YAICI dan Unisa Serukan Penghentian Konsumsi Kental Manis untuk Balita dan Bumil

YAICI dan Unisa Serukan Penghentian Konsumsi Kental Manis untuk Balita dan Bumil

KORANBERNAS.ID, SLEMAN—Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) dan Universitas Aisyiyah Yogyakarta (Unisa), menyerukan penghentian mengonsumsi kental manis atau lebih dikenal di masyarakat dengan sebutan susu kental manis. Seruan disampaikan, sebab kental manis sebenarnya bukan produk susu, melainkan bahan minuman berupa gula yang ditambahkan dengan susu.

Seruan YAICI dan Unisa ini, merupakan bagian dari kampanye untuk membangun kesadaran masyarakat, agar tidak ada lagi salah persepsi terhadap produk kental manis ini. Sebab kesalahan persepsi masyarakat, otomatis akan berdampak pada tingginya konsumsi kental manis di masyarakat, yang berdampak negatif pada tumbuh kembang balita.

“Hasil temuan YAICI dan Unisa menunjukkan, bahwa masih menjadi hal yang lumrah pemberian kental manis ini untuk anak-anak termasuk balita. Ini lantaran sebagian besar masyarakat masih menganggap kental manis sebagai produk susu,” kata Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat, dalam keterangan tertulisnya terkait hasil penelitian bertajuk “Penggunaan Kental Manis pada Masyarakat Marjinal dan Dampaknya Terhadap Status Kesehatan Balita”.

Arif mengatakan, penelitian dilakukan dengan menyasar 1.000 responden di wilayah Kabupaten Sleman, Bantul dan Kulonprogo serta Gunungkidul. Penelitian dilakukan Juni silam. Dalam penelitian ini YAICI menggandeng PP Aisyiyah dan Unisa.

Dari penelitian ini didapatkan data, bahwa sebanyak 22,3 persen atau 231 ibu di empat kabupaten tersebut, menganggap kental manis adalah susu. Selain itu, sebanyak 5,3 persen balita masih diberikan kental manis sebagai susu pendamping ASI. Sedangkan untuk kalangan orang dewasa, sebanyak 27 persen juga mengonsumsi produk ini dan menganggapnya sebagai susu.

Hasil penelitian ini, kata Arif, perlu menjadi kewaspadaan bersama. Persepsi masyarakat yang keliru dengan menganggap kental manis sebagai susu, akan berdampak serius bagi Kesehatan, terutama anak-anak dan balita.

Balita yang mengonsumsi kental manis, terindikasi dan berpotensi mengalami malnutrisi seperti gizi buruk, stunting dan obesitas atau kegemukan.

“Karena bukan susu, maka kental manis tidak bisa menggantikan peran susu. Kadar gula pada produk kental manis cukup tinggi, sehingga tidak baik dikonsumsi balita dan anak-anak. Persepsi Masyarakat terhadap kental manis, jelas berbeda dengan produk-produk lain semisal sirup. Kalau sirup, yakin masyarakat sudah tahu bahwa itu gula. Sehingga mereka tidak akan memberikannya kepada balita,” tandasnya.

Guru Besar Gizi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang juga Wakil Ketua Tim Peneliti Prof Dr Tria Astika Endah Permatasari mengatakan, kental manis mengandung gula yang disebut hidden sugar atau gula tambahan yang disamarkan di dalam produk tertentu.

Gula, kata Tria, memang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Tapi kadarnya harus dibatasi.

“Kebutuhan gula untuk orang dewasa berkisar 35-40 gram perhari. Untuk anak-anak direkomendasikan 20-25 gram perhari. Lebih disarankan, agar anak-anak dan terutama balita, dua tahun pertama lebih banyak mengonsumsi protein, bukan gula,” katanya.

Ketua Tim Peneliti untuk wilayah DIY sekaligus Rektor Unisa Warsiti S.Kep, M-Kep, Sp.Mat menambahkan, akibat persepsi yang keliru di masyarakat ini, ibu-ibu yang memiliki bayi kemudian juga menganggap pemberian kental manis sudah cukup untuk menggantikan susu dan bahkan ASI. “Karena menganggapnya sebagai susu, mereka merasa Ketika anak sudah diberikan kental manis, dianggap sudah tercukupi kebutuhan asupan anak-anak mereka. Ini yang sangat kita sayangkan. Maka kami berharap, semua pihak, termasuk pemerintah, saat memberikan paket sembako misalnya, jangan lagi menyertakan kental manis di dalamnya,” kata warsiti. (*)