DIY Jadi Model Implementasi SPAB, Bayangkan Jika Bencana Terjadi Saat Jam Sekolah
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Sejak terbitnya Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus berupaya menggerakkan sekolah-sekolah di provinsi ini menyadari adanya potensi bencana alam yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Sekolah dituntut memiliki kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. Ini sekaligus menjadi tuntutan dalam rangka memberikan pelindungan dan keselamatan kepada peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan dari risiko bencana.
“Kami harus banyak mendorong satuan pendidikan melakukan inisiatif dalam rangka penguatan SPAB. Apapun yang terjadi begitu ada bencana dan dalam situasi bencana, sekolah yang berada di daerah rawan bencana akan terdampak,” ungkap Suryanto, Sub-Koordinator Kurikulum dan Peserta Didik Bidang Pendidikan Khusus Disdikpora DIY, kepada wartawan di sela-sela Diseminasi Hasil Analisis E-Monev (Monitoring dan Evaluasi) SPAB, Selasa (9/5/2023), di KJ Hotel Jalan Parangtritis Mantrijeron Yogyakarta.
Dinas yang saat ini dipimpin oleh Didik Wardaya itu bekerja sama dengan Yayasan Plan Internasional Indonesia mengadakan workshop pengisian E-Monev SPAB untuk pengawas dan relawan. Hasilnya, terbentuk tim relawan terdiri dari 35 orang yang telah mendampingi 436 satuan pendidikan di DIY untuk mengisi e-Monev SPAB sepanjang periode 15 Februari sampai 16 Maret 2023.
Dari kerja sama itu pula, DIY dijadikan model implementasi E-Monev SPAB. Adapun hasil dari pendampingan tersebut sebanyak 434 satuan pendidikan telah mengisi E-Monev SPAB melalui aplikasi InaRisk. Tim BNPB juga telah melakukan kajian dan analisis terhadap hasil pengisian E-Monev satuan pendidikan di DIY.
Menurut Suryanto, dampak langsung jika terjadi bencana, pasti pembelajaran tidak berjalan lancar. Seandainya sekolah itu berada bukan di daerah rawan bencana, juga terkena dampak, dijadikan tempat pengungsian dan sebagainya. “Tentu, satuan pendidikan harus mempersiapkan diri dalam situasi tersebut agar pembelajaran tetap lancar,” kata dia.
Saat ini Disdikpora DIY membentuk Sekretariat Bersama SPAB Daerah, selanjutnya dilaksanakan koordinasi dengan Dinas Pendidikan kabupaten/kota maupun BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) kabupaten/Kota.
Dia pun meminta satuan pendidikan segera melakukan pengisian E-Monev SPAB. “Karena dengan lengkapnya data maka pengambilan kebijakan akan menjadi lebih baik dan sesuai keadaan di lapangan,” jelasnya.
Suryanto dari Disdikpora DIY. (sholihul hadi/koranbernas.id)
Suryanto mengakui, E-Monev SPAB sebenarnya tidak sulit mengingat semua sekolah di DIY memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) yang cukup mumpuni. Mereka tidak asing lagi dengan aplikasi. “Hanya memang diperlukan sosialisasi dan pendampingan. Apabila kita mampu sosialisasi dengan baik pasti E-Monev SPAB ini bisa segera lengkap,” tandasnya.
Mohd Robi Amri dari Direktorat Sistem Monev SPAB selaku pemateri pada diseminasi kali ini menjelaskan, SPAB yang mulai digulirkan dan dibangun pada 2010 oleh BNPB bersama Kemendikbud, Kemenag serta para mitra, memiliki sasaran 500 ribu lebih satuan pendidikan di seluruh Indonesia.
Sebagai model implementasi E-Monev SPAB pada 2022/2023, menurut dia, capaian DIY cukup optimal yaitu 54,9 persen. Keberhasilan dari DIY ini diharapkan mampu mencapai target secara nasional meliputi 34 provinsi di Indonesia. “Masukan dan target dari Yogyakarta ini diharapkan menjadi bahan diskusi nasional,” ungkapnya.
Sebagai gambaran, merujuk data Data Pokok Pendidikan (Dapodik) per 16 Maret 2023, terdapat 8.268 satuan pendidikan di DIY. Yogyakarta sebagai daerah rawan bencana membawa konsekuensi 7.519 satuan pendidikan berada pada wilayah rawan bencana gempa. Dari jumlah itu baru 871 yang sudah melakukan E-Monev SPAB.
Sedangkan 30 satuan pendidikan lainnya berada pada wilayah rawan tsunami. Kemudian, 125 satuan pendidikan rawan bahaya gunung api. Ditambah lagi 93 SPAB di wilayah potensi banjir bandang (baru 11 yang mengisi e-Monev SPAB). Sedangkan 883 sekolah di daerah rawan longsor, baru 50 yang melaporkan pengisian E-Monev SPAB.
Project Coordinator Yayasan Plan International Indonesia, Enos Ndapareda. (sholihul hadi/koranbernas.id)
Jam sekolah
Pada forum yang sama, Enos Ndapareda selaku Project Coordinator Yayasan Plan International Indonesia kepada wartawan menyampaikan Yogyakarta merupakan salah satu daerah rawan bencana di Indonesia. Sekolah perlu diperkuat atau ditingkatkan kapasitasnya menghadapi bencana apapun, mulai dari erupsi gunung api, longsor, gempa, tsunami, banjir dan lain-lain.
Memang, dari catatan sejarah tidak disebutkan kejadian bencana saat jam sekolah. “Tetapi bayangkan kalau misalnya bencana terjadi saat jam sekolah, maka harus siap. Bagaimana mengevakuasi anak-anak, bagaimana mereka meng-handle pembelajaran saat situasi darurat, bagaimana anak-anak selamat pada asat bencana,” ujarnya.
Enos menambahkan, salah satu jalan meningkatkan kesiapsiagaan sekolah adalah melalui program SPAB. Itu sebabnya Yayasan Plan International Indonesia sebagai lembaga yang mendukung pemenuhan hak anak dan keseteraan terhadap anak perempuan, sangat mendukung implementasi SPAB di DIY. “Itulah kenapa program ini ada,” ucapnya.
Sebetulnya, lanjut dia, semua daerah perlu kesiapsiagaan menghadapi bencana karena masing-masing daerah memiliki karakteristik ancaman sendiri. Misalnya, Sleman ada gunung api. Bantul rawan gempa. Berdasarkan E-Monev SPAB, sekolah di daerah rawan letusan gunung api lebih dulu diprioritaskan.
“Tetapi sebetulnya semua sekolah butuh implementasi SPAB. Ke depan perlu sinergi dan kolaborasi untuk percepatan implementasi SPAB ini, karena kita hidup di daerah rawan bencana,” tegasnya.
Ditanya soal kendala di lapangan, menurut dia, rata-rata masalah klasik terkait dengan teknis misalnya login susah maupun kondisi akses internet kadang-kadang kurang mendukung.
Kendala lainnya adalah pertanyaan-pertanyaan E-Monev SPAB belum disosialisasikan ke semua sekolah. Mau tak mau, semua elemen perlu dilibatkan, ibarat satu tangan yang mampu menjangkau semua satuan pendidikan.
“Sebetulnya implementasi SPAB ini kebutuhan yang menjadi wajib. Kita butuh sehingga kita perlu mewajibkan karena kita tinggal di daerah yang sangat rawan bencana,” kata dia.
Kuncinya, kata Enos, ada pada kepala satuan pendidikan untuk menggugah kesadaran serta kemauan mendukung implementasi program tersebut. (*)