Vonis Ditunda, Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagad Bergandengan Tangan

Vonis Ditunda, Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagad Bergandengan Tangan

KORANBERNAS.ID, PURWOREJO -- Sidang secara online kasus Keraton Agung Sejagad (KAS), Jumat (11/9/2020) petang, dengan agenda pembacaan vonis, akhirnya ditunda.

Kasus ini menghadirkan Totok Santosa (raja KAS) dan Fanny Aminadia (ratu KAS) sebagai terdakwa.

Ada pemandagan menarik. Kedua terdakwa terlihat bergandengan tangan saat mendengarkan paparan majelis hakim, khususnya saat mengumumkan penundaan pembacaan vonis.

Persidangan yang dilakukan secara online, JPU dan penasihat hukum terdakwa, Muhammad Sofyan dan Inung Wondo Saputra, berada di Kejari Purworejo.

Majelis Hakim yang diketuai oleh Sutarno dan beranggotakan Samsumar Hidayat serta Ansori Hironi berada di Pengadilan Negeri Purworejo.

Sedangkan terdakwa raja dan ratu berada di Rutan Kelas 2B Purworejo.

Ketua Majelis Hakim Sutarno mengatakan, pihaknya saat ini sedang sibuk. Karena itu, ia mengumumkan penundaan pembacaan vonis sidang.

Sidang dimulai sekitar pukul 17.30 WIB hingga menjelang Magrib sekitar pukul 18.00 WIB.

Hakim Ketua menetapkan sidang selanjutnya adalah tanggal Senin 14 September 2020, dengan agenda membacakan keputusan Sidang

"Kami sebagai manusia juga tidak luput dari kesalaham. Kami minta waktu 3 hari dari sekarang untuk menentukan sebaik  mungkin, agar keputusan sesuai rasa keadilan," ujar Sutarno.

Sebagai informasi, Totok dan Fanny yang sebelumnya mengaku sebagai Raja dan Ratu KAS. Keduanya didakwa melanggar pasal 14 ayat 1 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP subsider pasal 14 ayat 2 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP
Dakwaan kedua pasal 378 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.  

Penasihat Hukum keberatan

Penasihat hukum terdakwa, Muhammad Sofyan dan Inung Wondo Saputra, mengatakan terdakwa 1 (Totok) ancaman hukuman 5 tahun dan terdakwa 2 (Fanny) ancaman hukuman 3,5 tahun. Menurut Sofyan, fakta persidangan yang di temukan, yaitu telah terjadi opini media yang berlebihan.  

"Terdakwa dinilai melanggar pasal 14 ayat 1 UU Nomer I tahun 1946 bunyinya adalah ‘barangsiapa menyiarkan’. Fakta yang terjadi adalah pada saat itu kedua terdakwa tidak pernah menyiarkan. Apa yang dilakukan adalah  event kebudayaan ada jumenengan dan seterusnya. Ada media lokal (oknum wartawan) yang meng-upload diberi narasi yang berlebihan dan kemudian viral. Itu awalnya,” paparnya.

Sofyan menambahkan, kedua terdakwa melakukan hak jawab. Hak jawab tersebut tidak direspon sebagaimana mestinya. Pada akhirnya berjanji untuk ketemu pada hari minggu tangal 13 Januari 2020 pada saat acara internal jumenengan. Kalau secara nasional, semacam muktamar atau rakernas. Di sana ternyata sudah berkumpul awak-awak media.

"Yang jelas, kedua terdakwa tidak pernah menggelar konferensi pers yang bertujuan menyiarkan dan memberitahukan kepada kalayak. Nah, perkara ini harusnya dikenakan Undang-undang Pers yang telah membuat narasi berita yang tidak ada wawancara, tidak ada koordinasi dan hak jawab," terang Sofyan.

Sofyan juga menyoal tentang dakwaan kliennya telah meresahkan. Sofyan kemudian merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya onar adalah sedemikan rupa yang menuntut pihak kepolisian harus turun tangan untuk melerai.

“Nah, dari situ tidak ada,” tandas penasihat hukum asal Salatiga ini. (*)