungkin pemerintah nganggap rakyate isa urip dhewe. Jangan-jangan anggapannya seperti itu,” ujarnya heran.

Lebih heran lain, Yuni menyatakan program restrukturisasi kredit dan pembiayaan pada praktiknya ternyata tetap saja lebih menguntungkan perbankan.

Nggak masuk akal itu. Tetap bayar bunga pinjaman bahkan malah bertambah panjang utangnya. Di lapangan seperti itu. UMKM nangis semua kok nggak diberi keringananan. Sudah ada surat dari OJK tetapi implementasinya perbankan kok tetap nggak mau meringankan penderitaan masyarakat,” ungkapnya. (sol)