Ekonomi Terjun Bebas, PKL Berharap PTKM Tak Diperpanjang

Ekonomi Terjun Bebas, PKL Berharap PTKM Tak Diperpanjang

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Para pedagang di kawasan Malioboro, menaruh harapan besar pelaksanaan Pengetatan secara Terbatas Kegiatan Masyarakat (PTKM) pada 11-25 Januari 2021 membuahkan hasil. Dengan demikian, ketika kebijakan PTKM nanti berakhir, DIY sudah lebih kondusif dan masyarakat bisa melakukan aktivitas rutin keseharian dengan leluasa dan atau bahkan normal.

Sejumlah pedagang mengakui, semenjak p PTKM yang mulai diterapkan Senin lalu, telah menimbulkan dampak yang serius dan menyesakkan bagi pelaku ekonomi rakyat di kawasan Malioboro.

“Pelaku ekonomi rakyat yang terdampak bukan hanya lesehan, pasar sore, dan pasar senthir yang terpaksa tidak dapat beraktivitas. Tetapi juga menyasar ke pengemudi becak, andong dan pedagang asongan serta PKL lainnya. Mereka harus menerima kenyataan, pendapatan terjun bebas,” kata perwakilan salah satu pedagang Desi, usai rapat Paguyuban Komunitas Kawasan Malioboro, Kamis (14/1/2021). Rapat dihadiri oleh perwakilan sektor informal maupun formal di kawasan Malioboro.

Saat ini, kata Desi, omset pedagang kaki lima yang berjualan siang hari di Malioboro anjlok. Mereka yang masih berjualan, tidak mampu berkelit dari sepinya wisatawan lantaran pelaksanaan PTKM. Kondisi PKL yang beraktivitas  malam hari lebih parah lagi. Sebab mereka nyaris tidak punya waktu cukup untuk berjualan. Tepat pukul 19.00 WIB, semua aktivitas harus berhenti dan warung harus tutup.

“Itu artinya, kami berjualan tidak lebih dari satu jam. Kalau ikut suara hati, saya jelas memilih untuk libur berjualan. Tapi itu sulit saya lakukan, lantaran ada sejumlah mahasiswa dari Indonesia Timur yang bekerja di warung saya. Mereka tidak ingin saya tutup. Mereka menginginkan saya tetap berjualan, meski setiap pukul 19.00 WIB, langsung dioprak-oprak petugas,” kata Sutirah, pemilik Warung Lesehan Citra Rasa di depan Kantor DPRD DIY.

Waktu berjualan yang demikian singkat, kata Sutirah, jelas tidak menguntungkan baginya. Ia hanya mampu melayani beberapa pembeli sebelum harus tutup warung.

“Malah sebenarnya rugi. Hanya capek. Tapi ya itu tadi, kasihan adik-adik mahasiswa yang tetap butuh bekerja dan makan. Tapi mungkin mulai Senin depan, saya juga akan tutup. Sebab rugi terus dan selalu diawasi seperti orang yang bersalah,” ungkapnya.

Hal ini dibenarkan Rehan, salah satu mahasiswa asal Indonesia Timur yang sudah tiga tahun bekerja di warung Sutirah. Mahasiswa di Universitas PGRI Yogyakarta (UPY) semester akhir ini mengaku menggantungkan hidup dengan bekerja di warung tersebut. Upah yang ia terima dari Sutirah, sangat berarti untuk membiayai hidup sehari-hari. Baik untuk kebutuhan membayar biaya kost, membayar biaya kuliah dan juga untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kami paham dan mengerti, PTKM ini memang untuk kepentingan lebih luas, melindungi masyarakat dari ancaman terpapar Covid-19. Tapi kalau mau jujur, kebijakan ini memang berdampak serius bagi aktivitas ekonomi masyarakat, termasuk para pedagang di Malioboro. Ibu Sutirah adalah satu-satunya pedagang lesehan yang tetap masih buka meski PTKM. Yang lain sudah tutup semua,” katanya.

Presidium Paguyuban Kawasan Malioboro Sujarwo Putro menambahkan, kondisi sekarang sangat berat dirasakan para PKL. Untuk itu, mereka bersepakat untuk mengusulkan dan meminta Pemerintah Kota Yogyakarta serta Pemda DIY tidak memperpanjang pelaksanaan PTKM.(*)