Wabah Corona Tidak Membuat Pasangan Kakek-Nenek Tuna Netra Ini Berhenti Berkarya

Wabah Corona Tidak Membuat Pasangan Kakek-Nenek Tuna Netra Ini Berhenti Berkarya

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Tangan Mbah Slamet Riyati (63 tahun) terus memilin-milin sabut kelapa menjadi tali saat ditemui di rumahnya, Dusun Sungapan RT 76, Desa Argodadi, Kecamatan Sedayu Bantul, Rabu (30/9/2020).

Sabut kelapa yang dipilin itu adalah hasil sortiran suaminya, Mbah Ponijan (65 tahun), yang menyisir sabut kelapa menggunakan sikat seukuran sikat cuci baju.Sabut yang ukuran besar diambil Mbah Ponijan untuk dibuat sapu.

Sementara hasil pilinan Mbah Slamet dibuat keset. Kendati suami-isteri ini tidak mampu melihat karena tuna netra, namun mereka terlihat bekerja dengan cekatan. Pekerjaan membuat sapu dan keset memang sudah dilakoni sejak puluhan tahun.

Sesekali keduanya tertawa, bercanda mengenang pertemuan mereka di panti khusus tuna netra, lebih dari 30 tahun silam. Keduanya mengikuti pelatihan keterampilan selama dua minggu, yang kemudian menumbuhkan perasaan cinta di antara keduanya. Kendati Mbah Slamet sendiri sempat memiliki kekasih lain, namun berpisah dan akhirnya  menikah dengan Mbah Ponijan.

"Dulu pacar dia ada tiga. Tapi akhirnya nikahe sama saya. Padahal dia suka belikan rokok ke pacarnya, saya tidak pernah. Tapi namanya jodoh, tidak ada yang tahu karena kehendak Yang Kuasa," kata Mbah Ponijan tergelak sambil tangannya terus sibuk menyisir sabut kelapa.

"Ya dulu pacar saya banyak," kata Mbah Slamet yang asli Kulonprogo tersebut dengan tetap memilin-milin sabut kelapa. Keduanya lantas tertawa bersama mengenang masa lalu. Kini, mereka sudah punya anak semata wayang yang diberi nama Agus Suganda (27 tahun).

Mbah Sugeng menyebut, membuat sapu dan keset menjadi pekerjaan utama mereka. Termasuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan sekolah anaknya.

Dalam sebulan Mbah Sugeng mampu membuat keset 15 buah yang dijual ke pembeli atau pun tengkulak dengan harga Rp 12.000 per keset. Sedangkan sapu yang dibuat suaminya, sebulan  bisa menghasilkan 60 buah yang dijual dengan harga Rp 10.000 per sapu.

Dalam satu bulan, jika barang laku semua, untuk sapu mendapat Rp 600.000 dan uang keset 180.000 atau total Rp 780.000. Jumlah tersebut belum dipotong biaya bahan baku yang dibeli dari Kulonprogo oleh anaknya setiap dua pekan sekali. Adapun bahan bakunya selain sabut kelapa, tali rafia, bambu cendani dan paku.

Jika semua bahan telah habis, mereka membayar Rp 500.000, dan nanti dari penjual dari Kulonprogo tersebut sudah diberi 1 set bahan baku. Habisnya tidak mesti, karena kadang ada yang sabut kelapanya habis duluan, kadang kayunya atau bahan baku yang lain.

"Dua minggu sekali, Agus ke Kulonprogo beli bahan yang habis itu apa," kata Mbah Slamet.

Jika dikalkulasi, memang pendapatnya tidak banyak. Namun dia mengucap syukur di tengah keterbatasan dirinya dan suami, masih bisa terus bekerja.

"Cukup mboten cukup, nggih dicukup-cukupke (cukup tidak cukup, ya dicukup-cukupkan,red)," katanya.

Hanya saja, memang setelah ada wabah Corona, pembeli atau tengkulak barang produksinya sekarang mulai menurun. Jika dulu seminggu sekali ambil barang ke rumah, saat ini paling cepat dua minggu sekali.

"Nggih mergo Corona. Nek kulo ngertose Corona saking siaran radio  kalih dikandani anak kulo. Pokoke nek onten Corona mboten angsal medal seko omah. Kulo ngertose Corona nggih niku, mboten angsal medal-medal. (Ya karena Corona. Kalau saya tahunya Corona dari siaran radio sama dikasih tahu anak saya. Pokoknya kalau ada Corona tidak boleh keluar pergi-pergi dari rumah. Jadi saya tahunya Corona ya itu, tidak  boleh pergi-pergi,red)," papar Mbah Ponijan.

Selain itu, melalui radio pula, mereka paham kalau kemana-mana sekarang harus memakai masker. Begitupun setelah pergi keluar rumah, misalnya belanja ke warung, mereka saat tiba di rumah  harus cuci tangan menggunakan sabun.

"Nek Corona niku jane penyakit nopo? (Sebenarnya Corona itu penyakit apa?,red)," kata Mbah Slamet balik bertanya kepada koranbernas.id. Setelah diberi penjelasan soal virus Corona atau Covid-19, keduanya manggut-manggut tanda mengerti.

Di tengah pandemi, lanjut Mbah Slamet, kendati penjualan mengalami penurunan, keduanya mengaku tidak patah semangat karena rejeki adalah pemberian Sang Pencipta. Mereka tetap bekerja seperti biasa, berdoa dan bersabar ketika hasil kerajinan mereka lebih lama menumpuk di rumah karena belum diambil pembeli atau tengulak langganan mereka.

Menurut Mbah Slamet, di tengah sepinya penjualan dirinya mengaku sangat terbantu dengan pembagian sembako yang diterimanya. Mereka juga mendapat bantuan dari pemerintah DIY sebesar Rp 400.000 per bulan selama tiga bulan. Uang bantuan tadi, selain untuk memenuhi kebutuhan, lebih banyak digunakan untuk membeli tambahan bahan baku.

"Biar awet, dan bisa buat bekerja nambah modal bahan baku," katanya.

Sementara Dukuh Sungapan, Fuady, mengatakan upaya sosialisasi tentang virus Corona gencar dilakukan di dusun tersebut. Selain memasang leaflet, poster dan mensosialisasikan lewat pertemuan yang digelar sesuai protokol Covid-19, juga menggerakan kader muda untuk menginformasikan kepada lingkungan masing-masing.

"Misalnya Agus Suganda, dia memberi tahu sual Corona kepada orang tuanya. Karena tuna netra tidak bisa melihat, maka diberi tahu secara lisan. Juga sering menyetel berita di radio," katanya.

Ia patut bersyukur, kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan di Dusun tersebut tergolong tinggi.

Mengenai bantuan, khususya ke pasangan Mbah Ponijan-Mbah Slamet, sudah tercover. "Saya memastikan bahwa mereka terdaftar bantuan. Dulu sudah ada sembako juga," katanya.

Begitupun untuk jaminan kesehatan, Dukuh Fuady juga sudah mengurus Kartu Indonesia Sehat (KIS) bagi keluarga tersebut.

Secara Terpisah, Kepala  Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Bantul, Didik Warsito, mengatakan bantuan khusus kepada para penyandang disabilitas atau difabel, termasuk bantuan modal kerja, memang belum ada. Namun mereka telah mendapat bantuan sama dengan penerima yang lain.

"Saat ini kita masih konsentrasi pemberian bantuan-bantuan kaitan Covid. Baik itu bantuan dari pusat, provinsi, APBD Bantul maupun Dana Desa (DD). Terkait dengan disabilitas memang ada kegiatan yang langsung diampu oleh pusat ke penerima. Dari provinsi juga ada. Kalau APBD Bantul, belum. Karena APBD kita untuk membantu mereka yang belum tercover bantuan, jadi tidak khusus disabilitas,” katanya.

Anggaran, kata Didik, memang dirasionalisasi atau direfokusing kaitan penanganan Covid-19. Namun untuk program boga sehat senilai Rp 6 miliar tidak dirasionalisasi atau refokusing. Boga sehat diberikan  kepada Lansia, termasuk para penyandang disabilitas untuk peningkatan kesehatan. Kegiatan ini bekerja sama dengan TP PKK Desa untuk pelaksanaanya. (*)