Demi Eksistensi Sanggar, Didik Rela Jual Kambing Kala Pementasan

Demi Eksistensi Sanggar, Didik Rela Jual Kambing Kala Pementasan


WAJAH bangga terpancar pada raut wajah Didik Krismiyanto (50 tahun) pemilik sanggar seni Candrika Adikara Kadibeso di Kalurahan Sabdodadi,Bantul saat pentas mandiri bertema ‘Gumebyar’ di sanggarnya tersebut, Sabtu (17/7/2022) malam. Pun begitu juga istrinya Tatik yang juga berseri-seri melihat anak didik mereka membawakan tarian klasik seperti “Nawung Sekar” ataupun tari kreasi karya mereka sendiri berupa tari “Gumebyar” sesuai dengan tema yang diusung.

Bukan hanya murid sanggarnya yang berjumlah 35 orang dari usia PAUD hingga 18 tahun saja yang ditampilkan, namun Didik juga memberi ruang untuk siswa binaanya di SLB Bina Siwi Pajangan unjuk kebolehan memainkan karawitan. Mengagumkan, mereka membawakan beberapa tambang lewat permainan karawitan dengan irama yang indah, selaras dengan tiga tembang termasuk ‘Sluku-Sluku Batok’ kendati ada yang menggunakan kaki untuk menabuh
saron.

Ada yang penyandang tuna netra yang memainkan kendang. Juga para penyandang tuna grahita yakni mereka yang memiliki kemampuan kognitif atau inteletualnya di bawah orang pada umumnya menjadi tim yang saling melengkapi baik sebagai penembang ataupun pemain gong.

Tepuk tangan meriah dari warga yang menyaksikan berkali-kali terdengar sepanjang pementasan. Juga dari Kepala Dinas Kebudayaan Bantul, Nugroho Eko Setyanto yang juga hadir di lokasi.

Terpaksa jual kambing

Namun siapa sangka dibalik wajah sumringan dan tepuk tangan pementasan, ada cerita ironi dari Didik sang pengelola sanggar. Pria paruh baya ini mengaku belum pernah ‘dikaruhke’ ataupun dibantu pihak yang berkompeten. Maka mereka benar-benar mandiri untuk bisa
menghidupi sanggar yang berdiri 14 Mei 2014 tersebut.

“14 Mei adalah tanggal lahir saya, jadi saya gunakan untuk mendirikan sanggar. Semua mandiri, termasuk untuk pementasan pada malam hari ini,” kata Didik didampingi salah orang tua siswa, Budi Setiawan kepada koranbernas.id di lokasi.

Bahkan Didik harus menjual sepasang kambing simpanan miliknya demi suksesnya kegiatan. Kambing jantan dijual dengan harga Rp 3,8 juta dan kambing betina laku Rp 1,25 juta. Kambing itu dijual saat mendekati momentum Idul Adha beberapa waktu lalu.

Uang yang terkumpul dari penjualan kambing digunakan untuk menyewa tenda, pangung, sound system dan juga konsumsi kegiatan.

“Saya rela seperti ini demi rasa cinta saya kepada seni dan budaya tradisional agar tetap lestari. Serta menumbuhkan cinta di masyarakat, mengingat pecinta seni saat ini baru kisaran 20 persen dari masyarakat Bantul. Juga bertujuan memberi ruang bagi anak-anak
bisa menampilkan kemampuan mereka sehingga lebih percaya diri. Sebab
jika hanya latihan terus tanpa dipentaskan, takutnya mereka juga kurang bersemangat,” katanya.

Didik mengatakan apa yang dilakukan juga sebagai bentuk sumbangsih terhadap pengembangan seni dan budaya yang ada di masyarakat.

“Awalnya dulu saya mewadahi anak-anak yang suka jatilan, kemudian kita latih yang tidak pakai ndadi. Kemudian berkembang seperti sekarang,” kenangnya.

Sejauh ini, diakui Didik memang untuk mengelola sanggar dia belum ada bantuan apapun dari pihak luar termasuk pemerintah. Kendati wilayahnya masuk menjadi desa mandiri budaya.

“Belum, kami belum pernah ada bantuan apa-apa. Pokoknya, kita jalan saja dengan sumber daya yang ada,” tandasnya.

Apresiasi

Hal tersebut dibenarkan oleh Budi warga sekitar sanggar. Jika memang kegiatan di sanggar
tersebut dilakukan secara mandiri.

“Luar biasa apa yang dilakukan Pak Didik, menjual kambing miliknya. Maka kami orang tua atau wali juga bersemangat membantu apa yang kami bisa lakukan demi kelancaran acara
dan kemajuan sanggar,” kata Budi yang memasukan dua anaknya Wisnu Wicaksono (12 tahun) dan Az Zahra Almaira Ramadhani (8), keduanya siswa SDN Ringinharjo ke sanggar tersebut.

“Saya senang belajar disini, bisa latihan karawitan, nari juga,” imbuh Az Zahra yang malam itu tampil dengan kostum tarian warna hitam.

Hayuningtyas Ramadhanti dan Maicha Yaskia Alamanda, dua dari total empat penari yang membawakan “Nawung Sekar” dan “Gumebyar” mengaku senang bisa tampil pementasan setelah mereka belajar menari di sanggar tesebut .

“Senang bisa pentas setelah kami persiapkan latihan khusus untuk malam ini,” kata Hayu.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Bantul, Nugroho Eko Setyanto mengapresiasi
atas usaha melestarikan seni tradisi yang dilakukan sanggar. Juga usaha keras agar sanggar ini tidak eksis dan mandiri.

“Tentu terkait dengan belum adanya sentuhan dari pemerintah, nanti pendamping desa
budaya kami harapkan bisa berkomunikasi dengan pemilik sanggar akan apa yang menjadi kebutuhan dalam pengembangan ke depan. Sanggar seperti ini selayaknya harus kita support,” kata Nugoho. Sanggar juga merupakan aset yang harus dijaga.

Penuhi syarat

Sementara dari data yang ada di koranbernas.id, jika Waki Bupati Bantul, Joko Purnomo mengukuhkan pengurus Desa Mandiri Budaya Kalurahan Sabdodadi, Kapanewon Bantul, Kamis (10/6/2021) silam. Pengukuhan ditandai dengan pembacaan kekancingan atau SK Lurah Nomor 17/2021 tentang “Pembentukan Pengurus Desa Mandiri Budaya Sabdodadi periode 2021-2025” oleh Carik Triyono.

Lurah Sabdodadi Siti Fatimah mengatakan, kalurahan ini berdiri 9 Agustus 1923, sehingga kini berusia 98 tahun. Pada tahun 2017, kalurahan dapat SK Gubernur DIY sebagai Desa Budaya dan Desa Wisata Kerajinan Kulit Manding. Selanjutnya sejak akhir 2021, mendapat SK
Gubernur sebagai Desa Mandiri Budaya.

“Ini adalah pertama kalinya kelurahan di Bantul yang mendapat SK Desa Mandiri Budaya. Tentu karena dukungan semua pihak dan dibina 4 OPD yakni organisasi kebudayaan, pariwisata, B2R, BUMDesa dan Desa Prima,” sebutnya.

Adapun tujuan Desa Mandiri Budaya salah satunya adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di antaranya dengan masuknya dana keistimewaan yang akan menjadikan Sabdodadi sejahtera, mandiri dan berbudaya.

Joko Purnomo mengatakan ada 4 syarat Desa Mandiri Budaya adalah memiliki predikat sebagai desa budaya, predikat sebagai desa wisata, desa preneur yakni desa yang dapat menumbuhkan semangat membangun nilai-nilai kewirausahaan. Dan syarat keempat adalah desa prima yakni adanya pemberdayaan perempuan untuk pengentasan kemiskinan.

“Kami pemerintah daerah berharap, agar empat hal tadi selalu diingat. Dan para pengurus tadi memiliki tugas diantaranya menumbuhkan karakter masyarakat. Melestarikan nilai-nilai budaya DIY dalam kehidupan di masyarakat dan lembaga. Juga mengembangkan, meningkatkan dan
menguatkan nilai budaya DIY di mata internasional. Kemudian meningkatkan akses budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan nilai pembinaan adalah 1 miliar dengan memperhatikan tugas tadi,” terang Joko. (*)