Sering Menjerit Kesakitan, Kini Heri Buta

Sering Menjerit Kesakitan, Kini Heri Buta

KORANBERNAS.ID, BANTUL--Peristiwa kecelakaan di Jalan Samas (depan Koramil Bambanglipuro) pada 7 September 2019 pada pukul 17.30 WIB, mengubah jalan hidup Heri Supriyanta (40 tahun). Heri adalah warga Dusun Sirat RT 002, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro Bantul.

Ya paska kecelakaan, Heri sudah tidak bisa bekerja lagi sebagai tenaga serabutan maupun beternak ayam, untuk menghidupi istrinya Yulianti (32 tahun) dan kedua anaknya yang duduk di bangku SMP dan SD.

Karena kondisi suaminya yang tidak bisa bekerja, maka Yuli lah yang kini harus membanting tulang untuk bertahan hidup.

Sejak subuh, Yuli sudah ke Pasar Celep membantu temannya berjualan hingga waktunya pulang jam 08.00 WIB.

“Saya cuma bisa bantu sebentar. Sebab kepikiran suami di rumah butuh dirawat,”kata Yuli kepada koranbernas.id di rumahnya yang sederhana, Jumat (17/01/2020).

Menurut Yuli, sejak kecelakaan, Heri lebih banyak di rumah. Mata suaminya berulang kali keluar darah. Bahkan, kini suaminya tidak bisa melihat lagi, setelah beberapa bulan hanya remang-remang.

Selain itu, matanya juga sensitif, sehingga akan perih bila terkena cahaya, termasuk matahari maupun lampu listrik.

“Jadi setiap hari relatif hanya di kamar tanpa penerangan. Kalau ke kamar mandi kita tuntun. Kadang saya, kadang simbok dan harus menggunakan kacamata hitam biar tidak perih,” katanya.

Bukan hanya mata yang kian mengecil pupilnya. Heri juga mengalami patah tangan, patah kaki dan juga syaraf di otak cedera.

Memang menurut Yuli, mereka pernah mendapat santunan dari Jasa Raharja Rp 20 juta, dan tali kasih dari keluarga penabrak Rp 2,5 juta. Namun semua sudah habis untuk kepentingan pengobatan.,

Heri, kata Yuli, bukan hanya sekali ke rumah sakit, namun berulang kali. Dan setiap mengantar ke RS Sardjito untuk keperluan berobat, harus mengeluarkan ongkos perjalanan sekitar Rp 220.000 untuk sewa mobil. Belum lagi untuk membeli obat yang tidak tercover oleh BPJS Kesehatan.

Menurut Yuli, suaminya bolak-balik ke RS untuk berobat yang kadang mondok atau rawat inap hingga puluhan hari, ketika sakit kepalanya kumat. Saat kambuh, Heri sering berteriak-teriak kesakitan.

Dari hasil rotgen dan pemeriksaan lain, diketahui ada syaraf otak yang mengalami pergeseran dan seharusnya dioperasi.

Namun saat ditanyakan, ternyata biaya untuk keperluan operasi dan juga membeli semacam “ring” otak, sangat mahal bagi Yuli, yakni kisaran Rp 60 juta.

Konon, untuk saat ini “ring” otak itu harus dibeli dan didatangkan Singapura, dengan lama pemesanan sekitar 1,5 bulanhingga 2 bulan.

"Kondisi kami juga sudah habis-habisan. Apa yang ada sudah kami jual. Seperti misalnya pohon di pekarangan milik simbok. Kandang ayam juga telah disewakan. Kini kami tidak bisa berbuat lebih banyak lagi,”katanya.

Yuli mengaku belum pernah menerima bantuan dari manapun. Padahal keluarganya tergolong tidak mampu.

Mereka tidak terdaftar sebagai penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kartu Indonesia Sehat (KIS) maupun Kartu Indonesia Pintar (KIP).

“Kami tidak dapat dan tidak terdata,” katanya.

Sementara pendamping keluarga, Sumantoro serta aktivis social Bambang Nurcahyo berharap, agar pemangku kebijakan turut peduli. Termasuk adanya perhatian dari pemerintah mulai tataran pendukuhan hingga kabupetan.

“Saya berharap, segala instrumen sosial bagi masyarakat yang membutuhkan bisa berjalan dengan baik serta keluarga ini bisa tertangani,”katanya.

Senada dikatakan Bambang yang menilai negara punya kewajiban untuk memperhatikan seluruh warganya.

“Negara yang bergerak, agar jiwa humanisme dan sensitif sosial bisa lebih ditingkatkan,” katanya. (SM)