Darurat Miras Oplosan, Peredaran di Tiga Kapanewon di Sleman Ini Tak Terkendali

Darurat Miras Oplosan, Peredaran di Tiga Kapanewon di Sleman Ini Tak Terkendali
Fita bersama dua aktivitas F-KAMY menunjukkan sampel miras oplosan. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, SLEMAN--Tiga dari 17 kapanewon di Kabupaten Sleman, masuk kategori darurat miras oplosan. Disebut darurat, karena jumlah penjual miras oplosan ini terus meningkat dan bisa ditemui di berbagai tempat. Bahkan, mereka menjual minuman haram ini dengan cukup terang terangan, tanpa rasa takut dengan aparat maupun masyarakat kiri kanan.

Ketua Forum Komunikasi Anti Miras Yogyakarta F-KAMY, Dyah Puspita Sari mengatakan, peredaran miras oplosan sudah sangat meresahkan masyarakat. Korbannya bukan hanya dari kalangan orang tua, tapi juga kalangan remaja dan bahkan anak-anak generasi penerus bangsa.

“Kalau mau jujur, berbagai kasus kekerasan, termasuk klithih erat kaitannya dengan maraknya peredaran miras ilegal ini.  Hal ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan aparat keamanan,” kata Fita panggilan akrab Dyah Puspita Sari, Jumat (8/3/2024).

Fita mengaku sudah cukup lama menelusuri dan mengecek ke lapangan, terkait peredaran miras oplosan. Bahkan, dirinya juga sempat bertemu dengan sejumlah penjual miras oplosan dan memperoleh data-data yang mengejutkan.

Peredaran miras oplosan, kata Fita, tersebar di 17 kapanewon di Sleman. Namun jumlah penjual atau pengecer paling banyak terdapat di Kapanewon Mlati, Depok dan Ngaglik Kabupaten Sleman.

Berdasarkan pengakuan mereka, pengecer miras oplosan rata-rata bisa menjual 30 botol (bekas air mineral) perhari. Setiap botol dijual dengan harga Rp 50 ribuan.

“Artinya, setiap pengecer bisa mendapat uang sekitar 45 juta rupiah sebulan. Untuk akhir pekan biasanya lebih ramai pembeli,” katanya.

Dengan perhitungan ini, maka omset penjualan miras oplosan di Sleman diperkirakan menembus angka Rp 9 miliar. Sebab jumlah pengecer kata Fita, mencapai 200-an penjual dan cenderung terus bertambah.

“Kami prihatin, tidak terlihat upaya serius dari pemerintah daerah maupun aparat kepolisian dan satpol PP untuk menindak mereka supaya kapok,” lanjutnya.

Fita yang juga menjadi pembina para pelaku klithih ini, mengaku geram dengan terus maraknya peredaran miras oplosan. Sebab hal ini akan langsung berhubungan dengan berbagai kasus kriminal serta kejahatan jalanan seperti klithih.

“Kami mendesak pemerintah dan aparat untuk serius menangani masalah ini. Harus diambil tindakan tegas yang bisa menimbulkan efek jera. Tidak mungkin hanya menerapkan perda yang sanksinya sangat ringan, hanya denda 5 juta untuk pelaku,” lanjutnya.

Penelusuran terhadap aturan terkait peredaran miras ilegal termasuk miras oplosan ini, Kabupaten Sleman memiliki Perda No 8 Tahun 2019 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman  Beralkohol dan Pelarangan Minuman Oplosan.

Pelanggaran terhadap perda ini, masuk kategori tindak pidana ringan atau tipiring, dengan ancaman denda Rp 5 juta.

“Ini menyedihkan. Padahal risiko dari miras ilegal khususnya oplosan ini lebih besar. Sebab di kemasan tidak dicantumkan komposisi dan lain sebagainya. Sehingga kita tidak pernah tahu apa saja isi dari miras tersebut. Bukan mustahil jauh lebih berbahaya dari miras yang dijual resmi,” pungkas Fita. (*)