Demokratisasi dan Privelege Politik

Oleh: Ilham Yuli Isdiyanto

Indonesia mungkin sulit lepas dari gimmick demokrasi. Bagaimana tidak, alih-alih demokrasi menjadi alat penyadaran politik masyarakat (demokrasi substansial), yang muncul adalah demokrasi menjadi alat perebutan kekuasaan semata. Sisi gelap demokrasi adalah “transaksi” atau banyaknya money politic yang muncul kala pesta rakyat dimulai. Hal ini sudah serupa kredo politik di Indonesia, bahwa proses politik bukan ditentukan oleh kualitas melainkan elektabilitas dan “isi tas”. Perpaduan keduanya tentu tidak akan tertandingi!

Demokratisasi dan Privelege Politik
Ilham Yuli Isdiyanto. (Istimewa).

KITA memasuki zaman demokrasi namun sedikit ruang demokratisasi. Secara pasti ruang-ruang demokrasi terebut oleh privilege politik dan kembali masuk ke dalam circle oligarki.

Siapa pun sah-sah saja memasuki arena politik, namun politik yang adil seharusnya didasarkan pada proses politik yang berjenjang untuk mencapai tahap kematangan kapasitas politik. Politik diharapkan melahirkan sosok primus inter pares yakni terbaik dari yang terbaik, bukan sosok yang muncul karena “siapa orang di belakangnya”.

Gimmick Demokrasi

Indonesia mungkin sulit lepas dari gimmick demokrasi. Bagaimana tidak, alih-alih demokrasi menjadi alat penyadaran politik masyarakat (demokrasi substansial), yang muncul adalah demokrasi menjadi alat perebutan kekuasaan semata.

Sisi gelap demokrasi adalah “transaksi” atau banyaknya money politic yang muncul kala pesta rakyat dimulai. Hal ini sudah serupa kredo politik di Indonesia, bahwa proses politik bukan ditentukan oleh kualitas melainkan elektabilitas dan “isi tas”. Perpaduan keduanya tentu tidak akan tertandingi!

Jean Baechler dengan apik menyebutnya sebagai “pasar politik” yang sialnya dalam demokrasi kemudian muncul berbagai macam bentuk transaksi, bukan menukar gagasan dengan suara melainkan tukar menukar kepentingan uang dan kepentingan politik yang akhirnya melahirkan korupsi politik.

Idealitas demokrasi dapat diihat melalui 4 (empat) prinsipnya yang harus terpenuhi, yakni: a) legitimasi sosial; b) legitimasi yuridis; c) substansi materil; dan d) legal formal. Kesadaran masyarakat atas demokrasi mendorong pada legitimasi sosial dan substansi materil, artinya pemahaman atas urgensi demokrasi dan pelaksanaan yang akuntabel mengambil peran penting di sini. Kemudian aspek substansial materil ini dicoba untuk diformalkan melalui hukum hingga muncullah legitimasi yuridis dan prosedur demokrasi yang legal formal. Jika poin-poin ini mampu terdeliberasi dengan baik, maka kekuasaan yang didapat baru benar-benar kekuasaan yang berbasis pada demokratisasi.

Namun, realitas demokrasi sebagaimana dikatakan oleh Karl Popper (2012), penuh dengan paradoks. Paradoksalitas demokrasi pun muncul pada sistem masyarakat terbuka yang memiliki kebebasan memilih namun terjebak pada pilihan yang salah. Pada realitas politik di Indonesia, paradoks yang paling kuat adalah kampanye kebebasan memilih namun kenyataannya adalah “keterbatasan” memilih. Bakal calon untuk legislator maupun eksekutif ditentukan oleh partai politik, bukan oleh masyarakat. Bayangkan anda masuk ke sebuah toko, dan anda tidak tertarik untuk membeli sesuatu karena kualitas yang buruk, namun di sisi lain tanggung jawab anda adalah untuk membelinya. Itulah paradoks demokrasi, sehingga demokrasi terkesan hanya gimmick politik.

Quo Vadis Demokratisasi?

Jika ada pertanyaan, apakah ada pembeda antara tokoh politik dengan kader politik? Tidak akan ada jawaban memuaskan dalam hal ini. Tokoh politik sering muncul pasca jabatan publik atau karena elektabilitasnya yang terus menanjak karena berbagai hal.

Di sisi lain, kaderisasi dalam partai politik kadang tumpul karena jabatan politik lebih dilihat secara pragmatisme kekuasaan, bukan idealitas politik. Partai politik yang seharusnya menjadi “Kawah Candradimuka” malah terkonversi menjadi “kendaraan politik” yang kemudian menjual tiketnya kepada “penumpang” jika ingin menuju “panggung politik”.

Problemnya adalah, demokratisasi di dalam tubuh partai politik terabaikan oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan. Bahkan baru-baru ini, fenomena Kaesang Pangarep yang notabene putra dari Presiden Joko Widodo yang tiba-tiba masuk partai politik tidak hanya menjadi penumpang namun langsung menjadi “sopirnya”, menambah daftar panjang problem demokratisasi di partai politik.

Pertanyaan besarnya, apakah partai politik yang notabene adalah pencipta “ksatria-ksatria politik” melalui proses kaderisasi tidak memiliki standar kaderisasi yang ketat, sehingga sedikit menghasilkan kader politik yang berkualitas, berkapasitas dan berintegritas untuk kemajuan bangsa dan negara? Bukan berarti kader “dadakan” juga buruk, hanya bukankah salah satu fungi partai politik adalah kaderisasi?

Jika partai politik tidak menjalankan fungsi kaderisasi, kemudian menjadi pertanyaan, apa urgensinya dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Politik seharusnya menjad proses perjuangan, bukan hanya sebatas privilege seperti “anak presiden” yang tiba-tiba menjadi pimpinan partai politik.

Setiap pejabat yang ada di Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memberikan contoh dan keteladanan bagaimana demokrasi dapat berjalan secara fair dan adil. Sebuah privilege mau bagaimanapun akan menimbulkan rasa ketidakadilan karena bukan berangkat proses perjuangan.

Demokrasi telah terdisrupsi sejak awal, dimana demokratisasi yang tidak berjalan dalam tubuh partai politik mandeg. Padahal, partai politik adalah loko demokrasi itu sendiri, jika proses demokrasi dalam tubuh partai politik tidak berjalan, bagaimana harapannya sebagai loko demokrasi negara akan mampu terwujud.

Masa Depan Demokrasi

Masa depan demokrasi sangat ditentukan dari realitas berdemokrasi hari ini. Bias demokrasi menjadi oligarkis semakin terasa. Elit politik mengambil peran lebih powerfull daripada rakyat yang secara konstitusi sebagai pemegang kedaulatan.

Media sosial juga mengambil peranan penting dalam diskursus ini, seharusnya perannya lebih pada dorongan peningkatan kesadaran berdemokrasi namun sering terdorong pada peningkatan elektabilitas tokoh tertentu. Sebagai bagian kebebasan demokrasi, hal ini tidak ada masalah.

Tetapi, selanjutnya ada 3 (tiga) hal yang perlu diwaspadai mendegradasi demokrasi sehingga terkesan menjadi oligarkis, yakni : a) budaya transaksi politik; b) money politic; dan c) politik identitas. Ketiga hal ini menjadi “alat” dalam mendapatkan kekuasaan, sehingga demokrasi terbiaskan oleh transaksi. Dalam proses transaksi politik, adu kekuatan (modal) menjadi senjata dan nirintegritas.

Satu hal lagi yang perlu diiwaspadai adalah potensi manipulasi krisisi pada masa depan. Steven L dan Daniel Z sudah mengingatkan akan munculnya demagog-demagog politik yang akan mengambil kesempatan pada era krisis untuk mendorong dedemokrasi dan melegitimasi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan atas nama stabilitas. Waspada. Salam Demokrasi. ***

Ilham Yuli Isdiyanto, SH, MH

Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Ahmad Dahlan (PKSPH FH UAD).