Ada 463 Ribu Penduduk Miskin di DIY, Pemda Diminta Fokus pada Pemenuhan Kalori Makanan
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Badan Pusat Statitistik (BPS) melansir persentase penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) awal tahun 2023 sebesar 11,49 persen atau secara absolut terdapat sebanyak 463,63 ribu orang.
Angka ini naik dibandingkan kondisi Maret 2022, di mana persentase penduduk miskin saat itu 11,34 persen dan jumlah penduduk miskin sebanyak 454,76 ribu orang.
“Kondisi ini membuat DIY menjadi daerah paling miskin di Jawa dengan angka kemiskinan di atas rata-rata nasional sebesar 9,57 persen,” ungkap Huda Tri Yudiana, Wakil Ketua DPRD DIY, Rabu (18/1/2022), di DPRD DIY.
Sebagai gambaran, Garis Kemiskinan pada September 2022 tercatat sebesar Rp 551.342 per kapita per bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp 398.363 (72,25 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp 152.979 atau 27,75 persen.
Pada September 2022, secara rata-rata rumah tangga miskin di DIY memiliki 4,20 orang anggota rumah tangga. Apabila ditinjau secara rumah tangga, maka Garis Kemiskinan rumah tangga mencapai Rp 2.315.636 per rumah tangga per bulan.
“Dari rilis BPS tersebut sangat jelas bahwa garis kemiskinan makanan mendominasi sebesar 72,25 persen. Solusinya perlu fokus pada pemenuhan kalori makanan pada warga miskin,” kata Huda.
Lebih lanjut, anggota Fraksi PKS DPRD DIY ini menyampaikan pemenuhan kalori makanan ini perlu diutamakan terutama pada warga miskin yang ekstrem atau sangat miskin. “Perlu diupayakan pemenuhan kalori makanannya tercukupi,” tambahnya.
Menurut dia, penanganan ini juga perlu fokus pada daerah-daerah termiskin terutama di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul.
“Jadi, menurut saya, penanganan kemiskinan perlu fokus pada dua hal. Pertama, memenuhi kalori makanan warga miskin, terutama yang ekstrem. Kedua, lokasi di wilayah yang memiliki persentase kemiskinan tinggi,” kata Huda.
Saat ini sudah ada berbagai bantuan yang diberikan kepada warga miskin di DIY. Terkait kalori makanan ada Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang mencakup 380 KK (Kepala Keluarga) lebih dari sekitar 960 ribu KK di DIY. “Artinya bantuan kalori makanan tersebut sudah mencakup sekitar 40 persen KK di DIY,” jelasnya.
Adapun jumlah KK miskin di DIY berdasarkan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) sekitar 160 ribu KK. “Jadi, bantuan per makanan yang diberikan sudah dua kali lipat dari DTKS,” ujarnya.
Pertanyaannya, kata Huda, mengapa sudah dua kali lipat data DTKS dibantu kalori makanan tetapi masih ada 11,49 persen penduduk miskin.
“Kalau kita lihat lebih dalam ternyata bantuan tersebut besarannya hanya sekitar Rp 200 ribu per KK per bulan, sehingga belum bisa mengangkat warga miskin yang ekstrem ke atas garis kemiskinan,” kata dia.
Sesuai data BPS, garis kemiskinan DIY per KK adalah 2,3 juta sedangkan bantuan makanan baru Rp 200 ribu per KK bahan mentah, sehingga belum mampu mengangkat 11,49 persen warga miskin ekstrem ke atas garis kemiskinan.
“Fokus kita semestinya menambahkan bantuan kalori makanan tersebut pada warga miskin ekstrem, tidak melalui uang cash tetapi dengan sembako yang dikerjasamakan dengan warung warung lokal di dusun-dusun, agar terangkat dari garis kemiskinan,” paparnya.
Besarannya pun mesti cukup signifikan agar bisa mengangkat ke atas garis kemiskinan. Kelompok kelompok disabilitas berat, orang tua telantar dan warga yang sudah tidak bisa usaha mandiri harus memperoleh prioritas.
“Kerja-kerja ini mesti fokus dan melibatkan berbagai level pemerintahan dan anggaran, baik dari APBD DIY, kabupaten kota maupun dana keistimewaan. Saya yakin dengan upaya fokus ini angka kemiskinan di DIY segera menurun drastis,” tandasnya.
Dia menegaskan, anggaran untuk penanganan kemiskinan dan membantu makanan warga miskin ekstrem ini tidak akan sia-sia asal dilakukan dengan mekanisme yang baik.
“Sejatinya, dengan alokasi ini kita sedang melaksanakan amanat UUD 1945, bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara,” kata Huda. (*)