Aneh, Pangan Bukan Industri Strategis

Aneh, Pangan Bukan Industri Strategis

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Minyak dan gas sebenarnya kebutuhan sekunder namun pemerintah telanjur menempatkannya sebagai industri stragegis. Sebaliknya, pangan yang sangat penting tidak masuk industri strategis.

Inilah yang dirasakan Direktur Utama (Dirut) Taru Martani, Nur Achmad Afandi. Dia merasa heran kadang-kadang pemerintah terkesan kurang. “Begitu urgent-nya pangan, aneh kalau tidak masuk industri strategis,” ungkapnya kepada wartawan, Sabtu (4/7/2020), di Taru Martani Coffee & Resto 1918.

Selama ini, cadangan pangan Pemda DIY maupun kabupaten/kota se-provinsi ini disimpan di gudang Bulog. Merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2016, cadangan pangan pemda bisa dikerjasamakan dengan BUMD dan BUMN. Taru Martani sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemda DIY siap mengelola ketahanan pangan dari hulu sampai hilir.

Nur Achmad menjelaskan, penyimpanan cadangan pangan bekerja sama dengan BUMN disertai biaya. Sedangkan Taru Martani menggunakan konsep titip tidak bayar. Sebagai gantinya cadangan pangan itu diputar untuk biaya operasional.

Dari lima kabupaten/kota di DIY, baru Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman yang menitipkan cadangan pangan di Taru Martani. Total saat ini tersimpan 326 ton beras.

Perusahaan peninggalan era kolonial tahun 1918 itu memiliki empat gudang masing-masing berkapasitas 600 ton. Dihitung berdasarkan jumlah penduduk, cadangan pangan DIY minimal 1.360 ton.

“Cadangan pangan berbentuk beras standar medium. Kami punya izin usaha perdagangan umum. Saat ada pengadaan di Pemda Sleman kami juga ikut lelang,” paparnya.

Tiga kabupaten yaitu Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul tahun ini sebenarnya berkomitmen menyusul langkah Kota Yogyakarta dan Sleman, namun tertunda karena realokasi APBD untuk penanganan Covid-19.

Adapun mekanismenya, Taru Martani bekerja sama dengan gabungan kelompok tani (gapoktan) dan penggilingan. Lokasi gudang didekatkan dengan kelompok sasaran sehingga  lebih efektif. Sewaktu-waktu dalam kondisi darurat langsung bisa digunakan operasi pasar.

Nur Achmad menyatakan, pada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) Oktober 2018, Gubernur DIY meminta Taru Martani melakukan diversifikasi usaha ke sektor pertanian. Saat ini pihaknya siap mengelola UPT kebun bibit Ngipiksari Sleman.

“Selama ini kami baru ditugasi dititipi cadangan pangan. Kewenangan masih ada pada Dinas Pertanian Seksi Ketahanan Pangan,” kata dia.

Keluhan gapoktan

Ternyata, lanjut dia, masih ada keluhan dari gapoktan serta perkumpulan pengusaha penggilingan padi (Perpadi) mengenai padi DIY rendemannya 46 persen. Tidak ada separonya yang bisa dikonversi menjadi beras. Selebihnya jadi awul-awul.

Rendeman kurang dari 50 persen itu terjadi karena petani tidak menggunakan bibit yang bagus. Dengan kata lain proses on-farm harus diperbaiki.

“Inilah problemnya. Perusahaan penggilingan dapat bahan baku kurang bagus. Saat dilempar ke pasar bahkan orang Yogyakarta sendiri tidak mau ambil, lebih banyak mengambil beras dari Ngawi, Sragen atau Banjarnegara,” kata mantan anggota DPRD DIY ini.

Termasuk pangan untuk program BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), juga tidak menggunakan beras dari DIY. “Sebenarnya bisa diambil dari Taru Martani tetapi saya tegaskan Taru Martani tidak meminta pekerjaan,” ujarnya.

Dia menegaskan Taru Martani siap diberi tugas mengelola ketahanan pangan. “Ini baru gagasan. Yang sesungguhnya terjadi kami baru dititipi. Memang ada wacana pengelolaan ketahanan pangan. Sampai saat ini belum ada penyerahan tugas dari Pemda,” kata dia.

Kuat dan membumi

Anggota Komisi B DPRD DIY, Nurcholis Suharman, mendorong agar Gubernur DIY segera memberikan penugasan ke Taru Martani untuk mengelola ketahanan pangan di DIY dari hulu sampai hilir, meski pada tahap awal baru penitipan cadangan pangan.

“Kita dorong BUMD menyiapkan ketahanan pangan. Ada klausul Taru Martani bisa masuk perdagangan umum dan mengatur distribusi pangan di DIY. Dengan penugasan itu perannya makin kuat dan membumi untuk menyiapkan ketahanan pangan,” tandasnya.

Dia sepakat, BUMD harus melakukan inovasi dan diversifikasi usaha. Hanya saja perlu ada pembagian tugas yang jelas antara Taru Martani dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan maupun Dinas Perdagangan.

“Kita coba dorong agar ketahanan pangan di Yogyakarta aman. Jika hasil panen melimpah Taru Martani menjembatani agar harga tidak jatuh. Seperti cabai harganya Rp 7.000. Seharusnya petani dilindungi,” kata anggota Fraksi Partai Golkar ini.

Perusahaan tersebut juga didorong bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk meningkatan produktivitas petani. Diyakini Taru Martani mampu melaksanakan tugasnya mengingat usaha pokoknya sebagai produsen cerutu ekspor maju pesat.

Bisnis utama sudah mapan bahkan perkembangan pasarnya tumbuh 334 persen, sehingga sangat terbuka restrukturisasi unit baru di luar tembakau.

“Kami sanggup dan siap ditugasi Pak Gubernur. Usaha pokok kami sudah jalan bisa menghidupi karyawan 200 orang lebih dan bisa setor PAD,” kata Nur Achmad Affandi. (sol)